Yang Terlahir dari Nafas Reformasi di Tengah Kemelut Mahkamah
LIPUTAN KHUSUS

Yang Terlahir dari Nafas Reformasi di Tengah Kemelut Mahkamah

Badan Pengawasan Mahkamah Agung lahir sejalan semangat reformasi bergelora. Masih begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: SGP
Gedung Mahkamah Agung. Foto: SGP
“Tindak lanjutnya dengan UU No 35 tahun 1999 tetang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan tengat waktu lima tahun untuk melepaskan Yudikatif dari Eksekutif,” ujarnya. (Baca juga: Mandi Keringat di Badan Segala Urusan)
Mahkamah Agung kala itu cukup progresif, klaim Ansyahrul. Sebab menyikapi transisi reformasi dengan langsung berfokus kepada pengawasan. 
Pada tahun itu juga atas usulan MA dikeluarkanlah Surat Keputusan Presiden RI Nomor 131/M tahun 2001 pada 23 April 2001, Tentang Pengangkatan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan. Tugasnya melakukan pengawasan dan pembinaan yang merupakan salah satu fungsi dari Mahkamah Agung.
Selepas itu, lanjut Anyahrul, Mahkamah Agung mengajukan konsep pembentukan unit Pengawasan dan Pembinaan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Maka keluarkan Surat Nomor 156/ M.PAN/VI/2002 tanggal 10 Juni 2002 yang memberi persetujuan. 
Persetujuan tersebut oleh Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung RI ditindaklanjuti dengan pembentukan Unit Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung RI Nomor: MA/PANSEK/013/SK.VI/2002 pada 12 Juni 2002. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, dibentuklah struktur organisasi Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung.
“Saya kemudian duduk di dalamnya bersama sembilan hakim, dan para staf,” katanya. Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI (Asbidwasbin) secara struktural berada di bawah Sekretaris Mahkamah Agung RI yang dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi Ketua Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan.
Tahun lantas berubah, kata Ansyahrul, pengembangan pengawasan pun juga berkembang. Dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 4 dan 5 Tahun 2004 maka organisasi, administrasi dan finansial seluruh badan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal dampak terhadap fungsi pengawasan Mahkamah Agung. Sejak itu, lebih tepatnya pada 2006, berdiri sebuah badan bernama Badan Pengawasan Mahkamah Agung.
Hari-hari Pengawasan
Masa awal duduk bersama sembilan hakim di unit maupun setelah menjadi Badan Pengawasan adalah hari-hari penuh keringat bagi Ansyahrul. Apa sebab? Semua urusan kemudian butuh tangan Badan Pengawasan. mulai dari pengelolaan sumberdaya manusia, anggaran hingga penanganan pengaduan. “Kami tak pernah bisa pulang cepat, selalu saja malam bahkan menjelang tengah malam. Banyak sekali urusan,” katanya.
Ia ingat betul aduan yang pertama kali mampir ke unitnya kala itu. Saat itu tanpa mau menyebut detil, sebuah surat kaleng lantaran dikirim tanpa nama tersimpan di mejanya. Aduannya mengenai kecurigaan satu hakim di Jakarta yang membantu perkara. 
“Kami periksa semua mulai dari verifikasi pelaoran hingga terlapor, tentu mengelak, karena berhubungan dengan uang kami mencoba memeriksa rekening, namun saat itu tak bisa sebab bank tak bisa memberikan data jadi akhirnya tak berhasil membuktikan,” katanya.
Kegagalan penelusuruan pengaduan pertama tak jadi soal bagi Ansyahrul dan sembilan hakim pengawas. Mereka tetap bekerja. Alhasil pembinaan soal anggaran di satuan kerja mendominasi kinerja mereka.
Bukan cuma soal kegagalan, benturan dengan internal mahkamah saat itu juga dirasa. Maklum birokrasi yang selama ini tertutup dipaksa harus menerima campur tangan pengawas.
“Kami berhati-hati sekali dalam memeriksa. Sebab bukan apa2 baru saja diawali pemeriksaan itu, stigma bisa jadi sudah menimpa si hakim.Makanya banyak sekali pemeriksaan dilakukan dalam sepi dan tertutup,” kata Ansyahrul yang enggan mengaku kalau sebagai hakim pengawas dijauhi banyak orang dan teman.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali saat diwawancarai hukumonline mengatakan memang tak mudah menjadi hakim pengawas. Selain secara mental dan integritas ditempa, pengetahuan dan fisik pun dipertaruhkan. 
“Butuh seorang yang agak tega, yang berani menyebut salah memang salah, jangan terlalu menuruti rasa kemanusiaan. Namun di balik itu juga butuh seorang hakim yang supel serta luas pergaulannya, namun penanya harus tajam,” katanya. Saya lanjutnya, “kadang kasihan lihat kerja hakim pengawas, libur pun bisa jadi ditelepon jika ada pengaduan, mereka harus siap terus.”
Sementara itu, Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Astriyani menilai Bawas merupakan salah satu unit kerja yang paling solid di antara unit kerja lain. Kenapa? Karena sepertinya di Bawas ada tradisi untuk menjaga agar hanya hakim-hakim yang memiliki catatan yang bersih saja yang dijadikan hakim tinggi pengawas.
Tradisi ini agak berbeda dengan yang setau saya terjadi di unit-unit pengawasan di lembaga penegak hukum lain. Di lembaga-lembaga itu, kadang unit pengawasan malah seperti dijadikan tempat "pembuangan" orang-orang yang dijatuhi sanksi disiplin.
“Tradisi ini juga kemudian, menurut saya mengarah ke terbentuknya budaya baru, yang terus terang, sudah agak berbeda dengan unit kerja lain di MA,” katanya.
Hari-hari pengawasan terus berjalan. Tak terasa kini sudah hampir satu dekade Badan Pengawasan berjibaku dengan segala urusan. Dalam sepi Badan Pengawasan bekerja, tanpa akuan di tengah badai godaan dan cacian, sebab seringkali mereka adalah sekumpulan orang yang tak dikehendaki kehadirannya di beberapa kesempatan. Pulang malam sudah jadi tuntutan. 
Namun sebuah kalimat sederhana menutup pembicaraan hukumonline dengan Ansyahrul soal sibuknya kerja pengawasan. “Pulang malam itu anggap saja nunggu macet,” katanya bersahaja.
Liputan khusus kali ini berupaya untuk menguak cerita-cerita di balik kerja pengawasan. Berupaya merekam satu sisi yang tak pernah terdokumentasikan.

Hukumonline.com
sumber: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2015.
- “Maaf pak saya rasa saya tak pantas untuk duduk di tim itu.”
- “Ini perintah sudah harus."
Setidaknya tiga kali Ansyahrul menolak permintaan Mahkamah Agung untuk duduk di dalam unit pengawasan. Tiga kali sambungan telepon yang kandas itu digagas oleh Sekretaris Mahkamah Agung Gunanto Suryono. 
Ansyahrul sekamir periode awal 2000-an menjabat sebagai seorang Hakim Tinggi di Palangkaraya. Ia tak pernah membayangkan harus kembali ke “belantara” Jakarta, setelah 31 tahun meninggalkannya sejak lulus kuliah.
“Saya ada perasaan takut untuk kembali ke Jakarta kala itu,” kata Ansyahrul saat disambangi hukumonline di kediamannya, awal Agustus lalu.
Tak lama berselang, untuk kempat kalinya Gunanto menghubungi lagi. Ansyahrul yang ragu kali ini sedikit tercerahkan. Gunanto saat itu mengaku sedang mengadakan sebuah rapat penting di kawasan Puncak, Bogor menyebut satu nama Hakim Agung yang merekomendasikan dirinya. Mariana Sutadi namanya.
Sejak itu, lantaran merasa tertantang Ansyahrul masuk ke dalam unit pengawasan. Ia langsung ditunjuk sebagai pemimpin unit pengawasan di bawah kendali Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan, Mariana Sutadi. Kemudian itu berkembang menjadi Badan Pengawas dan Ansyahrul juga menjadi pimpinan pertamanya.
Menurut Ansyahrul, masalah pengawasan sebenarnya dimulai dari semangat reformasi yang dinaungi Ketetapan MPR No 10 tahun 1998. Ketetapan itu mengamanatkan pemisahan penuh kekuatan Yudikatif dari Eksekutif. Caranya dengan mendirikan sistem peradilan satu atap.
Tags:

Berita Terkait