Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?
M.Y.P. Ardianingtyas SH LLM(*) dan Dr.Charles M. Tampubolon(**)

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?

Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya mereka melakukan kesalahan diagnosis.

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?
Hukumonline

Kasus di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.

Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter. Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama, sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang berasal dari golongan masyarakat miskin?

Tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).

Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).

Kenyataan diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter. Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia. Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.

Berdasarkan data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.

Sementara di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi (www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum. Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat merugikan profesi dokter sendiri.

Sungguh malang nasib para dokter yang menjalankan profesinya yang mulia. Di satu sisi profesi ini bukan pelaku usaha karena tujuannya bukanlah untuk mencari keuntungan semata. Profesi ini hanya memperoleh penghargaan atas upayanya dalam menyembuhkan pasien. Namun disisi lain ada resiko besar yang dihadapinya apabila dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien. Entah karena takdir atau karena kelalaiannya (human error). Apalagi, bila tindakannya tersebut dinilai tergolong malpraktek medik, sehingga dia harus menghadapi tuntutan, baik perdata atau pidana.

Tentunya hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para dokter dalam menjalankan profesinya, mengingat mereka adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah. Dokter hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasien, tapi tidak bisa menjanjikan kesembuhannya. Apabila dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana, maka untuk menyelesaikannya perlu diadakan pemeriksaan perkara lebih lanjut di pengadilan. Dampaknya tentu saja dapat merusak citra dan nama baik dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, yang tidak semata-mata hanya mencari keuntungan, terutama bersifat kemanusiaan dan sosial.

Berangkat dari kasus tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah kesalahan diagnosis dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik? Apakah mungkin dibentuk suatu hukum yang mengatur mengenai standar profesi kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan hukum baik bagi masyarakat maupun profesi kedokteran sendiri? Untuk mempersempit ruang lingkup, penulis hanya membatasi tulisan ini dalam konteks hubungan dokter dan pasien, tidak mencakup ruang lingkup rumah sakit, laboratorium, dan tenaga medis selain dokter.

Meski berita yang membahas mengenai malpraktek medik atau kelalaian medik begitu marak, namun, jarang yang memaparkan pengertian mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian yang lebih baik, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pengertian malpraktek medik atau kelalaian medik.

Prof.dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan pengertian tentang malpraktek medik yaitu kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.

Lebih jauh lagi, Hanafiah berpendapat bahwa kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.

Adapun dokter dapat dikatakan melakukan malpraktek apabila dokter kurang menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.:

Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: adanya kewajiban dokter terhadap pasien, dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai, penggugat menderita kerugian, dan kerugian tersebut disebabkan tindakan di bawah standar.

Sedangkan menurut Drs. Fred Ameln, S.H., seorang dokter melakukan malpraktek apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong-doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).

Kemudian J. Guwandi, S.H. mengatakan bahwa  malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis. Sebenarnya istilah malpraktek tidak hanya terjadi pada profesi kedokteran saja. Namun entah mengapa, ternyata dimana-mana, bahkan di luar negeri, istilah malpraktek selalu pertama-tama dikaitkan kepada profesi medis.

Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut pendapat mereka, lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton, 167). Memang di dalam literatur, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. Malpractice is a term which is increasingly widely used as a synonym for medical negligence (Mason-McCall Smith, 339).

Berbeda dengan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J. Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya, malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian.

Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.

Dari beberapa pengertian dan pendapat dari para ahli hukum kedokteran di atas, terlihat adanya perbedaan dalam melihat pengertian dari malpraktek dan kelalaian dalam profesi kedokteran. Namun terlepas apakah malpraktek medik dan kelalaian medik merupakan suatu pengertian yang sama atau berbeda, penulis berpendapat bahwa pada intinya pengertian-pengertian tersebut di atas adalah sama. Yaitu kesalahan dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya, sengaja atau tidak sengaja tindakan medik tersebut dilakukan oleh sang dokter tersebut.

Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.

Pengaturan ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya, sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.

Mengenai kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.

Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.

Memang KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam setiap pelanggaran KODEKI.

Jadi MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.

Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard) menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln, S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).

Menurut Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan memiliki banyak unsur yang sangat relevan.

Untuk menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama, dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi unsur kelalaian.

Kedua, dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik. Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.

Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima, sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan, KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.

Selain itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien. Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.

Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan  tidak terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.

Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.

Hal ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia.  Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya pengobatan.

Para dokter tersebut bahkan rela meninggalkan buku resep obat dan tempat praktek mereka serta menggantinya dengan papan protes. Mereka juga turun ke jalan sebagai wujud dari aksi protes mereka terhadap kenaikan premi asuransi tersebut. (USA TODAY,18 Januari 2004).

 

Tentu tidak akan pernah terbayangkan oleh masyarakat bahkan oleh para dokter di Indonesia untuk mengikuti jejak rekan sejawat mereka di Amerika Serikat, yang sampai harus  turun ke jalan akibat keharusan membayar premi asuransi profesi dokter.

 

Namun akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk'  berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat menuntut keadilan.

 

Mengamati pemberitan di media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpaktek medik dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Salah satu dugaan malpraktek yang menonjol adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Ia mengalami kerusakan ginjal yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi (Suara Pembaruan, 9 Desember 2003).

 

Anne, begitu Augustianne biasa disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis kandungan harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi, ia harus meminum antibiotik dosis tinggi tiga kali sehari selama tujuh hari. Setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi Anne justru makin buruk. Karena cemas dengan kondisi istrinya, Hotman Paris membawanya ke rumah sakit untuk memperoleh second opinion. Disitu baru terungkap bahwa antibiotik yang diminumnya ternyata membawa kerusakan pada ginjalnya. Dosis yang diberikan kepada Anne dinilai terlalu tinggi. Akhirnya ia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nyatanya, setelah menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit terkemuka di sana, Anne tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit.

Halaman Selanjutnya:
Tags: