UU Perkebunan Tak Tegas Atur Batas Kepemilikan Asing
Berita

UU Perkebunan Tak Tegas Atur Batas Kepemilikan Asing

Riskan jika diterapkan berlaku surut.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
UU Perkebunan Tak Tegas Atur Batas Kepemilikan Asing
Hukumonline
Kekhawatiran atas pembatasan kepemilikan saham dalam usaha perkebunan terjawab setelah DPR dan Pemerintah menyetujui bersama RUU Perkebunan disahkan menjadi Undang-Undang. Pada saat pembahasan muncul usulan pembatasan kepemilikan asing. Asing hanya bisa menguasai maksimal 30 persen saham usaha perkebunan.

Namun dari salinan draf akhir RUU yang disetujui bersama pada 29 September lalu, batasan saham itu tak ada lagi. Tetapi perseorangan dan badan hukum asing tetap dimungkinkan menanamkan modal ke perusahaan-perusahaan perkebunan di Indonesia. Asing diharuskan bekerjasama dengan pelaku usaha dalam negeri.

Pasal 39 ayat (1) UU Perkebunan dimaksud menyebutkan usaha perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan dalam negeri atau penanam modal asing – baik badan hukum asing maupun perseorangan warga negara asing. Pasal 95 ayat (3) menambahkan besaran penanaman modal asing wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan pekebun.

Dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR, Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron mengatakan, klausul besaran penanaman modal asing yang dibatasi sebesar 30 persen merupakan pandangan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Pada dasarnya, lanjutnya, seluruh fraksi setuju pembatasan modal asing di sektor perkebunan. Namun aturan tegasnya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Dia menjelaskan kepentingan nasional harus dikedepankan dalam usaha perkebunan. Namun bukan berarti menutup diri dari penanam modal asing. “Penanaman modal asing wajib dibatasi berdasarkan atas jenis tanaman perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu dan dilakukan pengawasan secara konsisten. Tapi, dalam pelaksanaanya, akan diatur secara tegas di dalam Peraturan Pemerintah,” kata Herman di komplek Parlemen, Senin lalu.

Revisi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, jelas Herman, dilakukan karena Wet ini dinilai belum optimal memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat, terutama untuk menjawab perkembangan dan tantangan di bidang perkebunan. UU baru memiliki paradigm yang berbeda, yang menekankan kepentingan nasional.

Setelah disahkan, Herman berharap UU Perkebunan baru mampu menjawab berbagai problematika di sektor perkebunan dan menjadi aturan dibidang perkebunan yang komprehensif secara berimbang dan proporsional kepada berbagai pihak terkait perkebunan seperti pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan pekebun yang mampu mendorong pertanian berkelanjutan. “Dengan memberikan prioritas kepada masyarakat sekitar kebun untuk mendapatkan kebermanfaatan ekonomi,” tegasnya.

Dihubungi terpisah, Manager Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Abu Meridian mengatakan, persoalan kerusakan hutan yang kerap disebabkan oleh pembukaan lahan perkebunan tidaklah terletak pada persoalan regulasi. Aturan yang sudah dibuat seringkali tak diimplementasikan dengan benar. “Tergantung implementasinya,” katanya saat dihubungi oleh hukumonline, Senin (06/10).

Abu menegaskan lembaga pemantau hutan itu bukan anti-asing. Yang terpenting adalah pembangunan berkelanjutan atas hutan yang dijadikan sebagai lahan perkebunan. Apalagi tak ada yang bisa menjamin pemilik modal nasional murni sebagai pemilik, karena mungkin saja ada asing di baliknya. “Tidak ada pembuktian modalnya dari pelaku usaha dalam negeri atau tidak. Ini cuma persoalan nama saja, tapi modalnya tetap saja punya asing,” tegasnya.

Ia justru mengecam karena sistem perkebunan di Indonesia saat ini tak member banyak manfaat kepada masyarakat sekitar. Hasil produksi perkebunan sawit, misalnya, hanya berbentuk crude palm oil (CPO) yang kemudian diekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi minyak kelapa sawit. “Harusnya membangun pabrik pengolahan CPO itu di dalam negeri. Coba donk terapkan seperti di aturan tambang,” ujar Abu.

Partner pada AKSET Mohamad Kadri menilai klausul pembatasan kepemilikan asing pada RUU Perkebunan cukup riskan jika diterapkan. Apalagi, aturan ini nantinya berlaku surut atau retroaktif.

“Artinya, kalau berlaku retroaktif ada keterpaksaan bagi perusahaan untuk melakukan divestasi saham. Ini cukup berbahaya dan akan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia,” pungkasnya.
Tags: