Organisasi Advokat di Persimpangan Jalan
Fokus

Organisasi Advokat di Persimpangan Jalan

Setahun Undang-undang Advokat berlaku, belum ada tanda-tanda organisasi advokat yang diamanatkan undang-undang terbentuk. Ada berbagai ide dan usulan sehubungan pembentukkan organisasi tersebut, namun semuanya masih cair.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Organisasi Advokat di Persimpangan Jalan
Hukumonline

 

Pihak Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI)--sebagai sebuah lembaga yang sifatnya sementara yang terdiri dari delapan organisasi advokat--boleh saja mengatakan bahwa mereka terus mengupayakan pembentukkan  Organisasi Advokat tersebut. Namun pada kenyataannya, energi dan prioritas KKAI selama setahun terakhir terlihat lebih difokuskan pada kegiatan pendataan ulang advokat se-Indonesia yang diikuti dengan penerbitan kartu advokat KKAI.

 

Ketika proses verifikasi rampung dan kartu advokat diterbitkan, para pengurus KKAI lagi-lagi terkesan melupakan pembentukkan Organisasi Advokat yang harus sudah ada paling lambat April 2005 tersebut. Bahkan, kini muncul ide untuk membentuk Dewan Kehormatan Bersama dan Komisi Pengawas Advokat sebelum terwujudnya Organisasi Advokat.

 

Padahal, seperti yang sering dikemukakan banyak pihak dalam berbagai kesempatan, KKAI sebaiknya memprioritaskan pembentukkan organisasi ketimbang melakukan verifikasi dan menerbitkan kartu. Sebelum terbentuknya organisasi, segala sesuatu yang diputuskan KKAI yang menyangkut hajat hidup advokat--termasuk penerbitan kartu--bisa jadi kehilangan legitimasi. Pasalnya, keberadaan KKAI sifatnya hanya sementara dan bukan merupakan badan hukum.

 

Baiklah, sekarang mari asumsikan bahwa para pengurus KKAI jauh lebih mengetahui hal mana yang mesti diprioritaskan terlebih dahulu. Akan tetapi, mengapa di dalam tubuh KKAI sendiri maupun para pengacara yang berada di luar KKAI merasa ada yang salah dengan prioritas KKAI tersebut. Bahkan, kebijakan KKAI itu akhirnya dipermasalahkan oleh sekelompok pengacara publik lewat jalur judicial review UU No.18/2003 di Mahkamah Konstitusi.

 

Majelis Nasional Advokat

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Hadi Herdiansyah berpendapat bahwa berlarut-larutnya pembentukkan  organisasi advokat di KKAI disebabkan ketiadaan leadership serta pengambilan keputusan tidak jelas di tubuh KKAI. (Lebih jauh lihat, Mekanisme Pengambilan Keputusan di KKAI Dinilai Tidak Transparan).

 

Hadi juga mengusulkan agar pembentukkan Organisasi Advokat sebaiknya tidak dimonopoli oleh para pengurus KKAI. "Pembentukkan  Organisasi Advokat harus partisipatif dengan melibatkan seluruh advokat yang ada, " katanya. Sementara, jika harus digelar Musyawarah Nasional (Munas) KKAI untuk menentukan hal tersebut, ia menilai cara demikian sangat tidak efisien.

 

Dalam pandangan Hadi, mekanisme Munas sangat tidak praktis karena harus mengumpulkan belasan ribu orang dalam satu tempat dan dipastikan akan memakan biaya dan waktu yang lama. Sebagai alternatif, PSHK menawarkan konsep lain yang menjamin proses yang partisipatif dan demokratis melalui pembentukkan  lembaga perwakilan advokat.

 

Konsep lembaga perwakilan advokat yang disusun PSHK, kata Hadi, telah diserahkan kepada pengurus KKAI. Konsep tersebut adalah hasil adaptasi dari lembaga advokat yang ada di beberapa negara. Menurut Hadi, organisasi advokat di negara-negara lain seperti Amerika, Belanda, dan Jerman mempunyai lembaga perwakilan advokat. Di Amerika dan Jepang, lembaga tersebut bernama House of Delegates. Sementara di Belanda bernama Assembly of Delegates. PSHK sendiri mengusulkan nama Majelis Nasional Advokat (MNA).

 

MNA beranggotakan 30 orang advokat dan harus dipilih secara langsung melalui Munas atau lewat pemilihan umum. Tiap ketua umum kedelapan organisasi advokat otomatis menjadi anggota MNA. Praktis, dengan demikian sisa kursi anggota MNA yang diperebutkan lewat pemilu adalah 22 kursi.

 

Mengapa tiap ketua organisasi otomatis mendapat jatah masing-masing 1 kursi di MNA? Hadi menjelaskan bahwa hal itu dilakukan tidak lain agar mereka tidak merasa kehilangan posisinya sebagai pimpinan di masing-masing organisasi.

 

Pembagian 22 kursi yang tersisa ditentukan dengan menggunakan sistem proporsional. Artinya, organisasi advokat yang memiliki anggota paling banyak akan memperoleh jatah kursi MNA yang paling banyak pula.

 

Pembagian kursi

Menurut data yang dimiliki PSHK, Ikadin tercatat sebagai organisasi dengan jumlah anggota paling banyak diantara tujuh organisasi yang lain dengan jumlah anggota 6620 orang. Sebaliknya, APSI yang jumlahnya anggotanya paling sedikit yaitu 68 orang.

 

Tabel 1: Delapan organisasi advokat beserta jumlah anggotanya*

Organisasi

Ketua Umum

Jumlah anggota

Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin)

Otto Hasibuan

6620

Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)

Denny Kailimang

3705

Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)

Indra Sahnun Lubis

2833

Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)

Fred B.G. Tumbuan**

128

Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)

Soemarjono S.

150

Serikat Pengacara Indonesia (SPI)

Trimedia Panjaitan

813

Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI)

H.A.Z. Arifien Syafe'i

455

Asosiasi Pengacara Indonesia (APSI)

Taufiq

68

Total

14.372

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

* Data per tanggal 27 Januari 2003

** Caretaker Ketua

 

Dengan data seperti tersaji di atas, mari kita coba tentukan berapa jumlah kursi bagi wakil masing-masing organisasi di MNA. Dengan jumlah total advokat sebanyak 14.372 (hasil verfikasi, red) dan jumlah kursi yang tersedia sebanyak 22, maka hitung-hitungannya 1 kursi MNA mewakili 653 advokat (14.372:22=653).

 

Kemudian, untuk mengetahui berapa banyak jatah kursi bagi masing-masing organisasi berarti dengan membagi jumlah total anggota masing-masing organisasi dengan 653. Jika melihat dari data dalam Tabel 1, maka hanya empat organisasi yang memenuhi syarat yaitu Ikadin, AAI, IPHI, dan SPI.

 

Karena jumlah anggotanya paling besar, maka Ikadin memperoleh jatah kursi paling banyak di MNA yaitu 10 kursi (6620:653=10,1). Kemudian, disusul AAI yang memperoleh 5 kursi (3705:653=5,7), IPHI mendapat 4 kursi (2833:653=4,3) serta SPI 1 kursi (813:653=1,2). Total kursi yang dimiliki oleh empat organisasi di atas adalah 20 kursi. Berarti yang tersisa hanya 2 kursi.

 

Lalu bagaimana dengan empat organisasi yang lainnnya, yaitu AKHI, HKHPM, HAPI, dan APSI? Bagaimana cara membagi 2 jatah kursi yang tersisa kepada empat organisasi tersebut? Menurut Hadi, penentuan siapa yang akan menduduki 2 kursi sisa dilakukan dengan sistem penggabungan sisa suara (stembus accord).

 

Dengan menggunakan sistem stembus accord, maka yang pertama kali harus diketahui adalah berapa banyak total sisa suara yang ada. Khusus untuk mengetahui sisa suara yang dimiliki Ikadin, AAI, APHI, dan SPI digunakan rumus berikut:

 

Jumlah total anggota Organisasi A – (653 x Jumlah kursi Organisasi A)

 

Dengan rumus tersebut di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut:

 

Organisasi

Sisa suara

Ikadin

90

AAI

440

IPHI

221

AKHI

128

HKHPM

150

SPI

160

HAPI

455

APSI

68

Total

1712

 

Melalui data di atas kita melihat bahwa jika ada penggabungan sisa suara kedelapan organisasi, maka sebetulnya sisa dua kursi tersebut bisa terisi. Artinya, pada titik ini perlu ada kesepakatan diantara tiap-tiap (pimpinan) organisasi mengenai dengan siapa mereka akan menggabungkan sisa suara tersebut.

 

Melihat pada penyebaran sisa kursi di atas, berarti ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang akan diambil masing-masing pimpinan organisasi dalam memilih teman koalisi. Terkait dengan itu, mengingat salah satu tugas MNA adalah menentukan bentuk wadah organisasi advokat, maka salah satu pertimbangan yang mungkin diperhitungkan adalah sikap tiap organisasi mengenai wadah tersebut.

 

Federasi atau wadah tunggal?

 

Seperti diketahui, sebagian besar organisasi advokat sudah menentukan sikap mereka terkait dengan pembentukkan  wadah organisasi sebagaimana diamanatkan UU Advokat. Penentuan sikap tersebut diambil  lewat forum resmi organisasi seperti Munas maupun Rakernas. Atau, dapat juga ditentukan di luar forum-forum tersebut, misalnya dalam rapat KKAI.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, sebagian besar organisasi memilih bentuk federasi sebagai wadah organisasi yang diamanatkan UU Advokat. Sementara, sebagian kecil memilih wadah tunggal (single bar) dan sisanya belum mengambil sikap, atau paling tidak tidak jelas sikapnya. Salah satu yang tidak jelas sikapnya adalah AKHI, Caretaker AKHI, Fred Tumbuan, ketika ditanyakan mengenai preferensinya soal wadah advokat mengatakan tidak mau berkomentar.

 

Untuk mengetahui secara lengkap sikap masing-masing organisasi mengenai bentuk wadah advokat, dapat dilihat lewat tabel berikut:

 

Tabel 2: Sikap terhadap bentuk Organisasi Advokat

Organisasi

Rekomendasi

Keterangan

Ikadin

Single bar

Munas Ikadin di Semarang, April 2003

AAI

Federasi

Munas Luar Biasa AAI di Jakarta, Juli 2003

IPHI

Federasi

Munas IPHI di Medan, Agustus 2003

AKHI

?

-

HKHPM

?

-

SPI

Single bar

Pernyataan Wakil Ketua DPP SPI Benny K. Harman, 8 Maret 2003

HAPI

Federasi

Rakernas HAPI di Jakarta, Juli 2003

APSI

Single bar

Penegasan dalam rapat KKAI, akhir 2003.

Sumber: Pusat Data Hukumonline

 

Melirik peta di atas, maka bisa diasumsikan bahwa AAI akan berkoalisi dengan IPHI, dan HAPI yang sama-sama memilih bentuk federasi. Kemudian, Ikadin akan menggandeng SPI dan APSI dalam satu koalisi. Bila asumsi ini benar dan stembus accord diterapkan, terlihat bahwa koalisi yang paling besar adalah koalisi yang disebutkan pertama. Baik AAI, IPHI, maupun HAPI memiliki sisa suara yang nyaris sama banyak dan jika ditotal berjumlah 1116 suara.

 

Sedangkan, koalisi antara Ikadin, SPI, dan APSI tidak menghasilkan suara yang cukup signifikan.Kalaupun mereka menggandeng AKHI dan HKHPM untuk berkoalisi, itupun belum dapat menandingi koalisinya AAI cs. Dengan ditambah suara dari AKHI dan HKHPM, diperkirakan koalisi Ikadin cs cuma berjumlah 596 suara.

 

Tahapan yang juga akan cukup seru adalah menentukan siapa wakil dari masing-masing koalisi yang akan mengisi sisa 2 kursi yang ada. Di sinilah, kata Hadi, akan terjadi bargaining antara masing-masing pimpinan organisasi di dalam koalisi. Masalahnya, penentuan hal tersebut akan berpengaruh pada ratusan konstituen masing-masing.

 

Kemudian sebagai tahapan selanjutnya, memilih anggota-anggota MNA. Menurut Hadi, sebetulnya ada dua alternatif yang bisa ditempuh untuk memilih anggota-anggota MNA yaitu lewat Munas atau melalui pemilihan umum.

 

Oleh sebab itu, jelas Hadi, mekanisme pemilu jauh lebih praktis. Pemilu, lanjutnya, dilakukan dengan sistem postal ballot atau pengiriman surat suara lewat pos oleh para advokat. Cara demikian dinilai Hadi jauh lebih efektif dan tidak memerlukan biaya yang besar.

 

Lalu, siapa saja yang boleh mencalonkan diri menjadi anggota MNA? Paling tidak ada empat persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, mempunyai pengalaman minimal 5 tahun sebagai advokat. Kedua, tidak pernah dijatuhi sanksi pidana maupun sanksi disiplin dari organisasi profesi. Ketiga, bukan anggota partai politik. Keempat, tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

 

Semua mekanisme ataupun aturan main dari awal hingga akhir diserahkan kepada KKAI untuk mengaturnya. Meski demikian, KKAI diharapkan dapat membuat aturan main yang mampu menjamin terpilihnya anggota-anggota MNA yang kredibel dengan cara yang demokratis.

 

Ketika MNA telah terbentuk, ada tiga tugas utama yang harus diselesaikan yaitu memutuskan konsep inkorporasi organisasi advokat, kemudian membuat peraturan-peraturan pendukung bagi organisasi yang akan dibentuk, serta memilih presiden (ketua) organisasi.

 

Seperti juga DPR, MNA dapat membentuk komisi-komisi untuk menjalankan tugas-tugasnya. Karena itu, tiga tim yang telah dibentuk oleh KKAI sebelumnya yaitu tim verifikasi, tim sertifikasi, dan tim inkorporasi dapat diteruskan hasil kerjanya oleh MNA.

 

Satu hal lagi, menurut konsep ini para anggota MNA tidak digaji. Hadi mengatakan bahwa dalam struktur organisasi MNA yang harus mendapatkan gaji adalah staf-staf sekretariat jenderal yang mendukung kerja MNA.

 

Koordinator KKAI yang juga Ketua Umum DPP Ikadin Otto Hasibuan menyambut baik adanya konsep yang ditawarkan PSHK kepada KKAI. Namun, ia menilai konsep tersebut terlalu ribet. "Saya masih melihat potensi terjadinya perpecahan diantara cabang-cabang yang ada nanti," cetusnya tanpa menjelaskan potensi perpecahan yang dimaksud.

 

Lebih jauh, Otto mengatakan bahwa saat ini ia juga sedang mencoba mensosialisasikan konsep inkorporasi versinya pribadi. Konsep yang ditawarkan Otto masih mengedepankan bentuk single bar, namun dengan sejumlah modifikasi yaitu dengan tetap mempertahankan keberadaan delapan organisasi yang ada.

 

"Dengan berdirinya organisasi yang satu ini tidak berarti delapan organisasi yang ada itu harus bubar. Jadi, saya lihat sekarang ini ada pemikiran seakan-akan kalau ada organisasi itu mengakibatkan organisasi yang lain menjadi hapus atau menjadi bubar. Bagi saya, apakah itu nantinya federasi atau apa biarkan organisasi yang lain tetap ada," papar Otto.

 

"Menurut saya, karena tujuan kita adalah untuk menjalankan amanat Undang-undang di mana para advokat seluruhnya itu bisa bersatu maka tidak ada salahnya mungkin di pimpinan organisasi-organisasi ini membuat kesepakatan bersama bagaimana membuat suatu organisasi yang dimaksudkan oleh UU Advokat," demikian Otto.

 

Ungkapan Otto di atas agaknya tidak terlalu berlebihan. Sejauh pengamatan hukumonline, baru dari kubu SPI saja, meski secara lisan, ada pernyataan bersedia untuk dilebur dengan organisasi lain untuk mewujudkan wadah tunggal Organisasi Advokat. (Lebih jauh baca: SPI Siap Merger untuk Wujudkan Wadah Tunggal).

 

Harus diakui, menyatukan kedelapan organisasi advokat yang ada memang bukan perkara gampang. Di samping faktor visi dan misi yang berbeda ataupun faktor egoisme para pimpinan masing-masing, tiap organisasi juga mempunyai sejarah sendiri yang hingga kini menjadi salah satu kendala utama menyatukan seluruh organisasi menjadi sebuah wadah yang tunggal.

 

Tabel 3: Delapan organisasi advokat pertama kali didirikan

Organisasi

Didirikan

Ikadin

1985 di Jakarta

AAI

27 Juli 1990 di Jakarta

IPHI

9 Mei 1987 di Surabaya

AKHI

1988 di Jakarta

HKHPM

4 April 1989 di Jakarta

SPI

10 Desember 1997 di Jakarta

HAPI

Juli 1993 di Jakarta

APSI

18 Februari 2003 di Semarang

Dari berbagai sumber

 

Namun, berbagai kendala di atas hendaknya tidak bisa terus-menerus menjadi ganjalan terbentuknya Organisasi Advokat. Lebih dari itu, penentuan bentuk Organisasi Advokat kali ini karena berbagai faktor seperti disebutkan di atas, hendaknya dapat menjamin prinsip demokrasi dan juga partisipasi dari seluruh advoakt.

 

Dengan tetap mengahrgai usaha-usaha yang dilakukan para pengurus KKAI selama ini, KKAI sebaiknya mulai berpikir untuk membagi "pekerjaan" mereka agar semua prioritas dapat di-manage dengan baik dan lebih profesional. Para anggota juga sudah saatnya diberikan porsi yang lebih besar untuk menentukan bentuk Organisasi Advokat yang mereka inginkan.

 

Sekali lagi, kata kuncinya adalah proses yang se-demokratis dan se-partisipatif mungkin dan sejauh mungkin menghindari pengambilan keputusan secara tertutup di tangan masing-masing pimpinan pusat organisasi. Para anggota hendaknya tidak hanya diserahkan opsi menerima atau menolak kebijakan dari pusat, tanpa punya partisipasi untuk menentukan pilihan sendiri yang sangat mungkin berbeda dan jauh lebih baik.

Hari ini tepat satu tahun Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat berlaku. Tanpa terasa, waktu yang diberikan Undang-undang untuk membentuk Organisasi Advokat pun kini tinggal satu tahun lagi. Namun, sayangnya, hingga kini belum juga terlihat tanda-tanda pembentukkan  Organisasi Advokat seperti diamanatkan Undang-undang tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: