25 Calon Hakim Ad hoc Pengadilan Korupsi, Siapa Bakal Tereliminasi?
Fokus

25 Calon Hakim Ad hoc Pengadilan Korupsi, Siapa Bakal Tereliminasi?

Seorang aktivis pemberantasan korupsi di Jakarta langsung geleng-geleng kepala melihat daftar nama calon hakim ad hoc korupsi yang sudah lolos psikotes. Banyak diantaranya yang tidak dikenal publik. Ada dosen, advokat, mantan hakim, bekas wartawan, hingga mantan anggota tim interogasi Satgas Intel Kopkamtib. Anda punya catatan tentang mereka?

Oleh:
Mys/Gie
Bacaan 2 Menit
25 Calon Hakim <i>Ad hoc </i>Pengadilan Korupsi, Siapa Bakal Tereliminasi?
Hukumonline

 

Rapat itu memang sengaja digelar Panitia Seleksi Calon Hakim ad hoc Korupsi yang mayoritas beranggotakan petinggi Mahkamah Agung (MA). Mereka sedang memilih siapa saja yang bakal dinyatakan lolos dari 88 peserta psikotes. Setelah melalui perdebatan, tanpa voting, Panitia Seleksi akhirnya memilih dan mengumumkan 25 nama yang berhak mengikuti fit and proper test.

 

Di antara yang beruntung lolos psikotes adalah advokat Ramdlon Naning. Pernah gagal dalam seleksi hakim agung non karir dan calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak membuat advokat asal Yogyakarta ini patah arang. Meskipun proses seleksi hakim agung non karir atau anggota KPK tidak jauh beda, nasibnya lain ketika mendaftar sebagai calon hakim ad hoc korupsi. Paling tidak sejauh ini namanya masuk 10 besar kandidat hakim ad hoc korupsi untuk tingkat kasasi.

 

Kandidat lain yang berhak ikut fit and proper test adalah Su'ud. Lahir di Jakarta 25 Oktober 1961, Su'ud terbilang miskin pengalaman sebagai pengadil perkara korupsi. Pekerjaannya justru tidak jauh bergeser dari dunia jurnalistik dan kepengacaraan. Sambil menjalani pekerjaan sebagai penulis lepas, ia menjadi asisten pengacara di kantor Muhammad Aseli. Entah karena tidak betah, profesi itu hanya dijalaninya satu tahun karena kemudian beralih menjadi wartawan harian Merdeka. Lantas, jadi pengacara lagi, sebelum kembali ke profesi jurnalistik di harian Jayakarta.

 

Selain bekas wartawan, bekas tentara juga ada yang lolos ujian psikotes, yakni  Utoyo Sumitro Asmita Kusuma. Dalam tabulasi pendaftaran yang disusun Panitia Seleksi, Utoyo disebut berprofesi sebagai advokat. Namun berdasarkan penelusuran hukumonline, pria asal Lampung ini adalah bekas tentara yang pernah menjadi anggota tim interogasi Satgas Intel Kopkamtib. 

 

Ke-25 nama itu memang masih akan mengerucut. Semula, jumlah pelamar adalah 370 orang, menyusut menjadi 189 nama pada saat seleksi administrasi. Lantas, setelah ujian tertulis dilakukan, sisanya tinggal 88 orang. Merekalah yang mengikuti psikotes, dan hasilnya tersisa 25 nama (lihat tabel).

 

Tabel

Daftar 25 Calon Hakim Adhoc Korupsi yang Lolos Psikotest

 

Tingkat Pertama

Tingkat Banding

Tingkat Kasasi

Muhammad Ali Hasan

Jamiara Sidabutar

Krishna Harahap

Saharuddin Satar

Parlindungan Sinaga

MS Lumme

Dudu Duswara Machmudin

HM As'adi al-Ma'ruf

Hamrat Hamid

Kusnu Goesbadhie Slamet

Abdurrahman Hasan

Utoyo S. Asmita Kusuma

Saut Irianto Rajagukguk

Sudiro

Happy Gunawarman

Achmad Linoh

 

Susilo Yuwono

Hendra Yospin

 

Zakir

I Made Hendra Kusuma

 

Suraji

Salfen Saragih

 

Ramdlon Naning

Su'ud

 

Sukarno Yusuf

 

Jumlah ini pun dipastikan masih akan berkurang. Direktur Hukum dan Peradilan MA Suparno pernah mengatakan bahwa formasi yang dibutuhkan hanya 16 orang. Jadi, dari 25 nama itu masih ada yang akan tereliminasi 9 orang lagi. Jika kita mengacu pada formasi 6-4-6, maka tingkat persaingan tertinggi ada pada hakim banding. Satu dari kelima calon harus tersisih. Beda halnya hakim tingkat pertama dan kasasi yang masing-masing harus mencoret empat nama. Siapa saja mereka? Mari kita teropong kiprah mereka yang tersisa.

 

Darimana mereka berasal?

Mereka yang lolos psikotes di atas berasal dari berbagai profesi hukum, bahkan ada yang mencantumkan pekerjaan wiraswasta. Dari 25 calon, 11 diantaranya selama ini menjalankan profesi advokat. Belum termasuk Salfen Saragih, pensiunan jaksa, yang mencantumkan profesi advokat sekaligus sebagai dosen.

 

Dari kalangan internal pengadilan, yakni pensiunan hakim, hanya tercatat atas nama dua kandidat: Jamiara Sidabutar dan mantan Ketua Muda Bidang Peradilan Agama H. Zakir. Seorang calon, HM As'adi al-Ma'ruf masih tercatat sebagai hakim Pengadilan Agama Banyumas, Jawa Tengah.

 

Dari kalangan pendidik tercatat nama Achmad Linoh, Dudu Duswara Machmudin dan Krishna Harahap. Nama yang disebut terakhir selama ini dikenal sebagai anggota Komisi Konstitusi. Profesi lain yang diwakili masing-masing calon adalah polisi, notaris, tenaga ahli Kejaksaan Agung dan wiraswasta.

 

Polisi menjadi calon hakim korupsi? Ya, itulah faktanya. Adalah Suraji, SH calon hakim ad hoc korupsi tingkat kasasi yang berasal dari korps berbaju coklat itu. Berdasarkan data yang dilaporkan ke Panitia Seleksi, hingga saat mendaftar pria kelahiran 30 Maret 1954 itu masih tercatat sebagai Kasubdit Publikasi Humas Polda DI Yogyakarta.

 

Satu calon lain yang berbau korps baju coklat adalah Parlindungan Sinaga SH, MBA. Meskipun dalam daftar tabulasi Panitia ia disebut bekerja sebagai wirawasta, pria asal Toba Samosir ini adalah bekas anggota Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Besar. Ia baru pensiun pada 1 Juli 2002. Sebelum pensiun, ayah empat anak ini bertugas sebagai staf ahli Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) Polri.

 

Selain polisi, beberapa nama dari lingkungan kejaksaan rupanya juga tertarik menjadi hakim ad hoc korupsi. Bukan hanya bekas petinggi kejaksaan, tetapi juga jaksa fungsional. Sebut misalnya nama Salfen Saragih.

 

Sebelum pensiun per 1 Agustus 2002, Salfen hanya seorang jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Jabatan struktural yang pernah dipegangnya antara lain Kasubsi Penuntutan Pidana Umum, Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara, serta Kasi Intelijen. Ketiga jabatan itu diemban Salfen dalam kurun waktu 13 tahun, sebuah perjalanan karir yang bisa disebut lamban.

 

Aktivitas Salfen sepanjang menjadi jaksa sulit terlacak. Pusat Data hukumonline hanya merujuk satu perkara yang ditangani Salfen mendapat perhatian luas, yaitu saat menjadi jaksa penuntut umum (JPU) atas kasus Faisal Syafruddin, seorang tokoh referendum Aceh. Sayang, beberapa kali upaya konfirmasi dan permintaan waktu wawancara dari hukumonline, tak direspon Salfen. Ia beralasan belum resmi lolos sebagai hakim ad hoc korupsi.

 

Nama Hamrat Hamid juga masuk dalam kategori ini. Pria kelahiran Batusangkar 11 November 1932 ini sudah merintis karir di kejaksaan sejak 1963 hingga pensiun per 1 Desember 1992. Dalam waktu delapan tahun (1982-1990), ia pernah berpindah-pindah jabatan selaku Kajati di  Bengkulu, Aceh, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Meskipun sudah pensiun tenaganya masih dipakai. Ia tercatat sebagai tenaga ahli di Kejaksaan Agung dan penasehat penegakan hukum lingkungan di Kantor Meneg Lingkungan Hidup. Di bidang pemberantasan korupsi, Hamrat Hamid pernah tercatat sebagai Sekretaris Satgas B Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) Pusat.

 

Kandidat lain dari korps kejaksaan adalah Sukarno Yusuf. Beda dengan Salfen, Sukarno Yusuf mengukir sederet jabatan fungsional selama karirnya. Hanya dalam waktu sebelas tahun sejak 1990, tak kurang dari sembilan posisi dipegangnya. Mulai dari Kajari Tual, Maluku Utara, Kajari Kotabumi, Lampung hingga Kajati Aceh, Lampung dan Jawa Tengah. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1973 ini baru pensiun sejak Desember 2002.

 

Gelar dan pengalaman bukan syarat

Gelar atau pendidikan tinggi dan pengalaman tampaknya tidak terlalu penting benar dalam proses seleksi hakim adhoc korupsi. Buktinya, sejumlah nama bergelar profesor dan doktor ilmu hukum gagal seleksi.

 

Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan hukumonline terhadap daftar nama-nama calon, di tingkat kasasi saja empat orang bergelar profesor dan dua orang berpendidikan doktor dinyatakan tidak lolos. Termasuk di dalamnya guru besar Universitas Sumatera Utara Prof. Edi Warman dan anggota MPR Prof. Muhammad Ali. Sementara untuk tingkat pertama, empat orang doktor ilmu hukum juga gagal melangkah. Termasuk anggota Komisi Konstitusi DR Bahder Johan Nasution dan Ketua Judicial Watch Indonesia, DR Andi Muhammad Asrun. 

 

Uniknya, di tingkat banding tidak ada satu pun calon yang bergelar profesor atau doktor ilmu hukum. Jamiara Sidabutar, pria kelahiran 5 Oktober 1943, dikenal sebagai pensiunan hakim. Parlindungan Sinaga adalah pensiunan polisi yang bergelar sarjana hukum dan S2 administrasi,  HM As'adi al-Ma'ruf adalah hakim pengadilan agama yang menyandang S1 hukum dan syariah; Abdurrahman Hasan seorang dosen di Banjarmasin bergelar S1 hukum dan S2 pendidikan. Sementara Sudiro, widyaiswara Departemen Kehakiman, lulus S1 hukum dan gelar pasca humaniora (M.Hum).

 

Bekas hakim, siapa takut?

Jamiara dan As'adi memang sudah punya pengalaman menangani perkara di pengadilan mengingat keduanya adalah hakim. Tidak demikian halnya tiga calon hakim ad hoc lainnya. Dalam perbincangan dengan hukumonline, Sudiro mengaku tidak memiliki pengalaman sama sekali mengadili orang, apalagi menangani perkara korupsi. Tetapi sejak dulu saya bercita-cita menjadi seorang hakim, ujarnya Sabtu pekan lalu (12/06). Kini, jalan menjadi hakim sudah mulai terbentang asalkan Sudiro lolos dari uji kelayakan dan kepatutan serta klarifikasi tertutup dan penilaian akhir Panitia Seleksi.

 

Toh, pengalaman sebagai hakim bukan jaminan lolos tidaknya seseorang. Buktinya banyak calon yang berasal dari kalangan hakim dan punya segudang pengalaman tidak berhasil melewati ujian tertulis dan psikotes. Di tingkat pertama, misalnya, ada tiga hakim atau mantan hakim yang bernasib apes. Di tingkat banding jumlahnya sekitar lima orang. Sementara di tingkat kasasi tidak kurang dari 16 orang hakim atau mantan hakim yang gagal melangkah ke tahap selanjutnya. Itu belum termasuk panitera pengganti.

 

Bisa jadi, hakim yang paling banyak pengalaman dan sejauh ini masih bernasib baik adalah MS Lumme dan H. Zakir, SH. Keduanya termasuk dalam daftar 25 calon yang lolos psikotes.

 

Lumme, pria kelahiran Makale 3 Maret 1937, adalah mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini termasuk calon yang paling lengkap menyusun dan menyerahkan daftar riwayat hidupnya ke Panitia Seleksi. Selain mencantumkan riwayat pekerjaannya sejak menjadi hakim di PN Palopo pada 1963, ayah tujuh orang anak ini juga mencatumkan detil gaji pokok yang dia peroleh semasa menjabat.

 

Tetapi ‘afiliasi politik' kepengacaraannya sangat mungkin menjadi bahan pertanyaan bagi Panitia Seleksi dalam fit and proper test. Lumme memang tercatat sebagai seorang partner pada kantor advokat Lawrence TP Siburian. Nama yang disebut terakhir dikenal sebagai advokat yang secara politik berafiliasi dengan Partai Golkar.

 

Sebagai hakim, H. Zakir sudah merasakan asam garam kehidupan pengadilan. Apalagi ia sudah sempat berkantor di Medan Merdeka Utara selaku Ketua Muda MA Bidang Peradilan Tata Usaha Negara. Setahun setelah pensiun pada Mei 2000, ia menjalani profesi sebagai penasehat hukum. Namanya pernah mencuat dalam kasus pemberian fee yang dinilai tidak layak kepada seorang pengacara yang tidak lain adalah anak kandung Zakir sendiri. Perkara ini kabarnya pernah ditangani Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), sebelum akhirnya hilang tanpa penyelesaian secara yuridis.

 

Para kandidat kini sedang was-was menanti uji kelayakan dan kepatutan yang bakal dilakukan secara terbuka. Dalam ujian itulah berbagai hal dikonfirmasi dari mereka, termasuk kiprah mereka selama menjabat atau menjalankan profesi tertentu. Anda punya catatan tentang nama-nama tadi? Sampaikan pengetahuan dan catatan Anda ke redaksi hukumonline atau faks (021) 8370-1826 sebelum mereka diuji pada 18, 19 dan 20 Juni mendatang.

Sebuah rapat di gedung Mahkamah Agung, Senin 7 Juni lalu berlangsung sedikit tegang. Dua tiga orang peserta menolak jika nama-nama yang tidak memenuhi syarat dikatrol agar jumlah yang diinginkan terpenuhi. Nama-nama yang direkomendasikan lolos menjadi calon hakim ad hoc korupsi oleh Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tidak sebanyak yang diharapkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: