Urgensi RUU HPI Menurut Para Tokoh Hukum
Utama

Urgensi RUU HPI Menurut Para Tokoh Hukum

​​​​​​​HPI bisa berikan kepastian hukum karena saat ini Indonesia masih menggunakan aturan Belanda yang dibuat pada tahun 1847.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ket Foto dari kiri ke kanan : Raymon (perwakilan BPHN), Bayu Seto Hardjowahono (Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Perdata Internasional), Dina Juliani (perwakilan AHU). Foto: AJI
Ket Foto dari kiri ke kanan : Raymon (perwakilan BPHN), Bayu Seto Hardjowahono (Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Perdata Internasional), Dina Juliani (perwakilan AHU). Foto: AJI

Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (HPI) saat ini sudah masuk dalam tahap usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Kementerian Hukum dan HAM. Pertanyaannya apa pentingnya RUU HPI sehingga sejumlah tokoh hukum berpendapat RUU tersebut seharusnya menjadi Prolegnas dan kemudian bisa disahkan menjadi undang-undang.

 

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Perdata Internasional se-Indonesia, Bayu Seto Hardjowahono berpendapat, HPI bertumpu pada beberapa asas seperti pengakuan dan penghormatan atas kesederajatan sistem hukum nasional dari negara berdaulat, perlindungan dan pengutamaan nasional dan kepentingan warga negara.

 

HPI juga dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang melibatkan subyek hukum Indonesia dan ada yang berkaitan dengan kepentingan asing. Kemudian, mewujudkan kepastian hukum, memenuhi hubungan pihak yang sah dalam hubungan HPI, dan harus bisa membuat perlindungan dari nilai-nilai dasarnya.

 

Menurut Bayu, HPI yang ada saat ini sudah terlampau jauh dari kebutuhan zaman. Diketahui terkait pengaturan HPI Indonesia masih menggunakan tiga pasal lawas warisan Belanda yaitu Pasal 16, 17 dan 18 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) Staatblad 1847 No 23 of 1847.

 

Hukumonline.com

 

“Kalau ada WNI yang menikah dengan WNI tapi di negara lain, lalu kalau franchise dengan perusahaan asing, akibatnya pengadilan menghadapi dua sampai tiga masalah pokok dalam menghadapi perkara seperti ini, dia punya kelemahan yustisia. Menikah di luar negeri apa pengadilan Indonesia bisa mensahkan? Suatu kontrak dengan perusahaan asing, lalu ada sengketa, apa pengadilan Indonesia bisa mengadili? Lalu ada penumpang pesawat WNI yang jatuh di negara lain, apa pengadilan Indonesia bisa mengadili?” kata Bayu dalam diskusi publik dengan tema “Urgensi RUU HPI dan Road Map dalam Legislasi Nasional di Tangerang Selatan, Jumat (22/11).

 

Bayu juga menyatakan HPI ini juga penting dalam dunia peradilan. Selama ini masih ada yang mempertanyakan kepastian hukum jika ada perkara yang diadili di luar negeri tetapi putusannya tidak bisa berlaku di Indonesa. Hal itu, katanya melanggar asas HPI dalam hal kesetaraan. Ia berharap dengan adanya HPI maka jika ada perkara yang mayoritas unsur hukumnya berkaitan dengan suatu negara, maka pengadilan Indonesia seharusnya berani menggunakan hukum negara tersebut.

 

“Ketiga, apa pengadilan Indonesia harus mengakui putusan hukum yang dilakukan pengadilan asing? Kondisi HPI kita seperti ini. Pengadilan membutuhkan alasan dia punya kewenangan tidak untuk mengadili ini? Ini yang harus ada dalam sistem HPI,” pungkasnya.

 

Baca:

 

Dari sejumlah alasan tersebut, HPI tidak hanya bertujuan untuk penegakan hukum semata tetapi juga bisa menjadi daya tarik investor. Jika Indonesia mempunyai kepastian hukum menyangkut dengan perkara yang menyinggung pihak asing, maka menurutnya, ke depan para investor tidak akan ragu menanamkan modalnya di Indonesia.

 

Sementara itu Kasub Penyusunan Naskah Akademik Bidang Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Sosial dan Budaya BPHN, Raymon menyampaikan, terkait urgensi pembentukan suatu undang-undang yang pada prinsipnya didasarkan pada kebutuhan masyarakat, perlindungan keamanan negara, kemajuan IPTEK, kebutuhan kemajuan perekonomian, perlindungan hukum dan harmonisasi regional dalam lingkup nasional maupun internasional.

 

Kemudian juga ada beberapa naskah akademik yang dalam proses pembahasan mengenai urgensi substansi yang di mana terdapat perkawinan campuran. Salah satunya bagaimana status anak dari hasil perkawinan campuran itu serta mengenai soal warisan nanti. Belum lagi jika nantinya ada sebuah perusahaan asing yang anak perusahaannya mempunyai badan hukum di Indonesia lalu seperti apa prosesnya jika terjadi sengketa ataupun anak usaha itu bermasalah.

 

“Kalau saya sih jujur saja sih memang betul butuh, dalam konteks perkembangan omnibus law karena pasti akan ada dimensi yang bersinggungan pasti terjadi konflik perkawinan campur di Indonesia, pekerja asing di Indonesia beda warga negara beda agama, lalu misalnya ada perusahaan di Singapura dan anak dari anaknya (perusahaan) punya badan hukum di Indonesia ini pasti ada dimensi internasional yang perlu diberikan kepastian hukum dalam HPI,” terangnya.

 

Direktur Hukum dan Regulasi BAPPENAS Prahesti Pandanwangi menyatakan ada tiga hal yang membuat HPI penting berlaku di Indonesia yang pertama untuk memberikan kepastian hukum. Pertama, RUU HPI dapat menjadi pedoman pengadilan di Indonesia untuk menentukan kewenangan yurisdiksional pengadilan untuk mengadili perkara yang mengandung unsur asing, mengetahui hukum materiil mana yang harus diberlakukan oleh pengadilan untuk menyelesaikan perkara jika ada unsur asing serta sejauh mana pengadilan dapat mengakui dan melaksanakan putusan asing di Indonesia.

 

Kedua, dengan adanya RUU HPI dapat meningkatkan nilai Indonesia menurut Investing Across Borders atau IAB mengenai starting of foreign business dan judicial index serta Ease of Doing Bussiness (EoDB). Hal ini bisa terjadi karena selama ini poin di Indonesia untuk aspek tersebut cukup rendah karena tidak ada ketentuan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa transnasional yang sifatnya borderless.

 

“Pembentukan HPI Indonesia dapat meningkatkan peringkat pada aspek enforcing contract dan trading across border,” pungkasnya.

 

Kemudian yang terakhir RUU HPI dianggap dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan hukum berkaitan dengan persoalan hukum transaksi elektronik (e-commerce) yang saat ini sedang menjamur seperti hutang piutang secara online serta ketidakjelasan peraturan tentang pemanfaatan teknologi untuk masalah finansial.

Tags:

Berita Terkait