RUU Perlindungan Saksi:
Saksi Dapat Berganti Identitas Diri
Fokus

RUU Perlindungan Saksi:
Saksi Dapat Berganti Identitas Diri

Jadi saksi tindak kejahatan? Ah ogah, lah. Begitu pemikiran sebagian masyarakat karena takut repot atau ditanya soal ini-itu atau malah bisa diancam. Namun, kini tak perlu lagi khawatir untuk menjadi saksi. Dalam RUU Perlindungan Saksi yang diusulkan oleh ICW, para saksi kelak dapat berganti identitas!

Oleh:
M. Adam Ali Bhut
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>RUU Perlindungan Saksi:</b></font><BR>Saksi Dapat Berganti Identitas Diri
Hukumonline

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak bagi tersangka atau terdakwa. Hak-hak tersebut telah memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai 68 KUHAP.

Akan tetapi, tidak demikian pengaturan KUHAP terhadap saksi. Perlindungan terhadap saksi kurang mendapat tempat yang selayaknya di KUHAP. Ketiadaan pengaturan perlindungan saksi di KUHAP seakan-akan memposisikan perlindungan saksi hanya sebagai utopia dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Padahal, keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dihadirkan pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, terutama berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit perkara yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi.

Sering kita dapatkan pemberitaan di media massa mengetengahkan kegagalan aparat penegak hukum untuk mengungkap berbagai kasus, hanya karena keengganan saksi untuk memberikan informasi kepada mereka. Bahkan pada level yang lebih menyedihkan lagi, terdapat sejumlah saksi yang tidak mau menampakkan diri agar tidak memberikan kesaksian karena takut diancam oleh pelaku tindak pidana.

Ketakutan itu muncul karena para pelaku biasanya memiliki kekuatan untuk menekan ataupun mengintimidasi saksi, termasuk saksi korban. Biasanya, ketakutan itu muncul manakala perkara yang harus dilengkapi kesaksian itu berkaitan dengan kasus korupsi ataupun politik.

Pada kasus Bank Bali yang diduga melibatkan pejabat tinggi negara, misalnya, saksi-saksi yang ingin membantu mengungkap kasus ini mendapat teror dari orang yang tidak dikenal, sampai-sampai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memberikan jaminan keselamatan.

Contoh lain adalah kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah beserta para santrinya di Aceh. Para saksi korban merasa jiwanya terancam, sehingga mereka datang ke Jakarta untuk meminta perlindungan kepada Jaksa Agung. Mereka mengatakan akan bersedia menjadi saksi apabila ada jaminan perlindungan dari Jaksa Agung dan dari pihak-pihak terkait lainnya.

Tags: