Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan
Kolom

Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan

Pada 12 Februari 2003 Supreme Court Belgia memutuskan bahwa perkara Ariel Sharon dapat diteruskan untuk diadili di pengadilan Belgia segera setelah ia tak lagi menjabat PM Israel. Sharon digugat ke pengadilan Belgia oleh para korban peristiwa Sabra Shatila-Lebanon (1982). Ketika itu, terjadi pembantaian massal (genocide) oleh pasukan Israel terhadap para pengungsi Palestina dan Lebanon yang melibatkan Sharon dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan.

Bacaan 2 Menit

Mahkamah Pidana Internasional 

Mahkamah yang lahir terakhir adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC).  Ia adalah badan peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma 1998.  Tujuan ICC adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) genocide, (2) crime against humanity, (3) kejahatan terhadap hukum humaniter, (4) kejahatan agresi.

Tidak seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) yang menangani sengketa antar-negara, yuridiksi ICC mencakup individu dan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan. ICC menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu, baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak.  Dalam hal ini, ia memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut.

Dasar pendirian ICC adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genocide,  crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi  dan (2) Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity) karena ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) dari negara-negara yang bersangkutan.

Kelemahan Mahkamah Pidana Internasional

Kendati menjadi 'harapan satu-satunya' untuk  menyeret para pelanggar HAM berat setelah mahkamah Yugoslavia dan Rwanda yang bersifat ad hoc dan yurisdiksinya terbatas,  tak urung Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pun memiliki sejumlah kelemahan.  Pertama, Statuta Roma sebagai dasar pembentukan ICC menganut asas nonretroaktif alias tidak berlaku surut. Artinya, kejahatan HAM berat sebelum 1 Juli 2002--saat di mana ICC mulai berlaku secara hukum--besar kemungkinan sulit untuk diadili. 

Kedua, meskipun bukan organ PBB, Dewan Keamanan berperan penting dalam operasional mahkamah ini. Dan kita pun tahu bahwa Dewan Keamanan tak lepas dari kepentingan-kepentingan politis. Ketiga, statuta ICC mendahulukan otoritas hukum nasional (legal remedies) untuk terlebih dahulu mengadili pelaku kejahatan HAM berat berat.  Padahal, tidak semua pengadilan nasional bersifat imparsial dan independen.

Jerry Fowler (2000) menyebutkan bahwa peran Dewan Keamanan PBB sangat besar dalam operasional mahkamah.  Peran mana menimbulkan protes dari  India yang menyebutkan bahwa pemberian peran kepada Dewan Keamanan dalam Statuta Roma adalah melanggar hukum internasional. Karena, di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat mensponsori ataupun merujuk pada sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam piagam PBB (berdasarkan mandat pada bab VII Piagam PBB)  juga untuk menunda penyelidikan dan penuntutan sampai setahun lamanya (Pasal 16 Statuta Roma).

Dewan keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Dewan ini terdiri atas  15 anggota PBB, 5 anggota tetap (RRC, Inggris, AS, Rusia, dan Perancis), dan 10 anggota tidak tetap yang dipilih setiap dua tahun.  Hak veto para anggota tetap ini menurut De Rover (2000) menimbulkan masalah penting dan ketidakjelasan dalam prosedur pemungutan suara. 

Tags: