Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan
Kolom

Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan

Pada 12 Februari 2003 Supreme Court Belgia memutuskan bahwa perkara Ariel Sharon dapat diteruskan untuk diadili di pengadilan Belgia segera setelah ia tak lagi menjabat PM Israel. Sharon digugat ke pengadilan Belgia oleh para korban peristiwa Sabra Shatila-Lebanon (1982). Ketika itu, terjadi pembantaian massal (genocide) oleh pasukan Israel terhadap para pengungsi Palestina dan Lebanon yang melibatkan Sharon dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan.

Bacaan 2 Menit

Kedua, kendala adanya kekebalan hukum (immunity) terhadap para petinggi negara ataupun pimpinan pemerintahan yang sedang menjabat.  Hal mana diakui pula oleh hukum internasional. Itulah mengapa kasus Sharon, kendati dikabulkan penuntutannya, harus menunggu sampai Sharon bebas tugas.  Ketiga, adalah kesulitan menghadirkan para tersangka ke Belgia.  Kendati UU 1993 mengakui peradilan secara in absentia, tetap dalam rangka terungkapnya kebenaran dan keadilan, kehadiran tersangka tetap diperlukan.

Kasus Jendral Pinochet yang ditahan di Inggris sejak 1998 dapat terjadi karena Inggris mengamini permintaan penahanan dari Spanyol.  Spanyol meminta penahanan Pinochet karena warganegaranya turut menjadi korban kejahatan HAM mantan orang kuat Chili ini.  Penahanan ini juga dimungkinkan karena Inggris dan Spanyol telah mengadopsi UN Convetion Against Torture sebagai dasar hukum penahanan Pinochet.  Juga, karena secara politis pemerintahan Inggris di bawah Partai Buruh (PM Tony Blair) lebih akomodatif terhadap isu-isu HAM (Cassel, 2003).

Ketiga kendala di atas adalah tantangan untuk penerapan yurisdiksi internasional bagi pelaku pelanggar HAM berat di pengadilan Belgia.  Pelbagai kendala  tersebut menyebabkan sejauh ini, pengadilan yang telah berjalan di bawah UU  1993 tersebut barulah pengadilan terhadap empat warga Rwanda atas tuduhan melakukan genosida di Rwanda (terhadap etnis Tutsi) pada 1995.  Mereka dihukum 12 hingga 15 tahun penjara. Itupun karena mereka tinggal di Belgia dan Rwanda adalah mantan koloni Belgia.

Instrumen pendukung

Pengakuan terhadap prinsip yurisdiksi universal terserak dalam pelbagai instrumen HAM internasional,  antara lain dalam (1) The Princeton Principles on Universal Jurisdiction,  (2) Brussels Principles Against Impunity and for International Justice, dan dalam report tentang (3) Right to restitution, compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human rights and fundamental freedoms yang dibuat oleh special rapporteur Professor Cherrif Bassiouni untuk UN Commission of Human Rights.

The Princeton Principles dibuat oleh para partisipan dari Princeton Project on Universal Jurisdiction pada 2001.  Tujuannya adalah untuk menggagas aplikasi hukum internasional dalam sistem hukum nasional.  Universal jurisdiction dalam Princeton Principles diartikan sebagai yurisdiksi kriminal yang dasarnya semata-mata pada sifat dari kejahatan tersebut, tanpa memandang di mana, siapa, apa kebangsaan dan negara dari sang pelaku kejahatan tersebut (prinsip 1 angka 1).  Kemudian, kejahatan yang tergolong sebagai the serious crimes under international law, di mana universal jurisdiction berlaku terhadapnya adalah (1) piracy (2) slavery (3) war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide and (7) torture  (prinsip 2 angka 1).

Satu hal yang juga menarik adalah berlakunya asas 'international due process norms' bagi setiap negara yang ingin menerapkan universal jurisdiction.   Artinya, negara harus menerapkan asas independensi dan imparsialitas peradilan sekaligus melindungi hak-hak tersangka dan korban dalam standar yang diakui oleh hukum internasional.

The Princeton Principles juga tidak mengakui adanya kekebalan hukum bagi tersangka yang berstatus sebagai pimpinan negara/pemerintahan. Juga, tidak menganjurkan diberikannya amnesti dan tak ada status kadaluwarsa bagi kejahatan HAM berat dalam hukum internasional.

Brussels Principles against Impunity and for International Justice yang diadopsi oleh the Brussel Groups for International Justice pada 13 Maret 2002 memiliki pengaturan yang kurang lebih sama dengan The Princeton Principles.  Kejahatan berat HAM dalam prinsip ini diartikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional. Termasuk, war crimes, crimes against humanity, genocide, torture, extrajudicial executions dan forced dissappearences.   Brussels Principles menentang impunity dan menyebutkan bahwa pemberian immunity dan amnesty sekali-sekali tak boleh mengganggu jalannya penuntutan terhadap pelaku kejahatan berat HAM. 

Sementara itu, laporan Prof. Bassiouni tentang The Right of Constitution,  restitution, compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human rights and fundamental freedoms (2000) memiliki ketentuan bahwa negara harus memuat prinsip universal jurisdiction dalam legislasi nasionalnya untuk  kejahatan yang  melanggar norma-norma hukum internasional. Juga, untuk bersikap kooperatif dan memfasilitasi ekstradisi ataupun penyerahan para pelanggar HAM berat ke negara lain ataupun badan internasional. Termasuk, dalam hal ini memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan saksi.

Permasalahan dari ketiga instrumen di atas adalah sifatnya yang bukan merupakan dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding).  Ia dapat dirujuk oleh suatu negara, tapi tak mempunyai sifat mengikat.  Apalagi, jangankan untuk dokumen yang tidak mengikat. Untuk instrumen HAM internasional yang legally binding sekalipun, banyak negara--termasuk Indonesia--yang enggan menandatangani ataupun meratifikasinya.

Prinsip universal jurisdiction ini barangkali bukanlah prinsip yang baru dalam sistem hukum pidana internasional. Namun, terobosan hukum yang dilakukan Belgia pada tahun 1993 cukup menarik dan menghenyakkan banyak pihak.  Kendati, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pemberlakuannya. Termasuk, kendala legalitasnya dalam hukum nasional maupun internasional.

Namun, ia telah menghadirkan perspektif baru. Suatu perspektif bahwasanya untuk pelanggaran berat HAM seperti genocide, crime against humanity dan war crime, haruslah diposisikan sebagai kejahatan serius yang bersifat internasional. Yang memberikan hak sekaligus tanggungjawab yang sama besar pada setiap negara untuk mengadilinya ke muka pengadilan yang independen dan imparsial, baik secara nasional maupun internasional.

 

Heru Susetyo adalah mahasiswa Program LL.M International Human Rights Law Northwestern Law School, Chicago dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Tags: