Warisan Kolonial yang Dilirik Pengusaha Kala Sengketa
LIPUTAN KHUSUS

Warisan Kolonial yang Dilirik Pengusaha Kala Sengketa

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang, baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya.

Oleh:
Hasyry Agustin/YOZ
Bacaan 2 Menit

Sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia sangat panjang. Hal ini dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv). Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” berpandangan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Sedangkan Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.  (Baca Juga: BANI Versi Mampang: BANI Pembaharuan Lakukan Perbuatan Melawan Hukum)Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang, baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu, ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia, Badan arbitrase tentang kebakaran, dan Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan. (Baca Juga: Syarat Ini ‘Ganjal’ Law Firm Bela Pemerintah di Arbitrase Internasional)Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama (Tiboo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg. Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah dahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.  (Baca Juga: BANI Berbadan Hukum Launching, Kini BANI Resmi Ada Dua)Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini”. Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. Secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977. Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. (Baca juga: Silang Pendapat Pengacara Atas Dualisme Kelembagaan BANI)Badan Arbitrase di Tanah AirBerdasarkan penelusuran hukumonline, saat ini Indonesia memiliki 14 Badan Arbitrase dengan kekhususan masing-masing. 1.   BADAPSKIBadan Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI). Setiap tahun, puluhan ribu kontrak konstruksi ditandatangani dan diimplementasikan. Dalam hal ini, sudah hampir pasti akan terjadi sengketa konstruksi akibat perbedaan interpretasi maupun akibat lain yang bersifat fisik maupun non fisik. Penyelesaian sengketa secara umum di Indonesia diatur dengan suatu perundangan dan saat ini berlaku, UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Dalam UU ini, terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Penyelesaian dengan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa terbukti efektif dalam penyelesaian sengketa pada umumnya dan demikian juga tentunya sengketa konstruksi pada khususnya.
2.   BAKIBadan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI). Komite Olimpiade Indonesia (KOI) membentuk BAKI pada 27 Maret 2012. BAKI memiliki tugas utama untuk menerima, memeriksa, dan memberikan keputusan arbitrase dalam perselisihan di bidang olahraga.Badan arbitrase ini mulai resmi beroperasi sejak 26 Maret 2012. Dalam menjalankan tugasnya, BAKI bisa menerima pengaduan dari seluruh cabang olahraga di Indonesia, bukan hanya cabang olahraga yang masuk Olimpiade. Namun, pihak-pihak yang mengajukan pengaduan pada BAKI harus tunduk di bawah aturan dan regulasi BAKI. Dengan terbentuknya BAKI, Indonesia memiliki dua badan arbitrase olahraga. Sebelumnya, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) telah memiliki badan arbitrase khusus untuk menyelesaikan sengketa olahraga, yaitu Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI).
3.   BAKTIBadan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI). BAKTI mengkhususkan diri pada sengketa perdata yang berkenaan dengan Perdagangan Berjangka Komoditi, Sistem Resi Gudang dan/atau transaksi-transaksi lain yang diatur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa BAKTI adalah pengadilan swasta khusus untuk bidang komoditi.BAKTI didirikan oleh PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), PT Kliring Berjangka Indonesia (persero) (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI), dengan difasilitasi dan dukungan penuh Bappebti, berdasarkan akta pendirian yang ditandatangani pada tanggal 7 Nopember 2008 di Auditorium Utama Departemen Perdagangan dengan disaksikan oleh Menteri Perdagangan R.I. saat itu, Ibu Mari Elka Pangestu. Proses pendirian BAKTI dipersiapkan oleh sebuah tim kerja yang dibentuk oleh Kepala Bappebti. Pendirian BAKTI merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada masyarakat dan pelaku pasar melalui penyediaan sarana penyelesaian sengketa yang adil serta lebih sederhana dan lebih cepat daripada pengadilan.
4.    BAMEPERPIBadan Arbitrase Dan Mediasi Perusahaan Penjamin Indonesia
5.   BAMESPERINBadan Arbitrase Mediasi Sengketa Pertanahan Indonesia
6.   BAMPPIBadan Arbitrase dan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BAMPPI). BAMPPI merupakan wadah penyelesaian sengketa di bidang usaha penjaminan yang cepat, murah, mudah dan independen. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 28 April 2015 oleh 16 Perusahaan Penjaminan yang dikoordinasikan oleh Asosisasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo). Pendirian BAMPPI ini merupakan amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. 
7.   BANIBadan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu, di mana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini BANI memiliki lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 30% diantaranya adalah asing.
8.   BAPMIBadan Arbitrasi Pasar Modal Indonesia (BAPMI). BAPMI didirikan sebagai tempat menyelesaikan persengketaan perdata di bidang pasar modal melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Saat ini, BAPMI menyediakan 4 alternatif cara penyelesaian sengketa, yakni melalui Pendapat Mengikat, Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase.Pendirian BAPMI tidak terlepas dari keinginan pelaku Pasar Modal Indonesia untuk memiliki sendiri lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan khusus di bidang Pasar Modal yang ditangani oleh orang-orang yang memahami Pasar Modal, dengan proses yang cepat dan murah, hasil yang final dan mengikat serta memenuhi rasa keadilan. (Baca Juga: 5 Tantangan Berperkara di Arbitrase Bagi Advokat)
Di bawah dukungan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), maka selanjutnya pada tahun 2002 Self Regulatory Organizations (SROs) di lingkungan Pasar Modal yaitu PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan PT Bursa Efek Surabaya (BES) [kini PT Bursa Efek Indonesia (BEI)], PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) bersama-sama dengan 17 asosiasi di lingkungan Pasar Modal Indonesia menandatangani MOU (Akta No. 14, dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy SH) untuk mendirikan sebuah lembaga Arbitrase yang kemudian diberi nama Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, disingkat "BAPMI". Akta Pendirian BAPMI (Akta No. 15, dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy SH) ditandatangani di Jakarta oleh PT BEJ dan PT BES [kini PT BEI], PT KPEI dan PT KSEI pada tanggal 9 Agustus 2002 disaksikan oleh Bapak Boediono selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia pada saat itu, dalam suatu upacara di auditorium Kementerian Keuangan Republik Indonesia di Jakarta. Selanjutnya BAPMI memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No: C-2620 HT.01.03.TH 2002, tanggal 29 Agustus 2002. Pengesahan itu telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Oktober 2002, Nomor 84/2002, dan Tambahan Berita Negara Nomor 5/PN/2002. 
9.   BASYARNASBadan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebuah lembaga yang berfungsi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. MUI memprakarsai pendirian BMI pada tahun 1991 sebagai Lembaga Keuangan Syariah pertama di Indonesia. Pendirian BMI kemudian diikuti dengan Rakernas MUI tahun 1992 yang merekomendasikan pendirian Badan Arbirtase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tahun 1993 yang dimaksudkan untuk memberikan keputusan atas persengketaan yang mungkin terjadi antara pihak yang terlibat dalam urusan muamalah.
10.  BAVIBadan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI). Sektor modal ventura bernama Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI) didirikan pada 2 Oktober 2014 oleh empat perusahaan modal ventura. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Bahana Artha Ventura, PT Sarana Jatim Ventura, PT Astra Mitra Ventura dan PT Pertamina Dana Ventura. (Baca Juga: Tiga Kubu PERADI Keberatan Syarat Konsultan Hukum Arbitrase Internasional)
11.  BMAIBadan Mediasi Dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Secara resmi BMAI didirikan pada 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada 25 September 2006. Pendiriannya ini sejalan dengan Surat Keputusan Bersama empat Menteri yaitu a) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.KEP.45/M.EKON/07/2006; b) Gubernur Bank Indonesia No.8/50/KEP.GBI/ 2006; c) Menteri Keuangan No.357/KMK.012/2006; dan d) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.KEP-75/MBU/2006 Tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang ditetapkan di Jakarta tanggal 5 Juli 2006. Juga sejalan dengan ketentuan Lampiran III Lembaga Keuangan Non-Bank poin - 3 program -3 tentang Perlindungan Pemegang Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.Pendirian BMAI digagas oleh beberapa Asosiasi Perusahaan Perasuransian Indonesia yang berada di bawah FAPI (Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) dan didukung penuh oleh Biro Perasuransian, Bapepam LK, Departemen Keuangan RI.Dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan, BMAI harus mengadakan beberapa penyesuaian agar ia bisa diterima sebagai LAPS yang diakui oleh OJK. Oleh karena itu, BMAI telah memperluas kegiatannya dengan fungsi penyelenggara arbitrase dan mengubah namanya menjadi Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia. (Baca Juga: Bersengketa di Sektor Jasa Keuangan? Ini Tata Cara Penyelesaiannya)   12.  LAPSPIPendirian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Lembaga Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Perbankan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan yang ditangani oleh orang-orang yang memahami dunia perbankan dan mampu menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien.    Dengan berdasarkan kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Asosiasi di bidang Perbankan, yakni Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS), Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (ASBANDA), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (PERBINA), dan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (PERBARINDO), telah menandatangani Nota Kesepakatan Bersama tertanggal 5 Mei 2015 untuk membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang kemudian diberi nama Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). 13.  BMDPBadan Mediasi Dana Pensiun. 
14.  BMPPI Untuk Perusahaan pembiayaan dan pegadaian bernama Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesiayang lahir pada tanggal 10 April 2015.
Tags: