Pengadilan Pajak dan Urgensi Amandemen UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Fatahillah Hoed(*)

Pengadilan Pajak dan Urgensi Amandemen UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Urgensi amandemen terhadap Undang-undang No.18/2003 tentang Advokat (UU Advokat), karena secara yuridis-faktual, dalam realitas dunia hukum Indonesia, terdapat hal-hal yang membuat keberadaan undang-undang tersebut memberikan dampak negatif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia. Terkecuali bagi para pengacara senior dengan pengetahuan hukum masa lalu dan sebatas hukum acara di pengadilan.

Bacaan 2 Menit
Pengadilan Pajak dan Urgensi Amandemen UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Hukumonline

 

Seseorang dapat menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak bila yang bersangkutan memiliki kemampuan di bidang perpajakan yang diindikasikan dengan brevet dan akan berada di bawah pengawasan pengadilan pajak. Hal ini diatur dalam UU Pengadilan Pejak. Meskipun dapat saja dipergunakan adagium lex posteriori derogat lex aposteriori, tetapi akan menjadi riskan, karena UU Advokat mengatur praktek pemberi jasa hukum secara umum sedangkan pasal pada UU Pengadilan Pajak, mengatur praktek pemberi jasa hukum dalam ruang lingkup lebih sempit yaitu di Pengadilan Pajak.

         

Jika melihat beberapa peraturan perundang-undangan lain seperti pada undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Konstitusi, maka terlihat hanya UU Pengadilan Pajak yang mencantumkan mekanisme pengawasan terhadap kuasa hukum (pengacara) yang berpraktek di pengadilan tersebut. UU No.30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi pun tidak memberikan kewenangan kepada Pengadilan Korupsi  untuk melakukan pengawasan terhadap kuasa hukum sebagaimana hal tersebut diamanatkan oleh UU Pengadilan Pajak.

 

Mahkamah Konstitusi juga tidak mensyaratkan kriteria kuasa hukum yang dapat beracara di depan Majelis harus memiliki pengetahuan luas dan ahli tentang masalah tata negara. Padahal sesungguhnya, masalah korupsi dan ketatanegaraan pun tidak kalah peliknya dengan perpajakan. Mengapa hanya perpajakan yang mencantumkan kriteria dan pengawasan terhadap kuasa hukum?

 

Pengawasan kuasa hukum oleh Pengadilan Pajak harus diakui menimbulkan pertanyaan tersendiri. Ini dikarenakan badan peradilan pajak secara realitas yuridis memiliki kewenangan khusus dibandingkan badan peradilan lain yang tercantum dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945, seperti peradilan umum dan Mahkamah Konstitusi. Harus dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya fungsi kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh organisasi advokat. Akankah pengadilan-pengadilan lain di masa mendatang akan juga mengadakan pengawasan terhadap advokat? 

 

Jika demikian adanya, maka nasib dunia hukum akan mengikuti jejak langkah dunia pendidikan yang kebijakannya selalu mengikuti arah angin berhembus. Para advokat pun akan bernasib bak buih di tengah lautan, selalu terombang-ambing tak tentu arah.

 

Jadi sebenarnya apa yang terjadi pada masa lalu, ketika beberapa pengacara yang merasa tidak nyaman, kemudian hengkang dari organisasi profesinya dan membentuk yang organisasi yang baru, menemukan cara lain untuk mengulanginya. Para pengacara tersebut dapat melakukan teknik hit and run. Mereka dapat membentuk lebih dari satu organisasi profesi pengacara perpajakan tetapi juga memberikan jasa hukum non-perpajakan. Surat izin advokat pun dapat diperoleh karena tidak ada larangan untuk merangkap keanggotan organisasi profesi advokat dan organisasi profesi kuasa hukum pajak.

 

Permasalahan terjadi ketika seorang pengacara yang hanya berada di bawah pengawasan Pengadilan Pajak digugat di Pengadilan Negeri oleh kliennya karena perbuatan melawan hukum.  Meski advokat dilindungi oleh UU 18 Tahun 2003 dalam menjalankan profesinya tapi bagaimana dengan pengacara pajak? Oleh karena pemberian jasa hukum oleh orang yang tidak memiliki izin advokat dapat dikenai pidana, tapi apakah sanksi tersebut juga mencakup pengacara Pengadilan Pajak?

 

Selanjutnya, bagaimanakah Pengadilan Negeri memeriksa gugatan tersebut, apakah gugatan tersebut harus diserahkan ke Pengadilan Pajak walaupun tugas dan kewenangannya sebatas memeriksa dan memutus sengketa pajak sesuai pasal 31 ayat 1 UU No.14 Tahun 2002 Atau, gugatan tersebut kemungkinan oleh Pengadilan Pajak dianggap masuk wilayah perpajakan karena menyangkut bagaimana si pengacara tersebut menjalankan profesinya di sektor perpajakan?

 

Secara eksplisit, terlihat bahwa yurisdiksi UU Advokat tidak mencakup Pengadilan Pajak. Ketiadaan izin seorang konsultan hukum sesuai UU Advokat tidak akan melanggar UU tentang Pengadilan Pajak untuk menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Tetapi, apabila seseorang yang mengantongi izin advokat namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 31 ayat 2, bisa mengakibatkan Pengadilan Pajak menolak orang tersebut beracara disana.

 

Kualifikasi, pengetahuan, dan keahlian tentang perundang-undangan perpajakan paling tidak diindikasikan oleh brevet yang harus diperoleh dengan mengikuti kursus di lembaga terkait. Apa yang terjadi kalau suatu kantor hukum karena biasa mengurus segala permasalahan kliennya tiba-tiba dalam waktu singkat diminta mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak, sementara tidak ada seorang pun di kantor tersebut memiliki brevet?

         

Terdapat dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan di atas. Pasal 34 ayat 2 huruf b dapat menjadi pasal karet ketika dikaitkan dengan fungsi pengawasan Pengadilan Pajak atas kuasa hukum. Hal ini karena kriteria pengawasan, sesuai pasal 32 ayat 2 UU No.14 Tahun 2002, diatur oleh Ketua Pengadilan Pajak. Rambu-rambu bagi Ketua Pengadilan dalam memformulasikan sebatas mana pengawasan dapat dilakukan dan apa saja yang sewajarnya dipenuhi oleh kuasa hukum, tidak ditentukan secara jelas.

 

Dapat saja  kuasa hukum tersebut ditolak untuk beracara di Pengadilan Pajak karena ketiadaan brevet. Tetapi tidak tertutup kemungkinan, diadakan tes kualifikasi berdasarkan Keputusan Ketua Pengadilan terhadap kuasa hukum terkait agar tetap dapat mendampingi kliennya. Tentunya tes tersebut dapat menjadi sangat menyulitkan bagi si kuasa hukum mengingat waktunya juga tersita untuk mempelajari kasus dan pengajuan gugatan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Pajak benar-benar sangat istimewa?

         

Pengadilan Pajak, sesuai pasal 5 ayat 1 dan 2 UU Pengadilan Pajak, berada di bawah binaan Mahkamah Agung dan Departemen Keuangan. Berbeda halnya dengan Mahkamah Konstitusi yang tidak berada di bawah pembinaan instansi apa pun. Status Mahkamah Konstitusi pun sebagai lembaga negara dan para hakimnya merupakan pejabat negara. Sedangkan Hakim Pengadilan Pajak statusnya bukan pejabat negara dan juga bukan pegawai negeri. Pegawai negeri yang diangkat menjadi hakim pun tidak otomatis kehilangan statusnya ketika tidak lagi menjabat hakim Pengadilan Pajak. Jadi status hakimnya pun terkesan berada di twilight zone. Produk hukumnya pun tidak jauh berbeda.

 

Pengadilan Pajak, menurut pendapat Tri Hayati dalam suatu seminar di Jakarta, dapat digolongkan berada dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara (TUN) karena obyek sengketanya adalah keputusan aparat perpajakan. Aparat perpajakan secara struktural dan organisasional pun berada di bawah Departemen Keuangan yang notabene merupakan instansi pemerintah dan putusannya dapat dijadikan obyek gugatan TUN. Kenyataannya, Pasal 77 UU No.14 Tahun 2002  menutup kemungkinan bagi pencari keadilan mengajukan putusan Pengadilan Pajak ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ini menunjukkan bahwa akan selalu ada pengecualian dalam implementasi suatu undang-undang di Indonesia termasuk UU tentang Advokat.

         

Tidak tertutup kemungkinan terdapat hambatan-hambatan lain terhadap keberlakuan UU Advokat selain hambatan yuridis sebagaimana terdapat pada UU Pengadilan Pajak. Hambatan lain berkaitan dengan lingkup pengetahuan dan keahlian yang bersifat spesifik. Sebab secara umum seorang yang berpraktek di bidang hukum dapat diklasifikasikan dalam dua rumpun besar yaitu praktisi di pengadilan dan praktisi dalam bidang hukum tertentu.

 

Praktisi di pengadilan konteksnya terkait dengan mendampingi pihak yang berkepentingan dalam menjalani pemeriksaan atau aktifitas lainnya di instansi penegak hukum, termasuk Pengadilan. Sedangkan praktisi bidang hukum tertentu, diidentikkan dengan keahlian yang dimilki untuk bidang tertentu (konsultan hukum), seperti project finance, pertambangan dan perminyakan serta sebagai profesi penunjang di pasar modal. Secara alamiah kedua 'rumpun' tersebut memiliki kavling tersendiri. Meski pun cukup banyak yang kantor pengacara yang 'mencari makan' di kedua kavling tersebut, tapi sulit menemukan yang pengalaman, kompetensi dan pengetahuanserta reputasinya diakui baik sebagai konsultan hukum maupun sebagai pengacara.

 

Kantor Hukum Hotman Paris banyak dikenal sebagai Pengacara yang memenangkan banyak perkara di Pengadilan. Sedangkan Law Firm seperti Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Hadiputranto Hadinoto and Partner (HHP), dan Soewito Suhardiman Eddymurthy Kardono (SSEK) lebih dikenal sebagai konsultan hukum untuk Initial Public Offering (IPO),  right issue dan corporate action lainnya. 

         

Secara jujur harus diakui bahwa UU Advokat menjadi Landmark bagi ekspansi bisnis para pemberi jasa hukum senior yang dulunya biasa dikenal sebagai Pengacara atas Konsultan Hukum. Sebelum lahirnya UU advokat, seorang sarjana hukum yang baru lulus pun dapat saja langsung menyewa ruang perkantoran dan menjadikan dirinya sebagai seorang konsultan hukum.

 

Berbeda dengan pengacara yang berencana berpraktek di pengadilan, yang terlebih dahulu harus memiliki SKPT atau SK Menkeh. Hal tak terbantahkan adalah realitas bahwa kantor konsultan hukum dengan adanya UU Advokat harus mempunyai lebih banyak personil yang memiliki izin advokat.

 

Saat disatukannya dunia kepengacaraan dan dunia konsultan hukum yang salah satu bagiannya saling beririsan, secara prosedural dengan adanya izin advokat, para pengacara akan on the road lebih awal dibandingkan konsultan hukum. Terlebih, bagi kantor konsultan hukum yang tiada satu pun personilnya memiliki izin advokat.

         

Tetapi khasiat UU Advokat (dengan asumsi tidak mengalami amandemen) masih harus dilihat seiring berlalunya waktu. Apakah akan menciptakan dunia hukum yang lebih baik atau alat legitimasi kegiatan monopolistik pemberian jasa hukum oleh kalangan tertentu?

 

Harapan yang terbaik adalah undang-undang tersebut diamandemen dengan menghilangkan waktu magang 2 tahun di  kantor hukum dan keharusan adanya surat izin advokat untuk memberikan jasa hukum di luar pengadilan yang akan mempersulit program pendampingan oleh Lembaga Bantuan Hukum untuk warga yang membutuhkan.

 

Selain itu, sebaiknya harus terdapat kuota bagi pemberian jasa cuma-cuma oleh advokat seperti 10 perkara selama 3 bulan. Hal ini penting untuk lebih mengangkat sisi advokat sebagai makhluk sosial yang selama ini lebih terkesan sebagai makhluk ekonomi. Tugas ini pun tidak boleh dialihkan antara lain dengan membuat lembaga bantuan hukum. Hal ini mengakibatkan personil di kantor terkait menjadi kurang memiliki sense of humanity karena kehidupan kesehariannya terisi dengan praktek hukum berdasarkan fee serta agar mendapatkan bonus akhir tahun baik berupa pesiar dengan kapal mewah maupun setumpuk uang untuk kesenangan sesaat.

 

Jika setiap kantor pengacara menangani kasus minimal 10 perkara selama tiga bulan, pandangan bahwa hukum hanya ada bagi para pemilik modal dan atau pemilik kekuasaan akan mengalami sedikit pergeseran.

         

Oleh karena itu langkah APHI mengajukan judicial review terhadap UU Advokat sudah seharusnya mendapat dukungan banyak pihak. UU Advokat benar-benar harus diamandemen agar lebih memiliki peran konstruktif bagi perkembangan dunia hukum di Indonesia.

Pasal 1 angka 1 dan 2  UU Advokat menyatakan seorang advokat sebagai pemberi jasa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien di dalam dan di luar pengadilan sesuai UU tersebut. Kriteria tersebut menjadi elemen penting bagi pasal 31 UU Advokat. Pertanyaannya adalah, apakah pasal itu berlaku efektif baik di dalam dan di luar pengadilan?

         

Adagium lex spesialis derogat lex generalis ternyata berlaku juga terhadap undang-undang ini. Hal ini antara lain terindikasi dengan melihat  pasal 34 ayat 2  UU No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak). Pada pasal tersebut tidak ada ketentuan yang mensyaratkan adanya surat izin advokat bagi kuasa hukum yang mendampingi para pihak di Pengadilan Pajak. Selain itu pada pasal 32 ayat 1 UU Pengadilan Pajak, juga dikatakan fungsi pengawasan terhadap kuasa hukum dibebankan pada Pengadilan Pajak. Hal-hal yang penulis uraikan ini mengemuka dalam suatu seminar tanggal 11 November 2003  tentang Pengadilan Pajak di Jakarta.

 

Terlepas apa pun jawaban instansi perpajakan, secara faktual yuridis, UU Pengadilan Pajak tidak mewajibkan kuasa hukum untuk mengantongi izin advokat sebagaimana diatur UU Advokat. Selain itu, UU Advokat juga tidak menjelaskan status dari fungsi pengawasan oleh Pengadilan Pajak, apakah setingkat atau lebih tinggi dari pengawasan yang dilakukan oleh organisasi advokat atau berada di luar cakupan UU Pengadilan Pajak. Tetapi secara gramatikal, jelas terlihat bahwa pengawasan dari organisasi advokat bukan merupakan suatu hal utama.

Tags: