Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Wiranto-Wahid
Utama

Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Wiranto-Wahid

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan menolak permohonan penyelesaian sengketa Pemilu presiden yang diajukan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Menurut majelis, pasangan itu gagal membuktikan bahwa mereka dirugikan oleh perhitungan yang dilakukan KPU.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Wiranto-Wahid
Hukumonline
Demikian amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, pada persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (9/8).

Majelis hakim menyatakan, setelah memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, dan keterangan yang diajukan oleh baik Pemohon maupun Termohon (KPU), majelis menemukan klaim kerugian Pemohon tidak terbukti hampir di semua provinsi. "Seandainya pun terbukti ada, jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak memenuhi unsur signifikansi (yang bisa mengubah urutan pemenang Pemilu)," tegas Hakim Maruarar Siahaan, saat mendapat giliran membacakan putusan tersebut.

Selain mempermasalahkan perolehan suara yang bersifat kuantitatif, Wiranto-Salahuddin juga mempermasalahkan kesalahan KPU yang bersifat kualitatif, mengenai dugaan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Penyimpangan tersebut dianggap menimbulkan kerugian bagi perolehan suara Wiranto-Salahuddin.

Maruarar mengatakan, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memang berkewajiban untuk menjaga penyelenggaraan pemilu secara kualitatif, sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski demikian, menurut Maruarar, untuk hal-hal yang bersifat kualitatif sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya di setiap tahapan dan tingkat penyelenggaraan pemilu.

Bukan pelanggaran pemilu

Mekanisme penyelesaian untuk hal-hal secara kualitatif, misalnya, seperti yang dilakukan oleh Panwas Pemilu di setiap tingkatan. Namun itu juga harus berdasarkan keberatan yang diajukan oleh pihak atau saksi pasangan calon yang bersangkutan.

Ditegaskan Maruarar, kedudukan Mahkamah Konstitusi bukan untuk upaya hukum banding atau kasasi terhadap sengketa yang mekanisme penyelesaiannya sudah disediakan. Sehingga, kata Maruarar, kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kuantitatif.

Lagi pula berdasarkan fakta-fakta di persidangan, majelis hakim konstitusi menemukan bahwa hal-hal yang didalilkan pasangan Wiranto-Salahuddindalam permohonan kualitatif, belum merupakan pelanggaran terhadap prinsip pemilu.

Dalam permohonannya Wiranto-Salahuddin juga mempersoalkan keluarnya SK KPU No. 1151 Tahun 2004 yang mengesahkan surat suara tercoblos tembus dan SK No. 1152 Tahun 2004 tentang perintah penghitungan ulang. Kedua SK ini dianggap telah menimbulkan ketidakkonsistenan perolehan suara dan pasangan Wiranto-Salahuddin meminta majelis untuk memerintahkan KPU melakukan penghitungan ulang. 

Menanggapi permohonan ini, majelis mengakui keluarnya kedua SK tersebut telah menimbulkan kontroversi yuridis. Meski demikian, majelis menilai bahwa sengketa terhadap keluarnya kedua SK itu bukan merupakan kewenangan Mahkamah, namun menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). "Karena itu permohonan pemohon agar KPU melakukan penghitungan ulang tidak beralasan," tegas Maruarar.

"Mengingat Pasal 77 ayat (4) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mengadili, menolak permohonan pemohon seluruhnya," tegas Jimly saat membacakan amar putusan MK sekitar pukul 16.10 wib.

Dalam pertimbangannya majelis hakim menilai pemohon gagal menghadirkan bukti-bukti kerugian yang diderita pemohon sebesar 5.434.660 suara akibat kesalahan penghitungan yang dituduhkan dilakukan KPU. Oleh karena itu, menurut Jimly, permohonan Wiranto-Salahuddin dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak.

Pasangan Wiranto-Salahuddin yang diwakili kuasa hukumnya, Yan Juanda Saputra dkk, dalam permohonannya mengklaim telah kehilangan lebih dari 5 juta suara di 26 provinsi di seluruh Indonesia. Namun di persidangan, tim kuasa hukum pasangan capres dari Partai Golkar kesulitan menghadirkan bukti-bukti tertulis yang bisa mendukung dalilnya tersebut.

Tags: