Wacana Ubah Irah-Irah Putusan, Dua Advokat Senior Ini Beda Pandangan
Berita

Wacana Ubah Irah-Irah Putusan, Dua Advokat Senior Ini Beda Pandangan

Irah-irah putusan yang berlaku seharusnya tidak diubah karena setiap tindakan manusia selalu mengatasnamakan Tuhan. Di sisi lain, secara filosofis Pancasila merupakan bentuk refleksi keselarasan dengan prinsip ketuhanan yang merupakan bagian dari Pancasila.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Otto Hasibuan. Foto: RES.
Otto Hasibuan. Foto: RES.
Beberapa waktu lalu muncul wacana gagasan agar kalimat dalam irah-irah kepala  putusan pengadilan diubah. Usul mengubah irah-irah itu muncul dalam diskusi kelompok terarah yang digelar Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pimpinan Luhut MP Pangaribuan. Perubahan kalimat irah-irah putusan itu diusulkan menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila”. Luhut sendiri beralasan usulan perubahan irah-irah putusan tersebut berdasarkan situasi sosial kebangsaan yang mulai tersegmentasi oleh kelompok-kelompok tertentu.

“Saya kira kurang tepatlah ya. Jangan gara-gara ada praktik yang salah di masyarakat hal-hal yang prinsip kita ubah,” ujar Ketua Dewan Kehormatan PERADI kubu Yusuf Hasibuan, Otto Hasibuan di sela-sela acara pelantikan Komisi Pengawas dan Pengurus Pusat Bantuan HUkum DPN PERADI, Jumat (9/6) di Jakarta. Baca Juga: Advokat Usulkan Perubahan Irah-Irah Putusan Pengadilan

Menurut Otto, tidak ada yang salah dari irah-irah putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Justru, letak kesalahannya sebenarnya pada penegak hukum yang melaksanakan prinsip yang terkandung dalam irah-irah tersebut. “Jadi gak ada yang salah dari irah-irah itu, tapi orang yang melaksanakannya yang salah,” kata Otto.

Otto menilai munculnya usulan perubahan irah-irah bentuk respon yang kurang tepat terhadap kondisi kebangsaan saat ini. Apalagi kemudian respon tersebut dilakukan dengan meramaikan semboyan-semboyan yang seolah-olah lebih Pancasilais. Padahal, hal ini hanya akan mengakibatkan memudarnya nilai khidmat terhadap Pancasila itu sendiri.  

“Jadi kita juga jangan terlalu panik dan jangan ‘banjir Pancasila’. Sebab, kalau terjadi banjir Pancasila, maka Pancasila itu juga nanti mutunya kurang,” terangnya.

Karena itu, Otto meminta agar masyarakat tidak berlebihan “membumikan” slogan Pancasilais. Namun, lebih mengutamakan penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu. “Tidak untuk ‘dibanjir-banjiri’, tapi harus dihayati, diamalkan, dan dilaksanakan,” harapnya.

Bagi mantan Ketua Umum PERADI ini apabila masyarakat merespon kondisi kebangsaan dengan jalan mengubah irah-irah putusan yang berlaku, ia khawatir akan muncul anggapan seolah-olah ada kesalahan dalam prinsip “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Otto melanjutkan sikap yang benar dalam menghadapi persoalan kebangsaan ini bukan dengan cara memunculkan dikotomi antara Pancasila dan non-Pancasila. Seharusnya dikedepankan dengan mempertegas semangat keindonesiaan dalam diri masyarakat Indonesia.

“Tidak ada perbedaan antara Pancasila dan Indonesia, menjadi persoalan apabila orang Indonesia sendiri tidak mengamalkan Pancasila itu sendiri. Harusnya kita pertimbangkan bagaimana mengindonesiakan rakyat Indonesia. Jadi persoalan kalau dia rakyat Indonesia, tapi tidak Indonesia. Karena Indonesia itu adalah Pancasila,” tegasnya.

Lebih lanjut, Otto menyayangkan jika masih ada keinginan unsur masyarakat mengganti irah-irah putusan. Sebab, hal itu hanya akan berdampak kemunduran pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. “Percayalah apa yang sekarang ini sudah benar. (Irah-irah) Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu nggak perlu diubah-ubah lagi,” pintanya.

Dia menambahkan alasan digunakannya irah-irah putusan yang berlaku sekarang bertujuan ada kepatuhan, ketaatan, dan karena setiap tindakan manusia selalu mengatasnamakan Tuhan. Sebab, keadilan yang sebenarnya (hakiki) adalah keadilan yang mengatasnamakan nilai-nilai Ketuhanan.

“Persoalannya, sekarang sudah banyak hakim yang juga tidak takut sama Tuhan. Advokat juga begitu, polisi juga begitu. Itu kan (memang) manusianya. Jadi, jangan sampai prinsip ketuhanan itu yang dihapus, (seharusnya sifat) manusianya yang diubah,” dalihnya. Baca Juga: Adakah Nilai Ketuhanan dalam Setiap Undang-Undang

Dalam kesempatan yang sama Ketua DPN PERADI, Fauzi Yusuf Hasibuan justru berbeda pandangan. Fauzi sepakat dengan usulan wacana perubahan irah-irah putusan tersebut. “Paling tepat sih bukan ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi sebaiknya ‘Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila, saya setuju,” kata Fauzi.

Menurutnya, secara filosofis Pancasila merupakan bentuk refleksi keselarasan dengan prinsip ketuhanan. Tak hanya itu, dalam Pancasila terkandung nilai keadilan. “Jadi, Pancasila itu sebagai star light dari seluruh aturan ketatanegaraan kita. Jadi keadilan yang diterapkan dalam hukum juga harus bercermin dari Pancasila. Pancasila itu bagiannya ketuhanan yang maha esa. Jadi, lebih bagus irah-irahnya, ‘Demi Keadilan Berdasarkan Pancasila,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Arief Hidayat pernah berpendapat sistem hukum Indonesia harus dibangun dan ‘disinari’ dengan sinar-sinar (nilai) Ketuhanan. Menurut Arief, sinar Ketuhanan tersebut berasal dari agama dan kepercayaan apapun yang ada di Indonesia. Baca Juga: Ketua MK: Sistem Hukum Indonesia Mesti ‘Disinari’ Nilai Ketuhanan

Dia mengingatkan setiap produk hukum atau proses hukum di Indonesia selalu menggunakan irah-irah “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” atau “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini tercermin dari setiap produk hukum, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, atau peraturan apapun termasuk pengangkatan/penetapan pejabat negara.     
Tags:

Berita Terkait