Topo Santoso, Direktur Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia (PSPPI), adalah salah satu orang yang mendukung sekaligus mempertanyakan kesiapan pelaksanaan gagasan ICW itu. Topo berpendapat, keberadaan Undang-undang (UU) Perlindungan Saksi memang sangat penting.
Topo mengakui, memang untuk hal yang satu ini Indonesia dapat dikatakan sudah cukup tertinggal bila dibanding dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Afrika Selatan.
Dalam pandangannya, Topo menggarisbawahi pentingnya perlindungan hukum diberikan kepada saksi, terutama saksi korban. Selama ini, menurut Topo, korban-korban tindak pidana di Indonesia sudah menderita kerugian materiil dan mental. "Mereka juga masih harus dirugikan selama proses peradilan, dari penyidikan, penuntutan, terus sampai di pengadilan," ujar akademisi muda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Di samping itu, tambah Topo, para saksi korban juga seringkali mengalami teror, ketakutan, dan trauma. "Semua itu butuh suatu advokasi ataupun perlindungan, sehingga sangat tepat kalau RUU ini diajukan," paparnya.
Kesiapan pemerintah dipertanyakan
Mengenai gagasan RUU Perlindungan Saksi ini, lebih lanjut Topo Santoso menyatakan, banyak hal yang harus disiapkan, dari mentalitas aparat penegak hukum sampai sarana-sarananya. "Masalahnya adalah political will dan kesiapan pemerintah untuk melaksanakannya," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Harvard Law School, Amerika Serikat ini.
Keraguan Topo terhadap kemampuan pemerintah untuk menjalankan UU ini bila kelak diundangkan, terutama berkenaan dengan perkara-perkara yang melibatkan atau merugikan pemerintah. "Bisa tidak, pemerintah melaksanakannya?," ujarnya.
Selain itu, menurut Topo, pemerintah pun harus menyiapkan sarana-sarana untuk melaksanakan UU itu di lapangan. Tentunya untuk hal tersebut, tidak dapat disediakan dalam waktu yang segera. "Belum lagi dari segi pendanaan dan orang-orang yang concern terhadap masalah ini," ungkap Topo.