UU Cipta Kerja Juga Dinilai Rugikan Hak Penyandang Disabilitas
Berita

UU Cipta Kerja Juga Dinilai Rugikan Hak Penyandang Disabilitas

Majelis Panel MK meminta para pemohon memperjelas persoalan konstitusionalitas norma. Apakah norma yang diujikan berkaitan penempatan dari norma yang tidak tepat dalam UU Cipta Kerja atau benar-benar ada hal inkonstitusional yang perlu dikaji secara cermat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Dalam permohonannya, para pemohon mengutarakan Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja telah mengubah Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Norma ini dinilai merugikan para pemohon karena kategori pekerjan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama termasuk dalam pekerjaan yang didasarkan pada perjanjian kerja dalam waktu tertentu (PKWT).

Bagi pemohon, pasal tersebut tidak memberi batasan dan kepastian hukum yang jelas terkait lamanya pekerjaan, sehingga berpotensi pada pekerjaan yang lama penyelesainnya lebih dari tiga tahun digolongkan sebagai pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dengan PKWT. Hal ini mempersempit kesempatan para pemohon untuk bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT/pekerja tetap).

“Hal ini mengingat kondisi para pemohon termasuk sulit mendapat pekerjaan karena keterbatasannya karena pengusaha cenderung lebih mengutamakan pekerja yang lebih sempurna secara fisik dan mental,” lanjutnya.

Jika ada pembatasan waktu terkait jenis pekerjaan tertentu yang penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dalam pasal itu, kata dia, para pemohon berpotensi menjadi pekerja kontrak dalam waktu lebih dari tiga tahun dan bahkan seumur hidup. “Hal ini mengarah pada eksploitasi manusia yang berakibat pada perbudakan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention of the Rights of Persons with Disabilities.

Saran majelis

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams meminta pemohon memperhatikan sistematika permohonan terutama pengelompokan isu yang diangkat yang bertalian dengan pokok perkara dan norma yang diujikan. Hal ini untuk memudahkan Hakim dalam memeriksa perkara ini. Berikutnya, dalam petitum para pemohon, Wahiduddin menyarankan agar disempurnakan sesuai dengan format yang telah ada sebelumnya.

Anggota Majelis lain, Suhartoyo menyarankan permohonan dibuat lebih sederhana, sehingga hal-hal atau uraian yang tidak esensi tidak perlu disertakan. Mengingat permohonan ini bukan hanya dikonsumsi hakim di MK, tetapi juga masyarakat luas. “Sampaikan permohonan secara sederhana, mudah dipahami, dan semangat serta pesannya tersampaikan dalam narasi permohonan,” pinta Suhartoyo.

Dia juga menyarankan para pemohon memperjelas persoalan konstitusionalitas norma. Apakah norma yang diujikan berkaitan penempatan dari norma yang tidak tepat dalam UU Cipta Kerja atau benar-benar ada hal inkonstitusional yang perlu dikaji secara cermat. Berikutnya, para pemohon juga diminta untuk memberi uraian mengenai dampak hukum yang akan muncul apabila permohonan para pemohon dikabulkan Mahkamah.

Sedangkan Ketua Majelis Panel Saldi Isra menyoroti pengujian formil UU Cipta Kerja yang diajukan untuk memberi penjelasan konkret dengan proses pembentukan undang-undang, mulai dari pelanggaran formal yang terjadi pada tahap demi tahap penyusunan norma a quo. “Misalnya apa saja pelanggaran formal yang terjadi atau bagaimana partisipasi masyarakat dan barulah dipaparkan UU lain yang dapat dijadikan batu uji serta Tatib dari pengajuan pembentukan UU a quo,” kata Saldi.

Tags:

Berita Terkait