Urgensi Pengaturan Definisi Cuti Bersama dalam UU Ketenagakerjaan
Kolom

Urgensi Pengaturan Definisi Cuti Bersama dalam UU Ketenagakerjaan

Harus segera diatur dalam UU, sehingga bisa menjadi jawaban atas potensi masalah yang mungkin timbul berkaitan dengan pelaksanaan cuti bersama.

Bacaan 2 Menit
Johan Imanuel. Foto: Istimewa
Johan Imanuel. Foto: Istimewa
Pemerintah baru-baru ini resmi mengeluarkan peraturan perundang-undangan berkaitan cuti bersama diantaranya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2017 tanggal 15 Juni 2017 Tentang Cuti Bersama Tahun 2017 (Keppres) dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 184 Tahun 2017 tanggal 19 Juni 2017. Tentang Pedoman Pelaksanaan Cuti Bersama Di Sektor Swasta Tahun 2017 (Kepmen).

Ada beberapa hal yang menarik semua kalangan masyarakat dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut yaitu:

1. Dalam Keppres, pada Diktum KEDUA, menyebutkan: ”Cuti Bersama sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA tidak mengurangi hak cuti tahunan Pegawai Negeri Sipil”;

2. Dalam Kepmen, pada Diktum KEEMPAT, menyebutkan: ”Pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada hari cuti bersama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU, hak cuti yang diambilnya diperhitungkan dengan mengurangi hak atas cuti tahunan pekerja/buruh yang bersangkutan”.

Kedua hal tersebut menarik perhatian mengingat ada kesan dibedakan antara Pegawai Negeri Sipil dengan Pekerja Swasta. Mengapa hal demikian bisa terjadi ? Tidak diaturnya Definisi Cuti Bersama dalam UU Ketenagakerjaan saat ini yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 mengakibatkan adanya multi tafsir mengenai Cuti Bersama yang berlaku bagi Pekerja Swasta.

Dalam artikel di hukumonline.com (tahun 2010, Klinik Hukumonline, Cuti Massal Karyawan (Cuti Bersama) yang ditulis oleh Umar Kasim) pernah dibahas mengenai permasalahan cuti bersama sebagai berikut:
 
Variasi permasalahan pelaksanaan cuti bersama, tidak hanya terjadi di sektor swasta, akan tetapi juga di sektor pemerintahan. Ada beberapa catatan permasalahan yang paling krusial yang sering dikemukakan, - antara lain -, adalah:

-   Pertama, bahwa pelaksanaan cuti bersama tersebut –memaksa– karyawan mengurangi hak cuti tahunan yang bersifat individual, sehingga pelaksanaanya tidak sejalan dengan kebutuhan. Demikian juga, hak cuti bersama tersebut mengganggu hak cuti karyawan yang tidak sesuai dengan event cuti bersama yang ditetapkan. Misalnya, cuti bersama pada Hari Raya Idul Fitri, tentu pelaksanaanya sia-sia bagi karyawan yang bukan Muslim. Oleh karena mereka terpaksa mengambil hak cuti yang tidak/belum diperlukan.

-   Kedua, bahwa tidak semua hari istirahat mingguan karyawan (swasta) atau pegawai negeri dan pejabat negara ditentukan atau jatuh pada hari Sabtu dan/atau Minggu. Dengan demikian ketentuan cuti bersama pada harpitnas tersebut tidak bermanfaat bagi karyawan yang weekly rest-nya bukan hari Sabtu dan/atau Minggu.

-   Ketiga, hari istirahat mingguan seseorang karyawan yang jatuh bersamaan dengan hari cuti bersama, maka –tentunya- karyawan yang bersangkutan tidak dianggap sebagai cuti, tetapi menjalankan hak weekly rest-nya.

-   Keempat, kalau seseorang karyawan tidak menghendaki untuk mengambil hak cuti (bersama)-nya di harpitnas, akan tetapi sebagian besar karyawan lainnya melaksanakan (mengambil) hak cuti dimaksud, maka tentunya karyawan yang bersangkutan akan mengalami kesulitan bahkan tidak bisa melaksanakan pekerjaan secara sempurna dan optimal, terlebih bilamana karyawan bagian supporting seperti enggineering/electrical atau cleaning service serta karyawan lainnya tidak ada.

