UU Cipta Kerja Menyelesaikan Korupsi Perizinan dari Hulu?
Kolom

UU Cipta Kerja Menyelesaikan Korupsi Perizinan dari Hulu?

​​​​​​​Reformasi birokrasi menjadi syarat mutlak berjalannya rezim perizinan baru ini.

Bacaan 6 Menit
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES
Ahmad Fikri Assegaf. Foto: RES

RUU Cipta kerja, yang mengubah 76 undang-undang sekaligus, jelas merupakan RUU paling kompleks menyentuh berbagai lapisan masyarakat yang pernah disetujui oleh DPR. Tidak heran banyak sekali kalangan masyarakat yang menyuarakan aspirasi dan kritiknya.

Setelah RUU tersebut disahkan oleh DPR, jelas sekali masih banyak catatan dari berbagai kalangan baik soal proses maupun substansi. Salah satu poin yang cukup mengkhawatirkan adalah dugaan perubahan substansi RUU setelah pengesahan paripurna yang menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum & HAM, Mahfud MD dapat menyebabkan UU Cipta Kerja cacat formal.

Terlepas dari perdebatan mengenai RUU ini yang masih terus berjalan dan keputusan Mahkamah Konstitusi nantinya, dalam hitungan hari RUU ini akan menjadi undang-undang. Karena itu wajar jika kita berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali berbagai masukan serta kritik masyarakat dalam pembuatan peraturan pelaksanaan. Karena undang-undang hanya akan berjalan secara efektif jika didukung secara luas oleh masyarakat.

Dengan berlakunya UU Cipta Kerja ini, penting juga kita melihat bagaimana ia bisa mendorong transformasi besar bidang perizinan yang selama ini tidak mungkin dilakukan antara lain akibat berbagai produk undang-undang yang tidak sinkron.

Sektor Perizinan Lahan Subur Korupsi

Sebagai advokat yang banyak membantu perusahaan dalam berbagai kegiatan usahanya, saya sering kali merasa perizinan di Indonesia diciptakan untuk menghambat dan bukan untuk melindungi masyarakat. Dalam tataran ide mungkin saja hal itu tidak benar, tapi pada kenyataannya jelas perizinan sangat menghambat berbagai kegiatan masyarakat dan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa kita.

Menurut survei (yang diakukan terhadap 1.808 perusahaan dengan berbagai sektor di 64 (dari total 300) kabupaten di Indonesia pada September 2001 sampai dengan Juni 2002 terkait pertanyaan sikap dan pertanyaan kuantitatif yang berkaitan dengan regulasi dan perpajakan)) yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada tahun 2001-2002 (Dikutip dari Corruption in Indonesia, J. Vernon Henderson dan Ari Kuncoro, 2004), sekitar 75% dari perusahaan di Indonesia membayar suap untuk mengurus perizinan. Rata-rata jumlah uang suap yang dibayarkan oleh perusahaan adalah 10% dari total biaya/pengeluaran perusahaan (Tes pre-survei menunjukkan bahwa apabila survei menanyakan secara eksplisit besaran nominal suap yang dikeluarkan (bukan dalam bentuk persentase), responden tidak akan memberikan respons yang akurat. Oleh karenanya, survei LPEM hanya menanyakan rasio besaran uang suap yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap total biaya perusahaan).

Apakah temuan dua puluh tahun lalu itu masih relevan dengan kondisi saat ini? Menurut saya masih. Akan tetapi untuk lebih yakin lagi, saya bertanya kepada beberapa pelaku usaha. Ternyata semua menganggap hasil survei itu cukup relevan. Bahkan untuk kondisi tertentu porsinya bisa lebih dari itu.  Peningkatan biaya terjadi jika berbagai faktor lain seperti “ongkos’’ tertundanya proyek serta hilangnya kesempatan dimasukkan. Misalnya satu proyek yang izin operasinya tertunda karena pemberi izin mengharapkan suap. Maka pemilik proyek harus menanggung biaya terhentinya proyek (yang umumnya sangat besar) sampai izin diberikan.

Tags:

Berita Terkait