Membidani Proses Kelahiran Undang-Undang Advokat
Resensi

Membidani Proses Kelahiran Undang-Undang Advokat

Adagium hukum menyatakan bahwa begitu suatu undang-undang disahkan dan dinyatakan berlaku, maka otomatis masyarakat mengetahuinya. Paham atau tidak itu urusan lain. Bagi aparat penegak hukum, tidak ada alasan bahwa seseorang belum tahu undang-undangnya.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Membidani Proses Kelahiran Undang-Undang Advokat
Hukumonline

 

Kehadiran buku Proses Pembahasan Undang-Undang Advokat di Parlemen yang disusun Agustin Teras Narang ini adalah sedikit jawaban atas kebutuhan masyarakat tadi. Selaku Ketua Komisi II DPR dan seorang advokat, sangat wajar Teras Narang mempunyai akses dan mengetahui banyak seluk beluk pembuatan Undang-Undang (UU) Advokat, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 18 Tahun 2003.  

 

Ketiadaan satu undang-undang mengenai advokat memang telah lama memunculkan kesedihan pakar, pengacara dan pengamat hukum. Bayangkan, hamba wet lainnya seperti jaksa, polisi dan hakim sudah memiliki undang-undang tersendiri (hal. vi), advokat masih mengandalkan ketentuan-ketentuan terpisah seperti Bab VI Reglement op de Rechterlijke Organisatie en hetReglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie Beleid der Justitie Beleid der Justitie Beleid der Justitie Beleid der Justitie in Indonesie (Staatblad 1847 No. 23 jo 1848 No. 57). 

 

Kehadiran UU Advokat memperjelas tata aturan bagi pemberi jasa hukum yang menjalankan profesi memberikan bantuan hukum kepada klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan.  

 

Keterangan Pemerintah, saat mengantarkan draf RUU ke Senayan, menegaskan ada tiga alasan pentingnya UU Advokat tersendiri. Pertama, peraturan mengenai advokat masih terpisah-pisah dan banyak yang sudah out of date alias tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, perundangan-undangan yang ada belum mengatur secara rinci hak, kewajiban, wewenang dan tugas pemberi bantuan hukum. Ketiga, cita-cita untuk mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum membutuhkan ketertiban dan ketenteraman, termasuk dari pemberi jasa hukum. Atas alasan itulah pemerintah, yang ketika itu diwakili Menteri Kehakiman Moch Mahfud MD, mengajukan usul RUU tentang Profesi Advokat (hal. 38-39).  

 

Buku ini sebenarnya bisa disebut kumpulan dokumen-dokumen persidangan di DPR. Selain materi UU No. 18/2003 dan Kode Etik Advokat Indonesia, buku kompilasi ini berisikan dokumen dua kali pidato pemerintah, pemandangan umum dan pemandangan akhir masing-masing fraksi, laporan tim sinkronisasi, dan laporan Panitia Kerja (Panja).  

 

Tetapi justru disitulah urgensinya. Berdasarkan buku bersampul gambar gedung Mahkamah Agung inilah kita mengetahui pasal-pasal mana atau masalah-masalah apa saja dari UU Advokat yang banyak dikritisi oleh kalangan anggota Dewan. Dari situ misalnya kita mengetahui partai mana saja yang mendukung masuknya sarjana syariah ke dalam persyaratan untuk jadi advokat.  

 

Terungkap pula bahwa tidak banyak fraksi yang menyinggung pentingnya pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) masuk ke dalam pengertian advokat. Nyaris, hanya Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI) yang menyinggung secara eksplisit masalah ini (hal.85). 

 

Meskipun buku setebal 210 halaman ini kaya informasi mengenai proses pembahasan UU Advokat di DPR, toh tetap terasa kurang in-depth. Penulis mengakui pembahasan RUU telah memakan waktu dan perdebatan yang lama (hal.vii), tetapi tidak disebutkan bahwa pembahasan itu lama lantaran terjadinya pergantian pemerintahan. Tidak ada data yang mengungkap berapa sumber dana yang dikeluarkan untuk menelurkan UU Advokat. 

 

Sebagai sebuah ‘kompilasi', buku ini hanya menyajikan bahan-bahan tertulis. Padahal, dalam proses pembahasan itu pasti ada peristiwa penting yang tidak tercatat. Sebut misalnya proses kompromi politik anggota Dewan atas pasal-pasal tertentu. Perdebatan dan diskusi yang melahirkan kompromi itu sama sekali tidak diungkapkan. 

 

Contoh lain, buku ini menyinggung adanya bahan masukan dari Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (hal.112), namun dokumen bahan masukan itu tidak tercantum sama sekali. Padahal, latar belakang masuknya sarjana syariah ke dalam pengertian advokat patut diketahui masyarakat banyak. Paling tidak bisa dipahami dari bahan masukan APSI. Sayang, dokumennya tidak dimasukkan ke dalam buku. Apakah penyusun menganggap ‘perjuangan' APSI bukan bagian dari sejarah pembuatan UU Advokat? 

 

Toh, kehadiran buku ini tetap penting di tengah minimnya tulisan tentang proses pembuatan suatu undang-undang. Siapa tahu akan mendorong anggota Dewan lain menyusun buku sejenis. 

 

 

Judul: Proses Pembahasan Undang-Undang Advokat di Parlemen

Penyusun: Agustin Teras Narang

Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta

Tahun: 2003

Halaman: 210 halaman

 

 

Faktanya, memang tidak semua anggota masyarakat mengetahui undang-undang apa saja yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Alih-alih memahami materinya, proses pembuatannya pun banyak yang tidak tahu. Entah karena pembahasannya diam-diam di suatu hotel, atau karena pembahasan di tingkat Panja yang tertutup, bahkan mungkin karena alasan klasik: kurangnya sosialisasi. 

 

Harus diakui pula bahwa belum banyak penulis buku yang secara khusus menguraikan sejarah atau proses pembuatan suatu undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik secara mendalam maupun sekedar mengungkap tahapan-tahapannya. Padahal, demi pemahaman masyarakat, khususnya mereka yang berkecimpung di bidang hukum, perkembangan pembahasan suatu undang-undang menjadi penting. Itu akan menjadi bahan berharga dalam memahami filosofis dan hakekat suatu pasal.  

Tags: