Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi, KPKPN Harus Bubar
Utama

Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi, KPKPN Harus Bubar

Mahkamah Konstitusi kembali membuat keputusan controversial. Permohonan judicial review yang diajukan KPKPN tidak dapat diterima. Walhasil, KPKPN harus bubar dan menyerahkan puluhan ribu data kekayaan pejabat Negara ke KPK.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi, KPKPN Harus Bubar
Hukumonline

Bahwa dengan diterbitkannya UU No. 30/2002 yang antara lain mengatur tentang berakhirnya keberadaan KPKPN selaku lembaga negara yang mandiri dan pengalihan fungsi-fungsinya ke dalam KPK, pembuat undang-undang telah menjalankan wewenangnya sesuai UUD dan perundang-undangan lain yang diturunkan dari UUD, demikian antara lain bunyi pertimbangan MK.

Namun, keputusan MK itu tidak dihasilkan dengan suara bulat. Dua dari sembilan hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Maruarar Siahaan dan Soedarsono. Maruarar berpendapat bahwa sebelum membubarkan KPKPN mestinya terlebih dahulu dilakukan evaluasi kinerja. Faktanya, KPKPN sudah melakukan tugas memeriksa kekayaan puluhan ribu penyelenggara Negara dan sudah dipercaya masyarakat.

Sementara, Soedarsono berpendapat bahwa pasal-pasal yang dimintakan judicial review oleh KPKPN memang bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pembubaran KPKPN karena ada KPK melanggar prinsip demokrasi dan merupakan suatu kemunduran langkah pemberantasan korupsi. Seharusnya, kata Soedarsono, kedua lembaga itu tetap eksis.

Pendapat senada disampaikan oleh Ketua KPKPN Yusuf Sjakir. Menurutnya, KPKPN adalah lembaga yang lahir terlebih dahulu. Tiga bulan kemudian baru lahir Undang-Undang yang menyatakan perlu dibentuk KPK. Mestinya kedua lembaga saling melengkapi. Itu sebabnya, Yusuf Sjakir menyatakan kekecewaan yang mendalami atas keputusan MK. Saya kecewa sekali atas putusan ini, ujarnya kepada wartawan usai sidang.

Legal standing

Sebenarnya, ada dua pemohon judicial review terhadap Pasal 13 huruf a, Pasal 26 ayat (3) huruf a, Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 71 ayat (2) UU No. 30/2002, yaitu KPKPN sebagai lembaga dan 32 orang warga masyarakat yang sekaligus anggota KPKPN.

Mahkamah Konstitusi berpendapat, sebagai lembaga publik KPKPN tidak mempunyai legal standing. Satu-satunya pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) adalah ke-32 pemohon lain. Namun demikian, MK berpendapat bahwa pembentukan dan materi UU No. 30/2002 yang dimintakan judicial review tidak bertentangan dengan UUD'45.

Mau tidak mau, putusan MK ini membawa konsekwensi yuridis kepada KPKPN. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 127/1999 itu harus bubar. Dalam bahasa Yusuf Sjakir, lembaga yang dipimpinannya akan melebur ke dalam KPK. Termasuk seratusan pegawai yang bekerja pada KPKPN.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu diucapkan dalam persidangan yang berlangsung sekitar dua jam mulai pukul 13.30 WIB, pada Selasa (30/03). Dalam putusannya, MK menyatakan permohonan judicial review yang diajukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) terhadap sejumlah pasal Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tidak dapat diterima. UU No. 30/2002 adalah yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam putusan setebal 128 halaman, MK menyatakan bahwa lembaga KPKPN tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam TAP MPR No. XI/1998, yang menjadi payung hukum Undang-Undang No. 28/1999 dan Keppres No. 127/1999. Kedua peraturan yang disebut terakhir mengatur tugas, fungsi dan wewenang KPKPN. Lantaran tidak ada sebutan eksplisit, maka Pemerintah bisa saja membentuk lembaga dengan nama lain yang fungsinya sama-sama memberantas korupsi.

Beda halnya dengan keberadaan KPK yang eksplisit disebutkan dalam TAP MPR No.VIII/2001. MK menilai bahwa UU No. 30/2002 tentang KPK dibuat untuk menciptakan sinkronisasi dan konsistensi berbagai peraturan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tags: