Usulan Konsultan Ketenagakerjaan Cegah PHK Massal Dampak Covid-19
Berita

Usulan Konsultan Ketenagakerjaan Cegah PHK Massal Dampak Covid-19

Antara lain menerbitkan Perppu terkait aturan ketenagakerjaan sebagai payung hukum, misalnya untuk pekerjaan paruh waktu, fleksibilitas ketentuan PKWT dan perluasan outsourcing.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida. Foto: RES
Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida. Foto: RES

Penyebaran wabah Covid-19 yang semakin meluas berdampak pada banyak sektor, salah satunya sektor ketenagakerjaan. Meluasnya virus corona hampir di seluruh wilayah Indonesia sangat mempengaruhi kinerja, produktivitas, dan keuangan perusahaan. Sebagian pengusaha mengalami kesulitan keuangan yang mendorong perusahaan mengurangi upah, merumahkan pekerjanya, hingga melakukan PHK.   

 

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai langkah terakhir mengatasi dampak Covid-19. “Situasi dan kondisinya memang berat. Tapi inilah saatnya pemerintah, pengusaha dan pekerja bekerja sama mencari solusi (terbaik, red) untuk mengatasi dampak Covid-19,” kata Ida dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (8/4/2020) lalu.

 

Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida melihat pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan terkait Covid-19 antara lain SE Menaker No.m/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19; Peraturan Presiden No.49 Tahun 202; Peraturan Menteri Kesehatan No.9 Tahun 2020; SE Menperin No.4 Tahun 2020; Keputusan Gubernur Jakarta No.380 Tahun 2020; dan Peraturan Gubernur Jakarta No.33 Tahun 2020.

 

Tapi dari berbagai peraturan itu, Ike menilai belum ada yang memberi solusi konkret terhadap nasib pekerja dan pengusaha untuk menghindari PHK. Tanpa maksud mengkritik pemerintah atas lengah dan lambatnya penanganan serta antisipasi pandemi Covid-19, pihaknya mendesak pemerintah untuk tidak melakukan hal yang sama dalam masalah ketenagakerjaan.

 

“Pemerintah jangan lambat dan lengah lagi dalam menangani masalah ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya ‘tsunami’ PHK (PHK massal, red) yang sudah di depan mata,” kata Ike ketika dikonfirmasi, Senin (13/4/2020). Baca Juga: Menaker PHK Langkag Terakhir Hadapi Dampak Covid-19

 

Melansir analisa USA Today, Ike mengatakan kuartal kedua tahun ini tingkat pengangguran di Amerika Serikat (AS) mencapai 32,1 persen karena 47 juta pekerjanya akan kehilangan pekerjaan. Dalam waktu 3 pekan, lebih dari 16,7 juta pekerja AS kehilangan pekerjaan dan diperkirakan jumlahnya akan bertambah.

 

“Ini terjadi karena pandemi Covid-19 di AS telah memakan korban jiwa sekitar 20 ribuan orang dengan 500.000-an kasus. Korban paling banyak di AS dari kalangan kulit hitam yang tingkat ekonominya tergolong rendah,” bebernya.

 

Tingkat kematian tertinggi di AS, menurut Ike ada di New York, dengan total kematian per 9 April 2020 sebanyak 7.844 orang. Bagi Ike, New York sama seperti Jakarta sebagai pusat perekonomian negara. Begitu pula dengan kasus Covid-19 saat ini di Indonesia paling banyak di Jakarta dengan jumlah kematian lebih dari 300-an orang. Dampak Covid-19 di Jakarta bisa lebih buruk daripada New York jika pemerintah tidak cepat tanggap.

 

Ike mencatat pernyataan Menteri Ketenagakerjaan seperti diberitakan sejumlah media yang meminta agar pengusaha menghindari PHK. Menteri Ketenagakerjaan mengimbau sejumlah langkah yang bisa ditempuh seperti tidak memperpanjang PKWT, mengurangi upah, dan fasilitas manajer serta direktur, mengurangi shift kerja, membatasi/menghapus kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan buruh untuk sementara waktu. Sebelum melaksanakan langkah itu tentu saja harus dibicarakan dan disepakati pengusaha dengan serikat pekerja atau wakil pekerja di perusahaan yang bersangkutan.

 

Menurut Ike sedikitnya ada 4 alasan sulitnya pelaksanaan imbauan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan itu. Pertama, apakah serikat pekerja mau jika upahnya dikurangi? Upah adalah hak normatif pekerja. Faktanya, besaran bonus yang tidak termasuk kategori hak normatif saja dapat memicu mogok kerja. Kedua, apakah pengusaha mampu membayar upah pekerjanya sekalipun besarannya dikurangi? Padahal perusahaan sudah merugi akibat berhentinya operasional.

 

Ketiga, apa payung hukum imbauan Menteri Ketenagakerjaan itu untuk mempekerjakan pekerja secara paruh waktu? Mengingat UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kerja paruh waktu. Keempat, sebagian perusahaan tidak dapat melaksanakan kerja dari rumah (work from home) karena tidak ada cantolan hukumnya. Dalam perjanjian kerja, sebagian besar mengartikan defenisi “bekerja” adalah melakukan pekerjaan di area perusahaan.

 

Menurut Ike, pemerintah harus mencari cara bagaimana menghindari PHK, bukan mengurusi pasca PHK. Berbagai program sosial yang disiapkan pemerintah seperti kartu prakerja berpotensi tidak tepat sasaran. Program ini bukan solusi agar tidak terjadi PHK, tapi hanya subsidi dan fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi kerja, bukan untuk menggaji pengangguran.

 

Melansir data Kementerian Ketenagakerjaan per 9 April 2020 Ike menghitung jumlah perusahaan yang merumahkan pekerjanya sebanyak 78.174 perusahaan dengan jumlah pekerja 1.427.067 orang. Ike yakin jumlah data sebenarnya jauh lebih besar daripada yang tercatat Kementerian Ketenagakerjaan karena belum semua perusahaan melapor dan tidak semua pekerja mampu untuk melapor ke dinas ketenagakerjaan atas PHK yang dialaminya.

 

Ike menyebut lembaganya menerima banyak permintaan bantuan hukum dan konsultasi dari kalangan buruh dan pengusaha dengan kasus ketenagakerjaan yang beragam misalnya pekerja mengalami PHK dan pesangonnya tidak dibayar. Guna mencegah terjadinya PHK massal berskala besar, HKHKI mendesak pemerintah untuk segera melakukan setidaknya 3 langkah konkret.

 

Pertama, pemerintah harus menjamin upah seluruh pekerja akan dibayarkan oleh pemerintah, dan meminta agar pengusaha tidak mencoret pekerjanya dari data perusahaannya. Besaran upah yang dibayar dapat disesuaikan misalnya 60 atau 80 persen. Batas atas upah juga bisa dibatasi besarannya, begitu pula jangka waktunya.

 

Kedua, pemerintah perlu membagikan kebutuhan dasar pokok bagi masyarakat yang wilayahnya diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terutama bagi yang berpenghasilan rendah dan menengah. Ketiga, menerbitkan Perppu terkait peraturan ketenagakerjaan untuk memberikan payung hukum atas pelaksanaan imbauan Menteri Ketenagakerjaan seperti ketentuan kerja paruh waktu, fleksibilitas PKWT, dan perluasan outsourcing.

 

Bagi Ike 3 usulan HKHKI itu layak dilakukan karena jika pemerintah lengah, PHK massal berskala besar akan sulit dihindari. Paling penting, pekerja dan pengusaha harus diselamatkan karena mereka adalah roda perekonomian. Dengan adanya jaminan upah, menekan tingkat PHK, dan mengatasi penyebaran Covid-19, pekerja akan merasa aman dengan melaksanakan imbauan “dirumah saja.”

 

“Tapi sebaliknya, jika jaminan itu tidak ada, pekerja akan terus hadir dan bekerja (keluar rumah,-red), sehingga PSBB tidak berjalan maksimal.”

Tags:

Berita Terkait