KUHP Tidak Mengenal Delik Pers
Berita

KUHP Tidak Mengenal Delik Pers

Sebagian besar pelanggaran yang selama ini dianggap sebagai delik pers, sebenarnya merupakan delik umum yang kebetulan dilakukan oleh pers.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
KUHP Tidak Mengenal Delik Pers
Hukumonline

 

"Dalam ilmu hukum, delik pers itu tidak ada. Yang ada adalah delik umum yang dilakukan oleh pers. Jadi yang spesial dalam delik pers adalah mediumnya atau alatnya bukan perbuatannya. Perbuatannya bisa dilakukan oleh orang di luar pers," tegas Nono.

 

Sayangnya, UU Pers tidak bisa secara sederhana dijadikan sebagai hukum yang khusus (lex specialis) untuk menangani perkara-perkara yang melibatkan media pers. Pasalnya, Nono melihat bahwa pasal-pasal tertentu dalam UU Pers masih merujuk pada undang-undang lain, lebih khusus lagi KUHP maupun KUH Perdata.

 

"Kalau lex specialis itu musti tidak boleh mereferensi ke peraturan-peraturan lain di luar Undang-undang. Buktinya UU Pers mengatakan hukum pidana kita, hukum perdata kita masih tetap berlaku. Itu di dalam Undang-undang yang mau kita bela sebagai lex specialis. Bingung kita untuk membelanya, Undang-undangnya sendiri mengatakan begitu," urai pendiri kantor hukum Makarim & Taira ini.

 

Alat pengancam

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Dr. Marsilam Simanjuntak. Mantan jaksa agung ini tetap berpendapat bahwa UU Pers merupakan lex specialis yang mengenyampingkan KUHP maupun KUH Perdata. Ia menilai, maraknya tuntutan perdata maupun pidana terhadap pers belakangan ini karena aparat penegak hukum, terutama pengadilan, membiarkan dirinya menjadi alat pengancam yang menerbitkan ketakutan kepada pers.

 

"Caranya pengadilan yang memutuskan dengan pertimbangan-pertimbangan yang melupakan bahwa seyogianya tidak boleh pengadilan mempertimbangkan sesuatu yang akibatnya pada jangka menengah atau jangka panjang merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers," papar Marsilam.

 

Atas dasar itu, Marsilam mengimbau kepada aparat penegak hukum bila ada dispute antara obyek berita dan yang memberitakan, sebaiknya diarahkan ke perkara perdata ketimbang penggunaan pasal-pasal KUHP. "Kita harus hati-hati atau hemat dalam menggunakan atau menerima laporan pengaduan mengenai pencemaran nama baik," katanya.

 

Marsilam mengatakan, pasal pencemaran nama baik begitu luas penggunaannya, bahkan bisa digunakan sebelum sampai pada proses pemeriksaan di depan pengadilan. Di dalam proses penyidikan saja, katanya, ancaman atau ketakutan itu sudah bisa ditimbulkan mulai dari  Pasal 310 hingga Pasal 319 KUHP.

 

Marsilam melihat bahwa akar masalahnya terletak pada ketidaksempurnaan sistem peradilan saat ini, sehingga pengadilan sering dipakai sebagai alat untuk menerbitkan ketakutan di pihak lain atau mengancam pihak lain termasuk media pers.

 

"Sampai ke mana mereka harus memutuskan, mengintepretasi undang-undang sedemikian rupa sehingga memutuskan sesuatu mempunyai dampak yang tetap positif kepada kemedekaan pers atau tidak membiarkan dirinya menjadi alat pengancam yang menerbitkan ketakutan kepada pers sehingga kemerdekaan pers menjadi dilukai atau dikerangkeng," demikian Marsilam.

Jumlah perkara pencemaran nama baik meningkat tajam. Di Jakarta saja, dalam dua tahun terakhir, sudah ada 11 perkara soal pencemaran nama baik yang dialamatkan pada media pers. Dalam putusan-putusannya, pengadilan mengenyampingkan UU Pers dan mengadili berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana. Pengadilan menganggap Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang Pers sekadar mengatur hak jawab, dan tidak mencakup semua delik pers

 

Demikian disampaikan Ketua Dewan Pelaksana Yayasan Aksara Dr. Nono A. Makarim saat jumpa pers menjelang digelarnya "Konferensi Internasional tentang Pencemaran nama Baik dan Kebebasan Pers, 28-29 Juli 2004" di Jakarta, pada Kamis (22/7). Nono menjelaskan bahwa sebenarnya hukum Indonesia tidak mengenal adanya delik pers.

Halaman Selanjutnya:
Tags: