Wahidduddin Adams: Pelaksanaan Putusan MK Tergantung Kesadaran Organ Negara
Terbaru

Wahidduddin Adams: Pelaksanaan Putusan MK Tergantung Kesadaran Organ Negara

Berbeda dengan Pengadilan Negeri yang memiliki juru sita, Wahidduddin menyampaikan MK tidak memiliki perangkat ataupun aparat untuk mengawasi eksekusi putusan.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan mengadili salah satunya terkait pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kewenangan tersebut berlaku pada tingkat pertama dan terakhir sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, segala putusan yang telah “dicetak” oleh MK sepatutnya segera dilaksanakan. Namun, faktanya terkadang terdapat pihak-pihak yang enggan melaksanakan putusan MK.

“Putusan yang bersifat final dan mengikat itu tidak selalu berjalan secara konsekuen. Pada dasarnya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan, tapi praktik (yang ada) belum semua dapat dieksekusi. Termasuk putusan MK yang menjadi perdebatan terkait kekuatan eksekutorialnya,” ujar Hakim Konstitusi Wahidduddin Adams saat Kuliah Tamu Hakim Mahkamah Konstitusi dan Universitas Muhammadiyah Jember bertajuk “Kepatuhan Lembaga Negara Dalam Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi”, Sabtu (16/7/2022) sebagaimana dikutip laman MK.

Wahidduddin mengatakan perdebatan seputar kekuatan eksekutorial yang dimiliki MK muncul sebagai implikasi dari fakta bahwa MK tidak mempunyai perangkat/instrumen atau aparat untuk mengawasi eksekusi putusan yang pada akhirnya semua berpulang pada kesadaran warga negara untuk melaksanakannya. Berbeda dengan Pengadilan Negeri yang memiliki juru sita.

“MK tidak punya jangkauan perangkat atau aparat yang bisa mengeksekusi atau menegur (lembaga negara) terkait Putusan MK. Jadi sepenuhnya kepada kesadaran organ negara dan kita tidak dapat memberikan sanksi apapun,” kata dia.

Dari data yang dimiliki, ia menampilkan hasil penelitian pada 2013-2018 dimana dari total 109 putusan, tingkat kepatuhan seluruhnya sejumlah 59 putusan atau 54,12% putusan dipatuhi oleh lembaga negara; dipatuhi sebagian 6 putusan (5.5%); sebanyak 24 putusan (22.01%) tidak dipatuhi; serta sebanyak 20 putusan (18.34%) dengan status belum diketahui. “Belum diketahui dalam hal ini belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya,” ujarnya.

Ada 2 contoh putusan MK yang tidak dipatuhi. Pertama, Putusan MK No.30/PUU-XVI/2018. Pada frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf i UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, MK menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus atau fungsionalis parpol. Putusan ini melarang pengurus parpol untuk menjadi calon anggota DPD RI

“Secara normatif, putusan ini telah dipatuhi oleh KPU. KPU menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) No. 26 Tahun 2018, materi perubahan itu mengakomodir putusan MK. Namun secara praktis, putusan MK tidak dipatuhi. Dibuktikan dengan Putusan MA No.65 P/HUM/2018 justru membatalkan PKPU tersebut. Jadi putusan MK ditindaklanjuti oleh PKPU, PKPU-nya diuji di MA, ternyata dibatalkan. Tapi memang ya kewenangan dari MA pengujiannya peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.”

Kedua, Putusan MK No.10/PUU-XV/2017 yang tidak dipatuhi. Terkait UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, disebutkan jumlah anggota Konsil kedokteran sebanyak 17 orang yang terdiri dari (salah satunya) unsur organisasi profesi kedokteran sebanyak 2 orang. Hal itu diputus oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur ‘organisasi profesi kedokteran’ tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran.

“Jadi pertanyaan akademiknya, kalau belum dilaksanakan (putusan MK) itu bagaimana? Ya, menunda terwujudnya keadilan. Melambatkan keadilan itu terpenuhi sama dengan menolak adanya keadilan. Padahal, kepatuhan para penyelenggara negara terhadap putusan MK menentukan kokohnya prinsip negara hukum.”

Tags:

Berita Terkait