Viralkan Utang di Media Sosial, Potensi Pidana
Terbaru

Viralkan Utang di Media Sosial, Potensi Pidana

Pihak yang memviralkan utang dapat dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan ringan bila pengutang melaporkannya ke kepolisian.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Selain itu, jika muatan mengandung kata-kata berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, si pelaku dapat dijerat Pasal 315 KUHP atas penghinaan ringan yang mengatur: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Terhadap besaran denda tersebut, Pasal 3 Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (Perma 2/2012) mengatur: “Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 kali.”

Oleh karenanya, pelaku penghinaan ringan dalam Pasal 315 KUHP dapat diancam pidana penjara maksimal 4 bulan 2 minggu atau denda maksimal Rp4,5 juta.

Terkait masalah memviralkan suatu utang biasanya bertujuan mempermalukan si pemilik utang. Hal ini sekalipun ada perjanjian dan persetujuan untuk memviralkan utang lewat SMS, WA, dan berbagai media lain, namun hal tersebut bisa menyebabkan batalnya perjanjian.

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), syarat sahnya perjanjian adalah: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.

Patut diperhatikan, suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan suatu sebab terlarang, yakni dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 17) menggolongkan “sebab yang halal” sebagai syarat objektif. Syarat ini berkaitan dengan objek perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan (hal. 20).

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, secara umum, pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian memviralkan utang dapat dikatakan tidak memenuhi syarat sah perjanjian karena tidak memenuhi “sebab yang halal”, sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.

Karena itu, upaya untuk memviralkan tunggakan utang sebaiknya tidak dilakukan, mengingat si pelaku berpotensi dipidana atas aduan dari si pengutang yang merasa nama baiknya tercemar. Utang memang merupakan kewajiban yang harus dibayar. Sebaiknya, upayakan semaksimal mungkin agar si pengutang membayar utangnya baik dengan cara mencicil maupun memberikan jaminan guna memastikan pembayaran utang.

Tags:

Berita Terkait