-   Kelima, kalau perusahaan (management) menginstruksikan - baik seluruhnya atau pada bagian-bagian tertentu - dilarang mengambil hak cuti bersama dan karyawan wajib/harus masuk bekerja seperti biasa, maka timbul pertanyaan: dapatkah seseorang karyawan memaksanakan kehendaknya untuk tetap cuti bersama atas dasar SKB tersebut? Tentunya ini sangat dilematis.

-   Keenam, beberapa perusahaan telah menetapkan agenda kerja dalam working calendar dengan supporting SDM yang sudah dipersiapkan dan dijadwalkan, maka dengan SKB cuti bersama dimaksud, working calendar akan terganggu atau kacau-balau.

-   Ketujuh, ketentuan cuti bersama tidak dapat (sepenuhnya) diterapkan di Sektor Usaha Energi dan Sumberdaya Mineral (Migas) dan Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Tertentu yang tidak mengenal hari libur nasional dan weeklyrest serta “hari off” (vide Pasal 8 Kepmenakertrans.No.Kep-234/Men/2003 dan Pasal 7 Permenakertrans. No.Per-15/Men/VII/2005).

-   Kedelapan, bagi karyawan yang belum mempunyai hak cuti (karena masa kerjanya belum memenuhi syarat) terpaksa harus (ikut) cuti massal dengan konsekwensi mengganti hak cuti dimaksud pada saat timbulnya hak cuti yang sebenarnya. Walaupun dalam kaitan ini, ada perusahaan yang menerapkan azaz “no work no pay” tanpa perlu mengganti hak cuti karyawan yang bersangkutan.
 
Berdasarkan hal di atas, Urgensi Pengaturan Definisi Cuti Bersama dalam UU Ketenagakerjaan perlu dipertimbangkan baik itu ditambahkan ataupun disisipkan pada UU Ketenagakerjaan  Pasal 79 ayat (2) yang belum tercantum definisi cuti bersama.

Adapun bunyi Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan saat ini:

“Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. istirahat antara jam kerja = sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja  selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. “

Rekomendasi
Rekomendasi klausul definisi cuti bersama yang dapat menjadi bahan revisi pada UU Ketenagakerjaan  Pasal 79 ayat (2) antara lain:

Cuti bersama merupakan bagian dari cuti tahunan dan dilakukan secara bersama-sama serta bersifat fakultatif atau pilihan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat buruh dengan pengusaha, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan;

Definisi di atas mengadopsi Kepmen yang dikeluarkan tanggal 19 Juni 2017 sehingga cuti bersama berlaku bagi pekerja swasta dan dapat diambil haknya dengan mengurangi cuti tahunan;

Cuti bersama merupakan cuti bersama-sama tanpa mengurangi cuti tahunan yang telah diatur sesuai dengan dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat buruh dengan pengusaha, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan;

Definisi di atas sebagai elaborasi cuti bersama yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pekerja Swasta sehingga keduanya dapat mengambil hak cuti bersama tanpa mengurangi cuti tahunan;

Cuti bersama, sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari  kerja sebagai tambahan pada cuti tahunan sesuai dengan dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat buruh dengan pengusaha, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan;

Definisi di atas menjadi alternatif  dengan mengacu jumlah cuti bersama yang telah ditetapkan pemerintah untuk tahun 2017 sebanyak 7 (tujuh) hari kerja yaitu tanggal 2 Januari; 23, 27, 28, 29, 30 Juni dan 26 Desember.

Kesimpulan
Urgensi Pengaturan Definsi Cuti Bersama tentunya harus segera diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan berpedoman pada asas keadilan dan keseimbangan. Dengan demikian bisa menjadi jawaban atas potensi masalah yang mungkin timbul berkaitan dengan pelaksanaan cuti bersama.

*) Johan Imanuel, SH adalah member PERADI dan Partner pada Bireven & Partners.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: