Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia
Kolom

Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Perlu adanya kerangka hukum yang komprehensif dalam menangani pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.

Bacaan 8 Menit

Pada tahun 2010, Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan Peraturan No. IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 yang isinya kurang lebih bahwa Imigran ilegal saat diketahui berada di Indonesia dikenakan Tindakan Keimigrasian. Lalu dalam hal imigran ilegal, menyatakan keinginan untuk mencari suaka dan/atau karena alasan tertentu tidak dapat dikenakan pendeportasian, maka dikoordinasikan dengan organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi dan/atau UNHCR untuk penentuan statusnya.

Kemudian Pasal 3 dari peraturan di atas menyebutkan bahwa (1) Imigran ilegal dapat tidak dipermasalahkan status izin tinggalnya selama berada di Indonesia dalam hal: a. telah memperoleh Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagai pencari suaka dari UNHCR; atau b. berstatus sebagai pengungsi dari UNHCR. (2) Imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditempatkan di tempat tertentu dengan fasilitasi organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi atau UNHCR dan wajib dilaporkan keberadaannya oleh UNHCR kepada Direktur Jenderal Imigrasi.

Selanjutnya pada tahun 2016, Dirjen Imigrasi mengeluarkan Peraturan No. IMI-0352.GR.02.07 Tahun 2016 tentang Penanganan Migran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi. Di mana antara lain menyatakan bahwa Pencari suaka dan Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia ditempatkan di Ruang Detensi Imigrasi, Rumah Detensi Imigrasi atau tempat lain. Kemudian, ketentuan tentang “Pencari suaka dan Pengungsi dapat ditempatkan di tempat lain adalah dalam hal: a. Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi telah melebihi daya tampung; b. Sakit dan memerlukan perawatan; c. Akan melahirkan; d. Anak-anak.

Peraturan Dirjen Imigrasi tahun 2016 ini menggunakan istilah imigran ilegal untuk kelompok seperti pengungsi dan pencari suaka. Peraturan tersebut sejatinya menegaskan bahwa orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa dokumen perjalanan resmi dikategorikan sebagai imigran ilegal. Di mana terhadap mereka dapat dikenakan tindakan keimigrasian berupa detensi maupun deportasi. Lalu, kepada orang asing yang mengaku sebagai pengungsi dilakukan pengecekan imigrasi melalui kantor proses pendataan dan orang asing tersebut data oleh pihak UNHCR. Selama penentuan status, ditempatkan dalam rumah detensi atau fasilitas lain yang disepakati antara pihak imigrasi dengan UNHCR sebagai penentu status (Yulianto, 2020).

Lahirnya Perpres No. 125 tahun 2016 yang ditandatangani pada 31 Desember 2016 dalam rangka melaksanakan amanat dari Undang-undang RI Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri seolah menjadi alternatif di tengah kekosongan regulasi tentang pengungsi dan pencari suaka. Yang menarik, peraturan ini mengadopsi sebagian dari definisi pengungsi sebagaimana dimuat di dalam Konvensi tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi.

Perpres ini juga melibatkan instansi lain dari lembaga negara untuk menangani keberadaan pengungsi luar negeri di Indonesia seperti TNI, Kepolisian, Kementerian Perhubungan, Bakamla (Badan Keamanan Laut), Pemerintah daerah, BASARNAS (Badan Search And Rescue Nasional, atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan), dan lembaga lainnya yang mempunyai kompetensi dalam menangani pengungsi asing (Yulianto, 2020).

Penjelasan mengenai teknis pertolongan pengungsi di wilayah batas-batas negara, pemindahan, penempatan, penyediaan fasilitas selama di penampungan juga dijelaskan. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 mengakui kebutuhan khusus yang diperlukan oleh kelompok pengungsi rentan seperti orang sakit, wanita hamil, penyandang disabilitas, anak-anak, dan orang lanjut usia.

Tags:

Berita Terkait