YLBHI/LBH Beberkan Tantangan Advokasi Kasus Kekerasan Seksual
Terbaru

YLBHI/LBH Beberkan Tantangan Advokasi Kasus Kekerasan Seksual

Aparat kurang memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Ada 2 kasus di Polrestabes Makassar yang difasilitasi pencabutan pelaporannya,” ujar Rezky.

Rezky mengingatkan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak boleh menggunakan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak memenuhi syarat untuk dilakukan keadilan restoratif dan bukan delik aduan. Jika kasusnya delik aduan maka proses bisa dihentikan berdasarkan permintaan pelapor.

Soal kasus kekerasan anak di Luwu Timur, Rezky mengatakan prosesnya tidak memperhatikan hak-hak korban. Korban diperiksa tanpa pendamping, dan malah dipertemukan dengan terlapor. Serta membebankan pembuktian kepada korban. Aparat kepolisian baru merespon kasus tersebut ketika beritanya viral di medsos. Ironisnya, aparat kepolisian menghentikan kasus ini sejak akhir Mei 2022.

Menurut Rezky, penghentian kasus Luwu Timur itu sangat terburu-buru karena tahapnya masih penyelidikan. Aparat kepolisian seharusnya bisa melakukan pemeriksaan lebih dalam lagi. Pada tahap penyelidikan tingkat diskresi yang bisa dilakukan polisi sangat besar sehingga subyektivitasnya tinggi.

Pengacara publik LBH Manado, Citra Tangkudung, mengatakan dalam kasus kekerasan seksual tidak semua korban mau melapor ke polisi. Korban cenderung ragu untuk lapor karena aparat biasanya meminta bukti. Faktor lain yaitu korban belum paham bagaimana prosedur penanganan kasus kekerasan seksual. “Banyak korban kekerasan seksual ragu untuk melapor karena minim bukti,” katanya.

Tags:

Berita Terkait