YLBHI: RUU Pembentukan Peraturan Justifikasi Buruknya UU Cipta Kerja
Terbaru

YLBHI: RUU Pembentukan Peraturan Justifikasi Buruknya UU Cipta Kerja

Ada tiga catatan kritis.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Badan Legislasi (Baleg DPR) dan Pemerintah sudah mulai menggelar pembahasan Revisi Kedua UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Ironisnya, RUU tersebut digarap kedua belah pihak itu sebagai bagian upaya menjustifikasi betapa buruknya penyusunan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan RUU yang ditargetkan Baleg dan pemerintah rampung sebelum masa persidangan 14 April mendatang. Kata lain, pembahasan RUU itu dilakukan secara maraton. Respon DPR dan pemerintah dengan merevisi UU 12/2011 menjadi bagian ketidaktaatan pemerintah dan DPR terhadap putusan MK.

Sebab dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat mengharuskan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dalam kurun waktu 2 tahun, bukan malah merevisi UU 12/2011. Menurutnya, UU 12/2011 sudah cacat formil sejak awal. Makanya pengujian formil pun dilakukan sebagian kalangan terhadap UU 11/2020 ke MK.

Hasilnya, MK menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat. Meskipun seharusnya MK menyatakan inkonstitusional seluruhnya, bukan malah bersyarat. Setidaknya ada tiga catatan YLBHI terhadap upaya DPR dan pemerintah merevisi UU 11/2020. Pertama, revisi UU PPP menjadi upaya DPR dan pemerintah mensiasati UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Siasat ini untuk memberikan justifikasi terhadap UU Cipta Kerja,” ujar Muhammad Isnur dalam keterangannya kepada Hukumonline, Minggu (10/4/2022).

Baca:

Bagi YLBHI, kata Isnur, pemerintah dan DPR lagi-lagi bertindak di luar aturan main negara hukum. Pasanya putusan MK bersifat mengikat semua warga negara atau erga omnes, khususnya pemerintah. Semestinya DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU berkewajiban patuh terhadap putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan terhadap UU 11/2020 dalam dua hal.  

Tags:

Berita Terkait