Kualitas Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Mengecewakan
Utama

Kualitas Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Mengecewakan

Kualitas dari 25 calon hakim ad hoc untuk pengadilan khusus korupsi dinilai mengecewakan. Karena itu, kemungkinan akan dilakukan seleksi kembali.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Kualitas Calon Hakim <i>Ad Hoc</i> Pengadilan Korupsi Mengecewakan
Hukumonline

 

Hal senada dikemukakan oleh anggota panitia seleksi lainnya, Rifqi S. Assegaf. Sepanjang pengamatan Rifqi, sejak hari pertama seleksi sampai hari terakhir, kemungkinan hanya satu majelis (tiga orang) atau paling banyak dua majelis (enam orang) yang dapat lolos seleksi.

 

Dalam seleksi hari terakhir kemarin, fit and proper test dilakukan terhadap 10 orang calon hakim ad hoc tingkat kasasi. Mereka adalah Krisna Harahap, M.S Lumme, Hamrat Hamid, Utoyo Sumitro Asmita Kusuma, Happy Gunawarman, Susilo Yuwono, Zakir, Suraji, Ramdlon Naning dan Sukarno Yusuf.

 

Zakir, mantan Ketua Muda Peradilan TUN di MA dan mantan Dirjen Peradilan Umum dan TUN Departemen Kehakiman mendapat pertanyaan seputar sepak terjangnya sewaktu menjabat. Dari laporan yang masuk, Panitia seleksi mendapat informasi bahwa Zakir sering menerima suap baik ketika menjabat sebagai Dirjen maupun sebagai hakim agung. Namun, hal itu dibantah oleh yang bersangkutan.

 

Ketika ditanya oleh Abdurrahman Saleh, apakah selama menjadi hakim agung, ia sering didekati dan dibujuk oleh pengacara atau terdakwa, Zakir menyatakan sering sekali. Namun, ketika diminta menyebutkan salah-satunya, Zakir mengaku tidak ingat.

 

Bentuk bujukan yang sering diterimanya, menurut Zakir, adaalah janji bahwa jika pihak yang berperkara itu dibantu, mereka tidak akan melupakan jasanya. "Tapi, pengalaman saya, kalaupun menang, dia tidak ingat," tukasnya.  

 

"Bapak bilang pengalaman saya, berarti bapak pernah membantu,' kejar Abdurrahman. Dijawab Zakir: "permintaan itu tidak pernah saya hiraukan. Kalaupun kebetulan menang, orangnya tidak pernah nongol-nongol lagi,".

 

Zakir juga mendapat pertanyaan mengenai keterlibatan anaknya, pengacara Hendra Roza Putra dalam kasus kepailitan PT Aster Dharma Industri, dimana Zakir menjadi majelis hakim kasus itu ketika Peninjauan Kembali. Saat itu, ada pengaduan ke TGPTPK yang menyatakan bahwa Hendra menerima uang sebesar AS$ 150 ribu dari pengacara PT Aster untuk memenangkan PT Aster di tingkat PK.

 

Soal kasus itu, Zakir menyatakan bahwa uang tersebut diperoleh oleh Hendra karena jasa hukum yang ia berikan pada PT Aster, jumlahnya pun tidak sebesar yang disebut diatas. Sementara, ketika ia mengadili kasus tersebut di tingkat PK, Zakir tidak mengetahui bahwa anaknya termasuk tim kuasa hukum, karena namanya tidak tercantum dalam berkas. "Karena saat itu saya tidak tahu, maka tidak ada conflict of interest disitu,"ujarnya.

 

Obat penenang

 

Berbekal laporan masyarakat dan hasil investigasi Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), brbagai pertanyaan klarifikasi diajukan oleh Panitia Seleksi kepada para calon seputar integritas dan track record calon selama ini. Selain itu, berbagai pertanyaan seputar teknis yudisial juga ditanyakan.

 

Ternyata, banyak calon hakim ad hoc tingkat kasasi itu yang tidak menguasai hukum acara. Suradji, misalnya, anggota Polri ini menyatakan bahwa pembuktian terbalik untuk perkara korupsi bisa berlaku di tingkat penyidikan dan penyelidikan, bukan hanya di persidangan.

 

Yang menarik, adalah pengakuan Utoyo. Mantan intelijen ABRI ini, mengaku sering mendapat tugas yang bertentangan dengan hati nuraninya. Salah satunya adalah  ketika ia diminta menggagalkan kongres salah satu partai politik di masa Orba. Tidak sreg dengan perintah itu, ia melakukan upaya yang paling ringan. Upaya yang paling ringan itu adalah memasukkan obat tidur atau obat penenang kedalam minuman peserta kongres. 

Salah seorang anggota panitia seleksi, Gunanto Suryono menyatakan bahwa sejauh ini, kualitas para calon hakim yang diseleksi mengecewakan. "Menurut saya sih, kalau boleh dibilang yah mengecewakan lah,"ujar Gunanto di sela-sela fit and proper test hakim pengadilan korupsi di MA, Minggu (20/06).

 

Gunanto menekankan, instruksi dari Ketua MA, Bagir Manan kepada Panitia Seleksi (pansel), yang meminta agar pansel  hanya mengambil calon yang memang layak. "Tidak ada pengatrolan, tidak ada jatah misalnya harus sekian," ujar Sekjen MA yang baru terpilih sebagai hakim agung ini. "Kalau cuma tiga ya tiga, dua ya dua, nggak ada ya nggak ada," tegasnya.

 

Mengingat yang dibutuhkan adalah  enam orang hakim ad hoc untuk tingkat pengadilan negeri, tiga untuk pengadilan banding dan enam untuk pengadilan kasasi, maka kemungkinan besar hasil seleksi tidak akan mencukupi jumlah tersebut.

 

Untuk itu, menurut Gunanto, perlu dilakukan seleksi ulang. Namun, menurutnya proses seleksi ulang harus menunggu turunnya dana, karena proses seleksi membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Halaman Selanjutnya:
Tags: