Soal Sengketa Hasil Pemilu, Hanya Satu Tempat Mengadu
Fokus

Soal Sengketa Hasil Pemilu, Hanya Satu Tempat Mengadu

Hari ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dan mengumumkan hasil pelaksanaan Pemilu 2004 secara nasional. Bagi yang tidak puas, hanya ada satu tempat mengadu, yaitu, Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Soal Sengketa Hasil Pemilu, Hanya Satu Tempat Mengadu
Hukumonline
Setelah melalui proses rpitulasi yang berlarut-larut, akhirnya KPU berhasil menyelesaikan perhitungan hasil suara Pemilu secara nasional yang terbagi dalam 69 daerah pemilihan tingkat provinsi. Disebut berlarut-larut, karena penyelesaian perhitungan yang dilakukan secara manual ini melewati tenggat waktu yang dijadwalkan KPU sendiri.

Sejak awal dimulainya perhitungan suara, bibit-bibit ketidakpuasan dari perwakilan parpol peserta pemilu sudah tampak. Misalnya, kenapa mereka dalam undangannya tidak diberi tahu tentang daerah pemilihan mana saja yang akan direkapitulasi hari itu. Akibatnya, mereka tidak membawa data pembanding untuk mengajukan keberatan terhadap hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPU.

Semakin hari ketidakpuasan akan hasil perhitungan pemilu itu kian memuncak. Apa lagi, perwakilan peserta pemilu itu kesulitan untuk mendapatkan data pembanding dari beberapa daerah pemilihan. Akhirnya, beberapa parpol sampai pada satu kesimpulan. Mereka akan memperkarakan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPU itu.

Ke Mahkamah Konstitusi

Persoalan yang kemudian timbul adalah ke mana para pihak itu hendak memperkarakan hasil pemilu tadi. Memang bukan persoalan yang sulit untuk dijawab, terutama  bagi mereka yang terlibat langsung pada pelaksanaan pemilu. Tapi, tidak sedikit juga yang belum tahu bahwa satu-satunya tempat mengadu untuk memperkarakan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi.

Mengapa harus Mahkamah Konstitusi? Karena UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menyatakan demikian. Pasal 134 UU tersebut dengan tegas menyatakan bahwa dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil pemilu, akan diperiksa dan diputus untuk tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru yang dibentuk berdasarkan amanat konstitusi melalui UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaga itu merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 hasil perubahan.

Berdasarkan Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi, ada lima kewenangan lembaga tersebut. Salah satunya, pada Pasal 10 ayat (1) huruf c, adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Dengan demikian, tidak tepat jika ada sebagian pihak yang berencana untuk mengadukan KPU ke Mahkamah Agung karena dinilai tidak adil dalam melakukan perhitungan hasil suara. Penghitungan yang tidak adil itu mengakibatkan perolehan suara suatu peserta pemilu lebih rendah dari seharusnya.

Wajar memang jika terjadi sedikit kekeliruan dalam memahami siapa yang paling berwenang untuk memeriksa suatu sengketa atau peristiwa hukum pada pelaksanaan pemilu. Pasalnya ada beberapa pihak, menurut UU Pemilu, yang berwenang memeriksa sengketa atau peristiwa hukum tadi berdasarkan jenisnya.

Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Topo Santoso, pernah mengatakan bahwa sengketa atau peristiwa hukum dalam pelaksanaan pemilu setidaknya dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, pelanggaran peraturan yang bersifat pidana. Bagi pelanggaran yang sifatnya pidana,yang berwenang memeriksa adalah Panwaslu, untuk diselesaikan sendiri atau diteruskan kepada pihak kepolisian.

Kedua, adalah pelanggaran peraturan pemilu yang bersifat administratif. Untuk jenis ini yang berwenang menangani dan memutuskan adalah KPU. Terakhir, sengketa hasil pemilu. Seperti diuraikan di atas, untuk jenis ini yang berwenang memeriksa di tingkat pertama dan terakhir adalah Mahkamah Konstitusi.

Siapa yang berhak memohon?

Selang beberapa lama setelah pencoblosan pada 5 April 2004 lalu, beberapa Lembaga Pemantau dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengamati jalannya pelaksanaan pencoblosan langsung menilai bahwa telah terjadi kecurangan di puluhan bahkan ratusan Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hal itu mengakibatkan hasil perolehan suara di TPS tersebut tidak sebagaimana mestinya. Sebagian parpol diuntungkan dan sebagian parpol lainnya dirugikan. Untuk itu, sebagian pemantau dan LSM tersebut berniat mengadukan persoalan ini kepada Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, saksi-saksi parpol di beberapa TPS yang tersebar di beberapa daerah juga menemukan kecurangan serupa. Penghitungan suara di tingkat Kelurahan pada sebagian daerah juga dilakukan secara tertutup. Akibatnya, sebagian Dewan Pimpinan Daerah Parpol tertentu bertekad untuk mengajukan permasalahan perhitungan suara tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

"Berdasarkan UU Mahkamah Konstitusi, yang berhak mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu adalah peserta pemilu," tegas Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, dalam beberapa kesempatan sosialisasi.

Menurut Pasal 74, mereka adalah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pasangan Capres dan Wapres, serta partai politik peserta Pemilu. Dengan demikian, pihak-pihak lain termasuk lembaga pemantau dan LSM tidak berhak mengajukan sengketa Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.

Khusus untuk parpol peserta pemilu, Jimly merincinya lagi bahwa setiap parpol hanya berhak mengajukan satu permohonan. Jadi, jika ada dugaan kesalahan perhitungan suara di beberapa daerah pemilihan, menurut Jimly, parpol tersebut harus mengkonsolidasikan kasus-kasus itu terlebih dahulu. Sehingga bagi setiap parpol hanya akan berupa satu institusi badan hukum yang mengajukan permohonannya ke MK. Yang bertindak mewakili parpol tersebut adalah pimpinan perpolnya.

Batasan dan ketentuan lain

Untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan pemeriksaan permohonan sengketa Pemilu, Mahkamah Konstitusi menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Berikut ini adalah beberapa batasan dan ketentuan lain dalam pedoman tersebut yang harus dipenuhi oleh pemohon.

Bahwa yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi hanyalah hasil pemilu yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU. Dengan demikian, misalnya, Mahkamah Konstitusi tidak akan menerima permohonan yang mempersoalkan proses pelaksanaan pemilu maupun penghitungan suaranya.

Mahkamah Konstitusi juga akan mengenyampingkan permohonan yang ditujukan untuk mempersoalkan kecurangan parpol lain. Sebab, yang bertindak sebagai para pihak pada kasus ini adalah peserta Pemilu sebagai pemohon dan KPU sebagai termohon. Beberapa parpol menyayangkan soal ini, karena menurut mereka proses juga mempengaruhi hasil perhitungan.

Lalu, permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilu yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, atau terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Semula ada anggapan bahwa permohonan dibatasi hanya yang secara signifikan akan mempengaruhi hasil pemilu. Dengan anggapan itu berarti parpol yang jumlah suaranya kecil tak akan berkesempatan untuk mengajukan permohonan, mengingat keberatannya tentu tak akan signifikan dalam mempengaruhi hasil pemilu secara menyeluruh.

Menanggapi ini Jimly mengatakan bahwa parpol mana pun berkesempatan mengajukan permohonan. Karena bisa saja keberatannya itu mempengaruhi walau hanya terhadap satu kursi di satu daerah pemilihan.

Kemudian, waktu pengajuan permohonan paling lambat 3x24 jam sejak KPU mengumumkan hasil pemilu secara nasional. "Waktu akan dimulai sejak jam, menit dan detik hasil Pemilu diumumkan," tegas Jimly. Untuk kelancaran proses ini, Mahkamah Konstitusi menyiapkan petugas piket untuk bersiaga 24 jam penuh selama tiga hari itu.

Mengingat terbatasnya waktu permohonan, Mahkamah Konstitusi memberikan kemudahan kepada pemohon. Yakni, bahwa pemohon boleh menyampaikan permohonannya melalui faksimil atau surat elektronik (e-mail). Hanya saja, berkas asli harus disusulkan paling lambat tiga hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu pengajuan permohonan.

Selanjutnya, pemohon juga wajib melampirkan bukti-bukti yang diperlukan pada permohonannya tersebut. Jimly mengatakan, asas hukum "siapa yang mendalilkan sesuatu wajib untuk membuktikan dalilnya tersebut" berlaku juga dalam sengketa perselisihan hasil pemilu ini. Bukti-bukti itu bisa berupa dokumen berita acara hasil perhitungan di tiap-tiap daerah pemilihan, dan perhitungan akhir versi pemohon.

Suatu permohonan dari satu parpol, bila dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pasti akan mempengaruhi perolehan kursi dari parpol lain. Untuk itu, menurut Jimly, Mahkamah Konstitusi mengizinkan kepada parpol yang berpotensi kursinya berkurang karena permohonan parpol lain, untuk memberikan bukti-bukti yang berlawanan dengan pemohon kepada KPU sebagai termohon.

Akhirnya setelah semua dokumen lengkap, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa permohonan yang masuk. Untuk mengantisipasi banyaknya permohonan, pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan oleh panel majelis yang beranggotakan tiga orang hakim konstitusi. Dengan demikian, setidaknya ada tiga panel majelis yang bisa memeriksa tiga permohonan secara bersamaan. Meski demikian, putusan tetap diambil melalui rapat pleno 9 orang hakim konstitusi.

Proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi akan dilakukan melalui pemeriksaan cepat. Salah satu alasannya adalah bahwa hasil pemilu legislatif kemarin akan mempengaruhi pelaksanaan pemilu berikutnya. UU Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa hasil pemilu ini paling lambat diambil dalam waktu 30 hari sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara.

Seperti diuraikan di atas, putusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final. Tidak ada lagi upaya hukum atas putusan tersebut. Semua pihak harus mematuhinya. Misalnya permohonan dimenangkan, maka Mahkamah Konstitusi membatalkan putusan KPU khusus terhadap jumlah suara yang dimohonkan saja. Selanjutnya menetapkan jumlah suara yang sah sesuai putusannya tersebut.

Tugas berat menanti Mahkamah Konstitusi mengingat ada kemungkinan perkara sengketa pemilu yang akan ditangani lembaga ini jumlahnya akan banyak, semntara waktu yang disediakan undang-undang untuk memeriksa dan memutus perkara sangat singkat. Mahkamah Konstitusi memang sejauh ini telah mengambil langkah-langkah antisipasi agar mereka dapat memenuhi amanat undang-undang. Mahkamah Konstitusi sebaiknya belajar agar pengalaman KPU yang kerap memundurkan jadwal tidak terulang lagi.

eka

Berdasarkan jadwal yang disusun KPU, seharusnya penetapan dan pengumuman ini dilakukan pada 26-28 April 2004. Namun, mengingat hasil perhitungan dari 440 KPUD Kabupaten/Kota yang terlambat sampai di Jakarta, akhirnya KPU memutuskan untuk memaksimalkan waktu yang disediakan oleh UU Pemilu, yaitu 30 hari setelah pemungutan suara.

"KPU ingin perhitungan secara manual ini meskipun sulit namun tetap dilakukan secara akurat," ujar Ketua Pokja penghitungan suara hasil Pemilu 2004, Rustandi Kantaprawira, dalam beberapa kesempatan. Karena masuknya data daerah tidak serentak, menurut Rustandi, rekapitulasi secara manual juga dilakukan secara bertahap.

Setelah lebih dari 10 hari rekapitulasi secara maraton dilakukan di hotel Nikko dan Hotel Sahid Jakarta, berikut ini adalah hasil perolehan kursi legislatif pada pemilu 2004. 

Hasil Akhir Perolehan Kursi Parpol Peserta Pemilu 2004.

No

Partai

Kursi

 

No

Partai

Kursi

1

Partai Golkar

128

 

10

PBB

11

2

PDIP

109

 

11

PPDK

 5

3

PPP

  58

 

12

PKPB

 2

4

Partai Demokrat

  52

 

13

Partai Pelopor

 2

5

PKB

  52

 

14

PKPI

 1

6

PAN

  52

 

15

PNBK

 1

7

PKS

  45

 

16

PPDI

 1

8

PBR

  13

 

17

PNI Marhaenisme

 1

9

PDS

  12

 

 

Jumlah

550

Tags: