Walhi: KUHP Baru Berpotensi Meningkatkan Kriminalisasi Masyarakat
Terbaru

Walhi: KUHP Baru Berpotensi Meningkatkan Kriminalisasi Masyarakat

Pasal-pasal bermasalah dalam KUHP berpotensi meningkatkan jumlah kriminalisasi terhadap masyarakat terutama pejuang HAM dan lingkungan hidup. Tahun 2021 sedikitnya 53 kasus kriminalisasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly dan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto saat pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES
Menkumham Yasonna H Laoly dan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto saat pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: RES

Pemerintah dan DPR telah sepakat menyetujui RUU KUHP menjadi UU KUHP. Padahal, kalangan masyarakat sipil dan lembaga negara independen menyuarakan agar berbagai pasal bermasalah dalam RUU KUHP untuk dihapus. Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif, Puspa Dewy, mengatakan kesepakatan pemerintah dan DPR itu menunjukkan wajah negara yang anti kritik.

“Sebagaimana sikap sejak awal, substansi aksi WALHI bersama masyarakat sipil tetap menolak pengesahan RUU KUHP yang dinilai masih memuat pasal-pasal bermasalah,” kata Dewi saat dikonfirmasi, Rabu (7/12/2022).

Dewy mencatat sejumlah pasal bermasalah RUU KUHP seperti terkait living law, hukuman mati, penghinaan Presiden RI, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court). Kemudian pengaturan terkait pawai, unjuk rasa, dan demokrasi yang semakin memperkecil ruang kebebasan sipil.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi semakin mempersempit ruang demokrasi di Indonesia dan memperbanyak kriminalisasi rakyat. Saat ini saja, WALHI mencatat di tahun 2021 ada 53 kasus kriminalisasi dan jumlah ini diyakini akan bertambah dengan kehadiran UU KUHP baru,” ujar Dewi.

Baca Juga:

KUHP baru menurut Dewi semakin memperkuat indikasi penegakan hukum yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hal itu mudah dilihat dari pasal-pasal KUHP yang bermasalah dan mempidana ruang privat. Sebaliknya, KUHP meringankan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal serupa juga terhadap tindak pidana korporasi sebagaimana diatur Pasal 46-48. Ketentuan itu intinya mempersulit pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan karena dikaitkan dengan kesalahan pengurus.

’’Aturan-aturan di KUHP itu cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit upaya untuk menjerat korporasi yang melakukan kejahatan,’’ ujar Dewi.

Secara umum, Dewi melihat KUHP baru memuat banyak pasal yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Serta memberi keuntungan bagi korporasi termasuk yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan hidup. Hal tersebut jelas bertentangan dengan mandat konstitusi.

KUHP baru tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Sebaliknya, malah menghancurkan demokratisasi sumber daya alam, merampas wilayah kelola rakyat dan semakin jauh dari cita-cita keadulan ekologis. KUHP hanya membuat demokrasi dan HAM di Indonesia semakin mundur dan mengabaikan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat.

“UU KHUP ini kembali menegaskan bahwa pemerintah kembali melakukan pembangkangan atas konstitusi RI dan memperburuk demokrasi Sumber Daya Alam di Indonesia,” tegas Dewi.

Tags:

Berita Terkait