Masalah Hukum yang Tersisa dalam Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Fokus

Masalah Hukum yang Tersisa dalam Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Sebelum batas waktu maksimal yang ditentukan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi berhasil merampungkan ratusan sengketa pemilu. Suatu keberhasilan institusi pengadilan yang patut diacungi jempol. Tetapi, masih ada sejumlah masalah yang mencuat ke permukaan. Apa saja?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Masalah Hukum yang Tersisa dalam Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah gambaran pengadilan masa depan yang transparan dan capable, puji Didi Irawadi Syamsudin, seorang advokat yang kebetulan menjadi kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU), khusus menangani sengketa pemilu. Ia dimintai tanggapan mengenai proses beracara dalam menyelesaikan sengketa pemilu di Mahkamah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 itu.

 

Pujian Didi bukan tanpa alasan. Dibanding lembaga peradilan lainnya -–PN, PTUN, pengadilan militer—Mahkamah Konstitusi jauh lebih transparan. Selain mendengar ucapan hakim, setiap pengunjung sidang bisa melihat kata demi kata putusan atas suatu perkara yang dipampang di layar monitor.

 

Bukan itu saja. Khusus sengketa pemilu, para pihak bisa mendapatkan amar putusan hanya beberapa menit setelah dibacakan hakim. Untuk melayani urusan media, MK menyewa sebuah perusahaan public relation ternama. Sehingga para kuli disket tak kesulitan mengakses data terkait dengan perkara yang diputus majelis.

 

Cerita menarik -–yang tak bakal didapat di lembaga peradilan lainnya-–datang dari seorang advokat yang enggan disebut namanya. Advokat yang menjadi kuasa hukum satu partai politik itu mengaku menyerahkan duit satu juta rupiah kepada seorang panitera pendaftaran permohonan penyelesaian sengketa pemilu. Tak ada maksud lain si advokat. Ia berbuat demikian hanya karena memang sudah kelaziman di pengadilan. Di pengadilan lain, sudah menjadi rahasia umum, kalau urusan perkara mau cepat beres, ya harus memberi pelicin.

 

Tapi apa kata panitera MK tadi? Alih-alih menerima duit tersebut, ia malah menunjukkan dan menjelaskan apa saja kesalahan yang terdapat pada berkas permohonan si advokat. Panitera tadi juga menegaskan bahwa berperkara di MK adalah gratis.

 

Batas waktu dan pembuktian

Jangan pernah membayangkan waktu bersidang di MK sama dengan di Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang lokasinya paling dekat dengan MK, misalnya, Anda tak perlu buru-buru datang meski surat panggilan tertera pukul 09.00 pagi. Di sini, persidangan baru ‘hidup' menjelang siang. Kecuali untuk beberapa kasus yang mendapat perhatian publik.

 

Tetapi di MK, jangan pernah telat 15 menit dari jadwal sidang. Telat 30 menit, Anda dipastikan gagal mengikuti persidangan. Dalam perkara sengketa pemilu, kejadian semacam ini sering menimpa orang parpol maupun kuasa hukum KPU.

 

Soal ketepatan waktu juga terbukti dari penyelesaian seluruh perkara sengketa pemilu. Panitera MK mencatat ada 258 permohonan sengketa pemilu yang diajukan. Sebanyak 237 di antaranya diajukan oleh parpol peserta pemilu, sisanya 21 perkara diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

 

Undang-Undang hanya memberi batas waktu 30 hari kepada MK untuk menyelesaikan ratusan permohonan itu. Hasilnya, sungguh luar biasa. Hanya dengan sembilan orang hakim konstitusi, MK berhasil menyelesaian dan memutus seluruh perkara sebelum batas waktu 30 hari terlewati. Kasus terakhir yang diputus Jum'at (18/06) pekan lalu adalah permohonan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

 

Dengan 24 berkas perkara, PKS menjadi parpol yang paling banyak mengajukan permohonan. Namun hanya dalam waktu beberapa jam, putusan setebal 357 halaman itu bisa juga dirampungkan. Kok bisa? Proses persidangan, termasuk meminta keterangan saksi-saksi dan pembuktian, memang tidak ribet, tapi cenderung terlalu mempermudah.

 

Tidak aneh kalau ada sedikit kritik. Seorang calon anggota DPD menilai waktu 30 hari yang disediakan Undang-Undang terlalu mepet. Majelis terkesan dipaksa memutus perkara secepat-cepatnya. MK lebih mendahulukan formalitas daripada kebenaran materiil, ujar anggota DPD yang kemudian dikalahkan itu.

 

Sentilan soal waktu juga datang dari Muhammad Razikun. Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKS itu menilai waktu antara pengumuman KPU dan batas pendaftaran terakhir di MK terlalu singkat, hanya 3 x 24 jam. Padahal, DPP partai tertentu masih harus koordinasi dengan DPW atau DPC dimana kecurangan terjadi. Belum lagi kesulitan mengumpulkan bukti-bukti.

 

PPDK menjadi salah satu partai yang menjadi korban waktu singkat masa pendaftaran itu. Permohonannya tidak dapat diterima hanya karena telat sekitar lima menit dari batas waktu terakhir pendaftaran. Waktu pendaftaran itu idealnya seminggu setelah pengumuman KPU, kata Razikun, memberi usul.

 

Status pemilik kursi: kasus Partai Demokrat

Putusan MK telah mengubah peta perolehan kursi di DPR dan DPRD. Sejumlah partai harus rela kehilangan wakilnya, sementara partai lain bersuka ria mendapatkan tambahan kursi baru. Salah satu yang agak bernasib apes adalah Partai Demokrat. Masalahnya, bagaimana kalau putusan MK menyebabkan kuota jumlah kursi DPRD berlebih?

 

Dalam putusannya Jum'at (18/06) pekan lalu, MK memutuskan bahwa Partai Demokrat berhasil mendapatkan satu kursi tambahan di DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Namun kalau mau jujur, tambahan satu kursi itu tidak terlalu menguntungkan bagi Demokrat. Sebab, dalam persidangan sebelumnya Demokrat sudah kehilangan setidaknya dua kursi DPR. Satu kursi direbut Partai Pelopor di daerah pemilihan Papua, dan satu lagi direbut PAN di Sulawesi Tengah.

 

Akibat kehilangan dua kursi DPR tersebut, sejumlah massa Partai Demokrat sempat mendatangi gedung MK di Medan Merdeka Barat. Setelah mendapatkan kursi DPRD Propinsi Sulawesi Utara pun, masih ada protes dari kubu Demokrat. Kali ini diajukan dalam bentuk tertulis.

 

Adalah Olden Th. Waloni, caleg nomor urut dua PDIP Sulut, yang menyampaikan protes. Dalam surat tertanggal 18 Juni 2004 yang ditujukan kepada Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Olden mempertanyakan keputusan MK yang menambah satu kursi buat Demokrat di DPRD Sulut karena memperoleh 9.547 suara. Dengan jumlah suara itu sebenarnya Demokrat belum tentu dapat kursi. Sebab, berdasarkan data KPU Sulut yang dilampirkan Olden dalam suratnya, perolehan suara PDIP masih lebih tinggi yakni 9.569 suara. Kalau begitu, mestinya yang dapat kursi justru PDIP, bukan Partai Demokrat seperti dilansir siaran pers MK.

 

Olden menyayangkan kenapa langsung ada pernyataan pers tentang perolehan kursi Partai Demokrat di DPRD Sulut padahal perolehan suara PD lewat putusan tersebut justru lebih kecil 22 suara dibanding PDIP, tanpa diuraikan atau dijelaskan pembanding suara PDIP dan acuannya. Kami merasa akan menjadi korban dari hasil peradilan konstitusi yang disebut-sebut terhormat ini, papar Olden.

 

Olden memang masih cemas akibat ketidakjelasan siapa pemilik kursi tambahan di DPRD Sulut itu. Jika memang Demokrat, maka Olden akan melenggang menjadi wakil rakyat.

 

Final and binding: kasus Dahlan Rais

Kursi Dewan di depan mata pun bisa hilang di tangan MK. Bukan hanya PNBK yang mengalaminya karena harus kehilangan satu-satunya kursi di DPR dari Kalimantan Barat akibat direbut Partai Bintang Reformasi. Tetapi juga calon anggota DPD Jawa Tengah, Dahlan Rais.

 

Dosen UNS Solo itu semula menempati posisi keempat calon anggota DPD mewakili Jawa Tengah. Namun di tangan MK, posisinya tergeser oleh peringkat lima KH Achmad Chalwani. Ini disebabkan karena menurut MK ada kesalahan perhitungan perolehan suara sang kiyai. Sifat putusan MK yang bersifat final dan mengikat membuat Dahlan gagal melenggang ke Senayan.

 

Toh, Dahlan tetap tidak terima. Lewat pengacaranya, adik Amien Rais itu mengajukan permohonan fatwa sekaligus melapor ke polisi.  Ia menilai perhitungan yang dilakukan MK salah, saat memutus permohonan yang diajukan Kiyai Chalwani. Ia juga mempersoalkan kenapa MK tidak meminta keterangan atau memberi kesempatan padanya mengajukan bukti untuk membantah dalil Kiyai Chalwani.

 

Bagaimana kalau MK melakukan kesalahan fatal dalam perhitungan? Apakah masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh seseorang yang merasa hak-haknya dikebiri lewat putusan MK? Itulah yang menjadi keluhan Dahlan dalam surat permohonan fatwanya. Hingga kini belum jelas bagaimana MK menanggapi permohonan fatwa itu. Yang pasti, penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 24/2003 tentang MK sudah menyebut tegas, bahwa tak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan. 

 

Kursi legislatif vs dasar hukum: kasus Irjabar

Sekilas, putusan MK soal kursi Dewan di Irian Jaya Barat (Irjabar) juga bisa menimbulkan persoalan hukum. Ini terjadi tidak lain karena status Propinsi Irjabar sendiri yang belum kelar. Ketua DPRD John Ibo sudah mengajukan judicial review ke MK atas Undang-Undang Pemekaran Papua. Perkara ini masih ditangani MK dan belum putus. Sidang terakhir adalah meminta keterangan dari Gubernur Irjabar Abraham Atuturi. Artinya, keabsahan propinsi Irjabar sendiri masih belum kelar.

 

Bicara soal Gubernur Irjabar, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pun sudah mengeluarkan putusan penting 14 Juni lalu. Majelis hakim pimpinan Supandi –-bersama dua hakim lain Is Sudaryono dan Edi Suprianto--membatalkan Keppres No. 213/M/2003 tentang pengangkatan Abraham Atuturi sebagai Gubernur Irjabar (putusan perkara No. 17/G.TUN/2004).

 

Di satu sisi, PTUN sudah membatalkan keabsahan Atuturi sebagai Gubernur Irjabar. Namun di sisi lain, MK mengakui eksistensi lembaga legislatif dari propinsi pecahan Papua itu. Lantas, apakah itu tidak akan mempengaruhi pandangan MK atas perkara judicial review yang diajukan John Ibo? Jika logika demikian diikuti, mau tidak mau MK memang akan mendukung pemekaran Papua karena sudah mengakui wakil legislatif dari propinsi ini.

 

Namun pengacara John Ibo, Iskandar Sonhaji, berpendapat lain. Menurutnya, putusan MK soal eksistensi kursi DPR dari Irjabar tidak akan berpengaruh pada keabsahan dasar hukum pembentukan propinsi itu. Putusan MK adalah soal daerah pemilihan, sementara perkara yang diajukan John Ibo adalah soal dasar hukum Propinsi Irjabar. Substansi keduanya berbeda. Putusan MK bukan menegaskan keabsahan dasar hukum pembentukan Irjabar, kata Iskandar kepada hukumonline.
 
Sebagai lembaga negara yang baru berjalan setahun terakhir adalah wajar jika proses beracara di MK masih sering menimbulkan problem hukum. Masih banyak pihak yang tidak memahami betul bagaimana sistem beracara di sini. Buktinya, saat menangani sengketa pemilu, parpol dan calon anggota DPD sering tidak mampu menunjukkan bukti-bukti permohonannya. Bahkan dalam sidang lazim terlihat kebingungan dari para pemohon atau kuasanya.
Tags: