UU Bahasa Batalkan Kontrak Bisnis Internasional
Berita

UU Bahasa Batalkan Kontrak Bisnis Internasional

Pengadilan abaikan Surat Menteri Hukum dan HAM.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Foto: pn-jakartabarat.go.id
Foto: pn-jakartabarat.go.id

Jaminan Menteri Hukum dan HAM terhadap kontrak bisnis berbahasa Inggris memakan korban. Kala itu, Patrialis Akbar yang menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM menjanjikan perjanjian privat komersial tanpa disertai versi bahasa Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban seperti ditentukan UUNo.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Perjanjian tersebut dinyatakan tetap sah.

Selain tidak melanggar, para pihak juga dibebaskan untuk memilih bahasa mana yang ingin digunakan, bahasa Indonesia atau bahasa Inggris atau kedua bahasa. Kebebasan memilih ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

Namun, jaminan ini tidak sejalan dengan praktik yang terjadi. Sebuah perusahaan yang berkedudukan di negara bagian Texas, Amerika Serikat, Nine AM Ltd harus mengecap pahitnya kontrak bisnis internasional yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Nine AM digugat mitra bisnisnya PT Bangun Karya Pratama (BKP) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat karena kontrak tanpa versi Indonesia.

Alkisah, gugat menggugat ini berawal dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur bahwa BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010. Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Pelunasan pembayaran adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.

Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut melanggar Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009. Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.

Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia. Karena melanggar UU Bahasa, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat.

Rupanya, gugatan ini dikabulkan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Majelis sepakat dengan pandangan perusahaan yang bergerak di bidang sewa alat-alat berat ini. Pengadilan menilai perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. UU Bahasa telah dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.

Lantaran terpaku dengan kata-kata wajib tersebut, majelis tidak mengindahkan jawaban dari Nine AM. Kala itu, Nine AM menyatakan menolak melanggar UU Bahasa. Dalil-dalil yang dikemukan BKP adalah keliru. Menurut Nine AM, tidak ada satu ketentuan pun dalam UU bahasa tersebut mengatur mengenai dampak jika perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa selain bahasa Indonesia. Kontrak tersebut tidak dapat dinyatakan batal demi hukum jika menggunakan bahasa Inggris.

Lebih lagi, UU Bahasa juga belum mengatur Peraturan Presiden sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 UU Bahasa. Pasal 40 UU Bahasa telah menyatakan akan mengatur lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia. Namun, sampai saat ini Peraturan Presiden tersebut tak kunjung lahir. Meskipun belum diatur, merujuk pada teori hukum Ilmu Peraturan Perundang-Undangan, apabila suatu UU tidak mengatur sanksi kebatalan, peraturan pelaksana juga tidak memberikan saksi yang demikian.

Pandangan ini juga diperkuat dengan Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH.UM.01.01-35 tanggal 28 Desember 2009 Perihal Permohonan Klarifikasi atas implikasi dan pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2009. Surat tersebut menyatakan penggunaan bahasa Inggris pada perjanjian tidak melanggar syarat formil.

Artinya, para pihak bebas memilih  bahasa yang digunakan dalam membuat perjanjian. Para pihak bebas memilih sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang termaktub dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Jika Nine AM memakai teori ilmu perundang-undangan, majelis yang terdiri dari Haswandi, Sigit Hariyanto, Kemal Tampubolon juga menggunakan teori yang sama. Kendatipun Peraturan Presiden diterbitkan, Perpres tersebut juga tidak dapat menganulir kata-kata wajib dari Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Soalnya, kedudukan Perpres dalam hierarki perundang-undangan adalah lebih rendah daripada UU. Demikian pula halnya dengan Surat Menteri Hukum dan Ham. Surat Menteri justru tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Setelah berpegang teguh dengan frasa wajib dalam Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut, majelis menyatakan perjanjian tersebut diklasifikasikan sebagai perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang. Soalnya, perjanjian itu tidak memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Lantaran perjanjian pokoknya batal demi hukum, perjanjian fidusia juga dinyatakan batal demi hukum.

Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena penggugat telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800ribu, majelis meminta BKP  mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.

Atas putusan ini, kuasa hukum Nine AM, Maulana Syarif menyatakan tidak puas dengan pertimbangan majelis. Maulana tetap berkukuh UU Bahasa tidak mengatur sanksi kebatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.

“Meskipun wajib, tapi kan tidak ada sanksi yang mengatur kalau perjanjian tersebut harus dinyatakan batal demi hukum,” tutur kuasa hukum Nine AM, Maulana Syarif di Pengadilan Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Maulana menyatakan akan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Permohonan tersebut baru akan dimasukkan Senin depan, (14/10). “Kami akan masukkan memori bandingnya Senin depan,” tuturnya kepada hukumonline, Kamis (10/10).

Tags: