Pencabutan SBKRI Sudah Pernah Disampaikan pada Aparat Se-Indonesia
Berita

Pencabutan SBKRI Sudah Pernah Disampaikan pada Aparat Se-Indonesia

Masih adanya aparat pelaksana yang memberlakukan SBKRI sebagai salah satu persyaratan untuk urusan tertentu dianggap sebagai ekses dari kurangnya pemahaman terhadap Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996. Lalu, apa kata RUU Kewarganegaraan?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pencabutan SBKRI Sudah Pernah Disampaikan pada Aparat Se-Indonesia
Hukumonline

Keppres tentang hal ini, menurut pertimbangannya, dikeluarkan dalam rangka lebih mempercepat terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa serta persamaan hak dan kewajiban warga negara. Keppres ini dikeluarkan untuk menggantikan Keppres no. 2 Tahun 1980 yang dinilai diskriminatif.

Pasal 4 ayat (2) Keppres No. 56 tegas menyebutkan bahwa bagi WNI yang telah memiliki KTP, kartu keluarga, atau akte kelahiran, maka pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tersebut cukup dengan menggunakan dokumen-dokumen tadi. Pasal 5 malah makin menegaskan bahwa segala peraturan mengenai SBKRI tidak berlaku lagi setelah keluarnya Keppres No. 56/1996.

Untuk menindaklanjuti Keppres tersebut, Mendagri sudah mengeluarkan Instruksi No. 25/1996. Dalam Instruksi tersebut, Mendagri memerintahkan kepada aparat daerah untuk menghapuskan semua produk hukum daerah yang mewajibkan isteri dan anak-anak melampirkan SBKRI untuk kepentingan tertentu.

Sebagai penyeimbang kebijakan ini, Mendagri meminta agar perubahan akte kelahiran, KTP dan kartu keluarga dilakukan secara teliti dan cermat untuk menjamin terlaksananya administrasi kependudukan yang akurat. Aparat Pemda diminta untuk membuat laporan reguler tiap enam bulan.

RUU Kewarganegaraan

SBKRI adalah adalah semacam formulir yang dikeluarkan sejak 1961, diberikan kepada WNA keturunan Tionghoa golongan petani, yakni golongan Tionghoa yang secara turun temurun telah tinggal dan menetap di Indonesia.

Fungsi dokumen SBKRI antara lain dalam hal pembuatan paspor, atau apabila seseorang ingin memisahkan diri dari status kewarganegaraan kedua orang tuanya karena telah menginjak usia dewasa. Jadi, SBKRI merupakan syarat bagi seseorang yang ingin melakukan naturalisasi ke-WNI-annya.

Berkenaan dengan status kewarganegaraan, Badan Legislasi DPR sudah mengajukan sebuah draf RUU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Didukung tanda tangan 40 anggota DPR, Badan Legislasi sudah mengirimkan draf RUU tersebut kepada Ketua DPR pada 9 Juni lalu. RUU ini dipersiapkan untuk menggantikan UU No. 62 Tahun 1958.

Dalam RUU ini terkandung asas non-diskriminatif. Artinya, kewarganegaraan Indonesia tidak lagi membedakan perlakuan antar warga negara yang berdasarkan perbedaan suku, agama, ras, agama, golongan dan gender. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan syarat-syarat dalam mengurus dokumen kewarganegaraan bagi seluruh WNI, apakah dia pribumi atau etnis Tionghoa.

Toh, itu baru draf RUU. Sudah ada Keppres, Instruksi Mendagri dan Surat Setwapres pun, SBKRI sebagai simbol diskriminasi, masih terjadi di lapangan. Jadi, kuncinya memang ada di tangan aparat pelaksana. Bagaimana Pak Gubernur, Bupati dan Walikota?

Pemerintah ‘menyangkal' anggapan belum memiliki kebijakan terhadap Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Sangkalan itu tertuang dalam sebuah salinan dokumen yang belum lama diperoleh hukumonline. Dokumen tersebut dikeluarkan Departemen Dalam Negeri dan ditandatangani Sekjen Depdagri DR S. Nurbaya.

Dokumen tertanggal 18 Juni 2002 ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota seluruh Indonesia. Ini berarti dikeluarkan jauh sebelum adanya surat bernada serupa yang dikeluarkan Sekretariat Wakil Presiden. Dalam surat 15 Maret lalu, Wakil Presiden Hamzah Haz meminta agar aparat yang masih memberlakukan SBKRI segera ditindak.

Rupanya, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pun sudah pernah mengeluarkan kebijakan serupa lewat surat bernomor 471.2/1265/SJ. Dalam surat itulah Depdagri menyangkal masih adanya kebijakan yang memberlakukan SBKRI.

Kalau di lapangan ada aparat yang masih memberlakukan SBKRI, terutama kepada etnis Tionghoa, itu merupakan ekses dari kekurangpahaman terhadap Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996. Lewat surat itu terungkap pula bahwa masalah tidak berlakunya SBKRI sudah disampaikan kepada seluruh aparat gubernur, bupati dan walikota seluruh Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: