UU Cipta Kerja, Produk Legislasi yang Tutup Ruang Demokrasi
Utama

UU Cipta Kerja, Produk Legislasi yang Tutup Ruang Demokrasi

Karena mengabaikan sejumlah pasal dalam Tata Tertib DPR, sehingga pengesahan RUU Cipta Kerja tergesa-gesa tanpa mendengar aspirasi publik. Meski menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, F-PAN menyampaikan 8 catatan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Karena itu, proses pembahasan yang tidak transparan ini sangat berpotensi terjadi penambahan atau pengurangan pasal dalam RUU Cipta Kerja tanpa terdeteksi. “Keseluruhan penambahan pasal di tengah jalan ini patut ditanyakan, apa urgensi dan bagaimana para pemangku kepentingan terkait memberi masukan terhadap ketentuan ini,” ujarnya.

Catatan F-PAN

Terpisah Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menegaskan meski fraksi partainya menyetujui RUU Cipta Kerja, tapi dengan sejumlah catatan. Ada beberapa poin yang menjadi catatan F-PAN. Pertama, pembahasan RUU Cipta Kerja sangat tergesa-gesa dan minim partisipasi public, sehingga tidak berlebihan bila hasil pembahasan RUU Cipta Kerja kurang optimal. Karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas.

Kedua, di sektor kehutanan, aturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja masih mengsampingkan partisipasi masyarakat, khususnya penghapusan izin lingkungan; penyelesaian konflik lahan hutan; masyarakat adat dan perkebunan sawit; dan tumpang tindih izin areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.

Ketiga, sektor pertanian. Menurutnya fraksinya mendorong pemerintah agar kran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani. “Pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus belum menjadi agenda dalam RUU Cipta Kerja,” kata dia.

Keempat, rumusan norma Pasal 49 RUU Cipta Kerja tentang jaminan produk halal, khususnya Pasal 4A mengatur kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare). Meskipun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), tapi pasal itu berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.

Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) ini menilai self declare merupakan pengakuan sepihak, yang belum tentu dapat diverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, kata Saleh, semestinya RUU Cipta Kerja bisa mengatur lebih spesifik terkait labelisasi produk halal melalui lembaga yang resmi dan disetujui.

Kelima, di bidang ketenagakerjaan belum adanya penjelasan secara gamblang mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) agar tidak menimbulkan multiinterpretasi. Keenam, penghapusan Pasal 64 dan 65 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Intinya, penghapusan pengaturan mengenai dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.

Tags:

Berita Terkait