Voucer Pulsa dan Token Listrik Dikenai Pajak, Begini Penjelasannya
Berita

Voucer Pulsa dan Token Listrik Dikenai Pajak, Begini Penjelasannya

Aturan ini tidak menimbulkan jenis pajak baru. Pengenaan PPN terhadap telekomunikasi sudah diatur sejak tahun 1988.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan bahwa PPN sdh ada sejak  Desember 1983 dan berlaku 1 Juli 1984, melalui UU No 8 Tahun 1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988 yg mengatur secara spesifik ttg PPN Jasa Telekomunikasi.

Namun seiring berkembangnya teknologi, sarana transmisinya berubah ke voucher pulsa dan pulsa elektrik, sehingga PPN dikenakan ke voucer pulsa dan voucer listrik.

“Awalnya jasa telekomunikasi melalui sambungan kabel, lalu satelit, terus ke seluler dengan pasca bayar, lalu pra bayar. Pulsa kemudian jadi babak baru, penanda transmisi jasa telekomunikasi yang bisa fleksibel dipindahtangankan dan digunakan. Kini pulsa sebagian besar elektrik bukan fisik. Jadi gamblang, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucher pulsa dan pulsa elektrik, sudah terutang PPN sejak UU 8/1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988 yang mengatur secara spesifik ttg PPN Jasa Telekomunikasi.” kata Yustinus, Sabtu (30/1).

Dahulu, lanjut Yustinus, Perumtel sebagai pengusaha yang wajib memungut PPN atas penyerahan jasa telekomunikasi, kini pemungutan PPN wajib dilakukan ke seluruh provider jasa telekomunikasi. Pengenaan PPN dilakukan dengan mekanisme normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, dan yang disetor adalah selisihnya.

Namun mekanisme ini menimbulkan permasalahan di lapangan, khususnya di distributor dan pengecer sebagai bagian mata rantai. Terutama yang skala menengah-kecil kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu, sehingga di lapangan memunculkan dispute dengan Kantor Pajak, kemudian ada imbauan dan pemeriksaan pajak.

"Dispute di lapangan tak terhindarkan dan timbul ketidakpastian. Kadang ketetapan pajak yang besar sangat memberatkan distributor/pengecer. Tapi petugas pajak tak keliru ketika ada objek yabg ditagih. Jika dibiarkan, ada kerugian di kedua pihak. Maka ini dimitigasi  oleh Ditjen Pajak,” jelasnya.

Dengan adanya PMK-6/2021 justru memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak. Tujuannya agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

Tags:

Berita Terkait