Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Wahyu Effendi(*)

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim ketika suatu pemerintahan yang berdasar hukum (rechtsstaat) dan demokrasi, melakukan politik diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri. Apalagi jika dilakukan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 2 Menit
Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Hukumonline

Belum lagi, penerapan UU No.1/1974, yang berimplikasi pada pembatasan dan pengakuan perkawinan hanya bagi warga pemeluk lima agama resmi negara. Hal tersebut semakin memperkeruh status kewarganegaraan dan hak-hak sipil warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik dalam bidang catatan sipil, dan lain-lain.

Alhasil, warga etnis Tionghoa lebih sering diperlakukan sebagai seorang etnis Tionghoa daripada statusnya sebagai WNI. Seorang WNI yang beragama Islam, lebih sering diperlakukan keislamannya daripada status ke-WNI-annya, sehingga status perdatanya berbeda dengan WNI. Namun, yang lebih mengherankan adalah seorang warga negara Indonesia etnis Tionghoa, apapun agamanya, dia akan tetap diperlakukan sebagai etnis Tionghoa.

Dengan kebijakan seperti itu, akan timbul banyak persoalan yang mengarah pada diskriminasi, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk WNI etnis Tionghoa atau pembatasan pelayanan pencatatan sipil untuk WNI yang beragama/kepercayaan di luar lima agama resmi negara. Banyaknya permasalahan diskriminasi itu berakar pada kebijakan segregatif dari peraturan catatan sipil warisan kolonialisme, dan diperparah oleh beberapa peraturan yang muncul belakangan.

Peraturan-peraturan diskriminatif yang ada, termasuk mengenai catatan sipil, pada hakikatnya bersifat administratif Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, praktek segregatif dan diskriminatif tersebut mengakibatkan praktek pembatasan dan diskriminasi hak-hak sipil terhadap sebagian WNI.

Misalnya, seorang WNI Tionghoa diperlakukan diskriminatif, status perdatanya disamakan dengan seorang WNA RRC, yang hingga saat ini status kewarganegaraan mereka selalu dipertanyakan dalam bentuk kepemilikan SBKRI. Sekalipun WNI Tionghoa tersebut sudah bergenerasi-generasi menjadiWNI. Keraguan status warga negara tersebut mengakibatkan ketidakmenentuan hak-hak sipil dan politik mereka sebagai warga negara seperti mendapat pembatasan untuk masuk institusi pendidikan negara, pembatasan menjadi pegawai pemerintahan, mengalami perlakuan yang berbeda dalam pelayanan publik dan lain-lain.

Permasalahan serupa dialami pula oleh WNI yang menganut agama/kepercayaannya, selain lima agama resmi negara. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini tidak mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik pencatatan sipil peristiwa penting dalam kehidupannya seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian, pengangkatan, pengesahan dan adopsi anak, perubahan nama, perubahan jenis kelamin, serta perubahan kewarganegaraan.

Pada akhirnya, diskriminasi yang diterima oleh warga yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui negara itu sangat mempengaruhi kehidupan keturunan mereka. Anak yang terlahir dari keluarga itu sering dianggap anak haram. Bahkan, dalam kehidupan sipil mereka mendapat perlakuan diskriminatif antara lain dalam hal kesempatan untuk menjadi pegawai di lembaga pemerintahan, pendidikan, dan lain-lain. Begitupun halnya mereka yang menikah berbeda agama/kepercayaan. Munculnya UU No.1/1974 tentang Perkawinan  yang menekankan pernikahan berdasarkan agama/kepercayaan yang seragam, melahirkan sikap kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama untuk menolak pernikahan berbeda agama.

Dalam kondisi terkini, ternyata pengelolaan sistem dan manajemen catatan sipil yang berbasis aturan staatsblad  tersebut, mengakibatkan permasalahan diskriminasi terhadap kelompok warga negara yang lebih luas, terlepas dari apapun etnis dan agamanya. Sudah banyak diketahui betapa banyaknya WNI yang tidak tercatat dalam pendaftaran pemilih Pemilihan Umum 2004. Perspektif catatan sipil yang selalu ditempatkan dalam kerangka pendaftaran penduduk, akhirnya membiaskan status perdata penduduk warga negara dan penduduk non-warga negara Sehingga tidak diketahui siapa saja penduduk secara pasti yang mempunyai hak untuk menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum 2004.

Catatan Sipil dan Diskriminasi Etnis

Permasalahan diskriminasi etnis yang paling menonjol di Indonesia saat ini adalah permasalahan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Misalnya dengan kewajiban SBKRI sebagaimana disampaikan diatas.Walaupun ada beberapa kasus diskriminasi di Yogyakarta terhadap WNI etnis India untuk memiliki SKKI (semacam SBKRI), namun secara umum WNI etnis India, Arab, dan warga negara keturunan lainnya hampir tidak mengalami permasalahan pelembagaan diskriminasi sebagaimana WNI etnis Tionghoa. Bahkan, dalam praktek pelayanan catatan sipil, WNI etnis Arab dan India dikategorikan sebagai Indonesia bumiputera non-Kristen (S.1920).

Permasalahan diskriminasi etnik seperti disinggung dalam awal tulisan banyak hal bersumber pada IS, yang mana WNI etnis Tionghoa atau mereka yang beretnis Cina, apapun warga negaranya, dikategorikan dalam satu kelompok perdata yang sama, yaitu golongan Tionghoa (S.1917). Sehingga, seorang WNI etnis Tionghoa yang mencatatkan diri ke KCS akan diperlakukan sama sebagai golongan Tionghoa, (S.1917) sama status perdatanya dengan seorang Tionghoa warga negara Malaysia.

Dalam praktek, seorang anak WNI etnis Tionghoa yang akan mendaftar ke sekolah akan mendapatkan pembatasan masuk untuk WNA (40 persen untuk sekolah-sekolah) seperti semangat dalam Instruksi Presidium Kabinet No.37/U/IN/6/1967 tentang Kebijakan Pokok penjelasan Masalah Cina maupun dalam Surat Presiden RI ke Menteri P dan K (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) dan Menteri Dalam Negeri No. B-12/Pres/I/1968 tanggal 17 Januari 1968, dan Instruksi Menteri P dan K No. 18/U/1974 tanggal 23 November 1974 serta Keputusan Menteri P dan K No. 0170/U/1975 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di bidang Pendidikan.

Permasalahan diskriminasi etnis WNI Tionghoa di Indonesia adalah permasalahan yang selalu menjadi berita belakangan ini, terutama dengan masih diterapkannya SBKRI. Walau terlihat seperti suatu permasalahan administratif semata, namun SBKRI menimbulkan permasalahan kewarganegaraan yang sangat mendasar bagi WNI etnis Tionghoa. SBKRI yang bertubi-tubi dipersyaratkan dalam setiap pelayanan publik seperti dalam permohonan paspor di kantor imigrasi, masuk sekolah, pengajuan kredit, pengurusan akte tanah, pengurusan KTP.

Kendati sudah dianggap bagian dari Negara Republik Indonesia dengan penegasan ius solli (tempat kelahiran) dalam UU Kewarganegaraan yang pertama No. 3 Tahun 1946, keadaan malah menjadi semakin kompleks dengan adanya perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Perjanjian tersebut mengembalikan status kewarganegaraan dalam pembagian warga negara berdasarkan penggolongan etnis. Ada juga kewajiban pernyataan diri bagi WNI Tionghoa, yaitu pernyataan menolak bila tidak ingin menjadi WNI, dan cukup berdiam diri bila tetap menjadi WNI.

Setelah masalah tersebut selesai, muncul lagi permasalahan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955 dengan UU No. 2 Tahun 1958 dikarenakan adanya klaim politik Chou En-Lai bahwa semua etnis Tionghoa  yang berada di manapun akan tetap menjadi warga negara RRT dikarenakan asas ius sanguinis (keturunan). Untuk itu, semua WNI etnis Tionghoa diwajibkan untuk menyatakan diri tetap menjadi WNI atau WN RRT dengan masa opsi 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Seharusnya, setelah perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dibatalkan tanggal 10 April 1969 dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa  yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain (Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraannya dengan SBKRI.

Dokumen SBKRI untuk WNI Tionghoa, yang dilembagakan dengan Peraturan Kehakiman No. JB.3/4/12, 14 Maret 1978 pun sebenarnya secara yuridis sudah dianulir oleh Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 yang menyatakan: untuk kepentingan tertentu yang memerlukan kewarganegaraan RI, istri dan atau anak (yang sudah menjadi WNI karena perkawinan) cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibunya beserta berita acara pengambilan sumpah atau KTP atau Kartu Keluarga atau Akta Kelahiran. Selanjutnya, Keppres tersebut ditegaskan kembali implementasinya dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999.

Namun, pada kenyataannya resolusi hukum yang sudah ada tentang tidak berlakunya SBKRI bagi WNI Tionghoa tersebut, tidak diimplementasikan oleh berbagai pejabat instansi di pusat maupun daerah.

Diskriminasi agama

Seperti juga disinggung dalam tulisan di awal, bahwa praktek penggolongan status penduduk Indonesia yang didasarkan juga pada agama selain etnis, menimbulkan praktek-praktek segregasi dan diskriminasi warga negara  berdasarkan agama di Indonesia.

Dikarenakan Belanda waktu itu yang warga negaranya mayoritas beragama Kristen, maka penggolongan agama utamapun didasarkan kepada golongan Kristen yaitu golongan bumiputera Kristen (S.1933), sedangkan yang bukan Kristen seperti Islam, Budha, Hindu, dan lainnya, dikelompokkan dalam golongan bumiputra Non-Kristen (S.1920). 

Lahir dari pencatatan peristiwa penting manusia di gereja di daratan Eropa, ditambah dengan penggolongan bumiputera (Kristen maupun Non-Kristen) yang hanya terbatas pada golongan ningrat dan yang mampu secara ekonomi, serta mereka yang di Jawa dan Bali, catatan sipil menjadi sangat tidak populer di kalangan masyarakat kecil (rakyat biasa dan miskin). Sehingga dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, banyak di antara mereka yang kemudian digolongkan sebagai non-staatsblad.

Ini awal dimulainya segregasi hukum dan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan identitas agama/kepercayaan. Pemerintah berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan mengeluarkan UU No.1/1974. Undang-undang tersebut menghapuskan beberapa aturan staatsblad tentang perkawinan. Misalnya, Reglemen tentang perkawinan campuran (S.1846) dan Reglemen Perkawinan Kristen (S.1933). Namun kemudian, produk hukum ini menimbulkan permasalahan baru dengan pembatasan pencatatan perkawinan hanya kepada lima agama resmi Negara.

Pengertian agama dan kepercayaannya yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan hanya kepada lima agama resmi negara lebih didasarkan pada penafsiran Departemen Agama berdasarkan lima direktorat jenderal dalam Departemen Agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.

Beberapa kasus pernikahan Konghucu yang bahkan sudah mendapat pengesahan dari Mahkamah Agung, selalu saja mendapat penolakan dari kantor Catatan Sipil dengan anggapan bahwa pengesahan MA tersebut hanya berlaku bagi pasangan perkawinan Konghucu dalam pengesahan MA saja, dan tidak berlaku untuk pasangan Konghucu yang lain. Begitupun halnya dengan pasangan perkawinan adat Karuhun Sunda Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, yang sampai saat ini tidak mendapatkan pencatatan dari kantor Catatan Sipil. .

Begitupun halnya dengan pernikahan mereka yang berbeda agama, walaupun tidak serta-merta menutup peluang pernikahan antar pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan, namun UU Perkawinan menjadi petunjuk bagi petugas KCS atau KUA untuk menolak pencatatan perkawinan tersebut. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah kalau dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Akibat sulitnya mencatatkan perkawinan beda agama di Indonesia, banyak sekali pasangan beda agama yang terpaksa harus mencatatkan perkawinan mereka di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke KCS di Indonesia. Yang menyedihkan ialah mereka yang tidak mampu untuk menikah di luar negeri, terpaksa harus melangsungkan pernikahan tanpa akta perkawinan, yang oleh RUU KUHP yang sedang dirancang oleh Departemen Kehakiman disebut kumpul kebo.

Disinyalir oleh Departemen Dalam Negeri ada sekitar 5.000 pasangan Indonesia berbeda agama setiap tahun di Singapura. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia di dalam negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum, justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain.

Salah satu rekomendasi yang harus dilakukan untuk penghapusan diskriminasi warga negara dan penciptaan kesetaraan WNI adalah dengan memperbaharui peraturan perundangan bidang catatan sipil. Walaupun tidak serta merta dapat menghapuskan diskriminsi warga negara di Indonesia, namun pembaharuan hukum catatan sipil membuka jalan bagi pembaharuan peraturan perundangan lainnya seperti pembaharuan UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, KUH Perdata, UU Imigrasi, dan lain-lain.

Sebagai muara dari semua peraturan keperdataan di Indonesia, pembaharuan hukum catatan sipil menjadi sangat penting, terlebih karena penggolongan etnis dan agama dalam staatsblad, berada dalam lingkup catatan sipil. Pembenahan catatan sipil Indonesia akan ikut menata keteraturan pemerintahan dalam administrasi kependudukan saat ini dan tata pemerintahan yang baik. Keamburadulan pengelolaan administrasi kependudukan seperti ketidaktepatan jumlah penduduk, KTP ganda, KTP palsu dan sebagainya, membutuhkan pondasi pengelolaan sistem catatan sipil yang terencana, terarah, continue dan tidak diskriminatif.

Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda. Pemerintahan kolonialis menerapkan kebijakan penggolongan penduduk Indonesia atas 4 (empat) golongan ras/etnis ataupun agama sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling (IS), yaitu : Eropa (Staatsblad (S). 1849), Tionghoa (S.1917), Indonesia asli Kristen (S.1933) dan Indonesia asli non-Kristen (S.1920) yang masing-masing dibedakan perlakuan status perdatanya.

 

Ironisnya, setelah kurang lebih satu abad berlalu, kebijakan model kolonialisme tersebut justru masih diterapkan oleh pemerintahan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan, dengan dimensi yang lebih beragam dan terinstitusionalisasi. Memang, pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia pernah mencoba untuk memperbaharui pola kebijakan penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, dan ditidaklanjuti dengan Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Kehakiman No: Pemudes 51/1/3 dan No. J.A/2/25 tanggal 28 Januari 1967 tentang Pelaksanaan Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi Presidium Kabinet N0: 31/U/IN/12/1966.

 

Namun, kebijakan tersebut tidak  menghilangkan penggolongan seperti yang diatur dalam Pasal 131 dan 163 IS.

Dalam perkembangannya, kebijakan warisan kolonialisme yang masih diterapkan mengakibatkan implikasi diskriminasi yang semakinmelembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan eskalasi sentimen dan rekayasa politik, yang ujung-ujungnya menimbulkan kesemerawutan dan inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara menjadi semakin kompleks.

Munculnya beberapa produk perundang-undangan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru seperti UU No.62/1958 tentang Kewarganegaraanyang mengatur pembuktian kewarganegaraan RI melalui sebuah dokumen formal (terutama bagi WNI etnis Tionghoa), UU No. 5/Pnps/1965 tentang Penodaaan Agama, yang menempatkan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam status pengawasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: