Dokumen Negara Tidak Boleh Dimusnahkan Sembarangan
Utama

Dokumen Negara Tidak Boleh Dimusnahkan Sembarangan

Seorang pimpinan lembaga negara atau badan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah tidak memiliki otoritas untuk memusnahkan atau memerintahkan pemusnahan suatu arsip kenegaraan. Sebab, dokumen negara tidak boleh dimusnahkan sembarangan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dokumen Negara Tidak Boleh Dimusnahkan Sembarangan
Hukumonline

 

Pengunduran diri Soeharto

Dalam kesempatan yang sama Djoko membenarkan bahwa surat pernyataan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998 sudah masuk ke arsip nasional.

 

Surat pengunduran diri Soeharto itu merupakan satu dari sekian banyak dokumen penting kenegaraan yang masuk belakangan. Mensesneg (kala itu) Akbar Tanjung sendiri yang menyerahkan surat dimaksud. Arsip lain yang juga diserahkan Setneg adalah dokumen-dokumen peristiwa Santa Cruz, Dilli (1991).

 

Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1971, setiap instansi Pemerintah memang wajib menyerahkan arsipnya ke lembaga pengelola arsip nasional, dalam hal ini ANRI. Sementara untuk perusahaan swasta dan perorangan, ANRI-lah yang harus aktif mencari dan melestarikan dokumen-dokumen penting yang terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Sayang, tidak semua dokumen penting bisa diakses publik. Menurut Djoko, dokumen Santa  Cruz termasuk yang belum bisa dibuka ke publik alias classified. Dokumen yang pada dasarnya terbuka untuk umum adalah arsip-arsip yang bersifat statis. Sebaliknya, arsip-arsip dinamis tertutup untuk umum.

 

Hal berbeda ditemukan di negara-negara yang sudah mempunyai Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi (Freedom of Information Act). Di negara semacam ini, arsip dinamis pun bisa diakses publik kecuali yang benar-benar diberi label classified, secret, atau top secret. Arsip-arsip semacam ini  baru bisa diketahui masyarakat setelah dideklasifikasi. Di Amerika Serikat, misalnya, deklasifikasi biasanya dilakukan terhadap dokumen yang sudah berumur 30 tahun. Ini pun tidak mutlak, karena masih ada pertimbangan sensivitas jika arsip bersangkutan dibuka.

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Djoko Utomo dalam acara Orientasi Kearsipan Bagi Wartawan di Jakarta, Selasa (10/8). Menurut Djoko, pemusnahan dokumen-dokumen kenagaraan diatur secara ketat. Ada prosedur pemusnahan yang sudah rigid, ujarnya.

 

Peraturan yang dimaksud Djoko adalah PP No. 34 Tahun 1979. Ketatnya persyaratan pemusnahan dokumen antara lain dimaksudkan untuk menghindari kemusnahan arsip sebagai bukti sah di pengadilan. Tentu saja, disamping berfungsi sebagai bukti sejarah dan bukti kinerja suatu organisasi atau aparatnya pada masa tertentu.

 

Untuk memusnahkan suatu arsip, peraturan mensyaratkan pembentukan sebuah tim yang mengkaji kelayakan pemusnahan itu. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1979, diperlukan persetujuan khusus dari BPK jika dokumen yang akan dimusnahkan menyangkut data keuangan. Jika menyangkut dokumen pemilu, izin persetujuannya dikeluarkan KPU.

 

Setelah dibuat daftar dokumen-dokumen apa saja yang hendak dimusnahkan, pemusnahan baru bisa dilaksanakan jika sudah mendapat persetujuan dari Kepala ANRI, disaksikan minimal dua orang saksi dan dibuat berita acaranya. Djoko mencontohkan 8000 surat suara bermasalah di Tawau pada pemilihan presiden pada 5 Juli lalu. Oleh karena kertas suara merupakan dokumen negara, maka surat suara yang sudah rusak itu tak boleh dimusnahkan sembarangan. Sebab, itu menunjukkan bukti adanya kecurangan dalam Pemilu 2004.

Tags: