Memahami Istilah Vonis Nihil dalam Perkara Pidana
Utama

Memahami Istilah Vonis Nihil dalam Perkara Pidana

Pasal 67 KUHP menjadi landasan hakim dalam memutus vonis nihil Heru Hidayat pada perkara Asabri. Sebab, Heru telah divonis pidana seumur hidup pada perkara Jiwasraya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

3.       Perkara Pidana Nomor 2471/Pid.B/2019/PN Sby tanggal 4 Maret 2020 telah dijatuhi pidana nihil;

Penjatuhan pemidanaan pada putusan ketiga berupa pidana nihil, dengan pertimbangan bahwa perbuatan tindak pidana yang telah diputus sebelumnya merupakan satu kesatuan rangkaian tindak pidana yang masih berhubungan dengan perkara pidana dalam persidangan yang ketiga tersebut.

Sehingga putusan pidana yang telah diterima jika dijumlah adalah 21 (dua puluh satu) tahun, maka putusan ketiga yang dijatuhkan adalah putusan nihil dengan dasar pertimbangan KUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1). Dengan demikian beberapa perbuatan pidana yang dilakukan tidak murni berdiri sendiri melainkan mengandung unsur perbarengan yang dalam hal ini adalah concursus realis. Sehingga dalam pengenaan pemidanaannya menggunakan ketentuan 65 atau 66 dengan ketentuan pidana maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang terberat ditambah sepertiga.                                                              

Meskipun setelah dilakukan pengecekan dalam situs putusan MA, Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tidaklah diputus selama 3 (tiga) tahun melainkan hanya selama 2 (dua) tahun. Dengan demikian total keseluruhan pemidanaan yang telah dijalani oleh terpidana tidak melebihi dan tepat selama 20 tahun penjara. Terlepas dari perbedaan total pemidanaan yang dijatuhkan pada putusan yang kedua dan ketiga tersebut, disini sudah terlihat adanya pengakuan penjatuhan maksimum pidana yang sepatutnya dijatuhkan kepada seseorang berdasarkanKUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1).

Tanggapan Terhadap Vonis Nihil Heru Hidayat

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman turut memberi respons terhadap putusan majelis hakim tersebut. Dia menyampaikan meski menghormati putusan tersebut dia merasa kecewa atas putusan pidana nihil Heru Hidayat dalam korupsi Asabri. Menurutnya, jika hakim tidak memberi hukuman mati sesuai tuntutan jaksa maka tetap memberi hukuman seumur hidup atau hukuman seumur hidup secara bersyarat.

“Yaitu jika hukuman penjara seumur hidup dalam perkara Jiwasraya bebas atau berkurang oleh upaya Peninjauan Kembali atau dapat Grasi maka hukuman seumur hidup dalam perkara Asabri akan tetap berlaku dan Heru Hidayat tetap menjalani penjara seumur hidup,” jelas Boyamin.

Menurutnya, berdasar Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika hakim menyatakan Terdakwa bersalah maka Terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Sehingga, dia menilai putusan hakim tidak boleh nihil karena hukuman sebelumnya dalam kasus Jiwasraya adalah seumur hidup dan bukan penjara dalam hitungan maksimal 20 tahun. “Hukuman nihil hanya berlaku di perkara penjara terhitung yaitu 1 hari hingga maksimal 20 tahun. Jika hukuman seumur hidup maka bisa dijatuhkan hukuman yang sama atau hukuman di atasnya yaitu mati,” jelas Boyamin.

Dia menyampaikan putusan tersebut menyatakan perbuatan Terdakwa Heru Hidayat terbukti, maka mestinya dipidana dan bukan nihil. “Sesuai pasal 240 KUHAP putusan itu keliru sehingga MAKI meminta jaksa Kejagung harus melakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” ungkapnya.

Dia menyampaikan putusan mati sebenarnya itu paling proporsional dan sesuai tuntutan keadilan masyarakat mengingat perbuatan Heru Hidayat sangat merugikan negara, masyarakat dan nasabah secara berulang pada Jiwasraya dan Asabri. Sehingga,  seandainya hakim tidak sependapat dengan tuntutan mati oleh Jaksa Penuntut Umum, mestinya hukuman penjara seumur hidup secara bersyarat lebih memenuhi ketentuan hukum acara KUHAP karena tetap jatuhi hukuman pidana dan bukan nihil.

“Selanjutnya MAKI akan maju ke Mahkamah Konstitusi untuk memperluas makna "Pengulangan Dalam Melakukan Pidana " yang selama ini dimaknai terbatas setelah orang dipenjara kemudian  melakukan perbuatan pidana. Tidak disebut berulang jika belum pernah dipenjara meskipun berulang-ulang melakukan perbuatan pidana. Jika ini dikabulkan Mahkamah Konstitusi maka dalam kasus seperti Heru Hidayat nantinya dapat diterapkan hukuman mati,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait