‘Membumikan' Kewajiban Pro Bono
Humphrey R. Djemat, SH., LLM.*

‘Membumikan' Kewajiban Pro Bono

Kehadiran Undang-undang No. 18/ 2003 tentang Advokat telah menempatkan profesi advokat sejajar dengan profesi hakim, jaksa, dan polisi sebagai aparat penegak hukum di Indonesia. UU yang disahkan pada 5 April 2003 itu memuat berbagai semangat pembaruan profesi advokat di tanah air.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
‘Membumikan' Kewajiban Pro Bono
Hukumonline

 

Menarik dicermati hasil survei PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik), sebagaimana dipaparkan dalam buku Advokat Indonesia Mencari Legitimasi (2001). Disebutkan, sebagian besar advokat yang menjadi responden survei menilai, pengadilanlah yang seharusnya menjadi penyedia bantuan hukum pro bono.  Pengadilan bekerja sama dengan organisasi advokat mendistribusikan kewajiban kepada advokat yang menjadi anggota. Biayanya dimasukkan ke dalam anggaran negara.

 

Posbakum

Seperti dipahami, hal ihwal persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).  Namun, setahun lebih sejak Undang-Undang Advokat efektif berlaku belum ada tanda-tanda PP dimaksud akan segera diterbitkan pemerintah. Padahal, Depkeh dan HAM telah membentuk sebuah Tim Perumus materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)-nya.  Lepas dari kenyataan itu, setiap organisasi profesi advokat di Indonesia tidak sepatutnya hanya berdiam diri, menunggu terbitnya PP tersebut. 

 

Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), misalnya, dalam waktu dekat ini akan membangun jaringan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) AAI di seluruh Indonesia. Ide dasar pembangunan Posbakum AAI ini, disamping sebagai respons proaktif terhadap amanat undang-undang, juga sebagai wujud kepedulian profesi advokat kepada nasib pencari keadilan dari kaum marjinal.  AAI berusaha memainkan peran signifikan dalam mengorganisir anggotanya terkait dengan kewajiban pro bono. Dengan pola bergiliran, seluruh anggota AAI, tanpa pandang bulu apakah dia seorang advokat tenar ataukah advokat muda, akan dikenakan kewajiban menjalankan tugas mulia ini.

 

Pada tahap awal, Posbakum akan dibangun di AAI Cabang DKI Jakarta dan AAI Cabang Jawa Barat.  Klien dapat mengajukan permintaan jasa hukum dengan prosedur yang sangat sederhana: (1) mengajukan permohonan dan (2) melampirkan identitas diri dan surat keterangan tidak mampu yang ditetapkan pejabat/instansi berwenang.

 

Sering kita saksikan, kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, di kota dan di desa, dengan pengetahuan hukum yang juga relatif sangat minimal (buta hukum), kerapkali menjadi korban dari –dan saat mempertahankan haknya mesti berhadapan dengan -sistem kekuasaan.  Ketika ingin membela hak dan kepentingannya, mereka kadang kala pasrah menerima nasib, entah karena tidak berani melawan atau bisa jadi lantaran bingung harus minta bantuan ke mana untuk mencari keadilan.  Mereka sebenarnya bias menggunakan jasa advokat, tapi keinginan itu terpaksa dikubur dalam-dalam karena tidak mampu membayar jasa advokat.  Kelompok masyarakat ini telah sejak lama mendambakan kepedulian kalangan advokat.

 

Nah, sangat kontekstual dengan fenomena ironis ini, dengan kehadiran Posbakum AAI diharapkan para pencari keadilan yang tidak mampu tanpa sungkan akan meminta bantuan hukum kepada advokat.  Jika tidak sekarang, kapan lagi kewajiban pro bono kita ‘bumikan'.

 

*) Penulis adalah Ketua DPC AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) DKI Jakarta; Anggota Tim Perumus RPP Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma, Depkeh dan HAM.

 

 

Adanya amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada organisasi profesi advokat merupakan salah satu poin krusial yang melekat pada UU Advokat. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, organisasi bertanggung jawab penuh akan nasib seluruh advokat yang dinaunginya.

 

Mulai dari urusan magang, ujian advokat, pendidikan khusus dan berkelanjutan, sampai pada pengawasan, perlindungan, serta penindakan terhadap advokat. ditangani organisasi advokat. Jadi, dengan kata lain, meski subyeknya adalah individu-individu advokat, tetapi pada praktiknya organisasi advokatlah yang menjadi garda terdepan pelaksanaan Undang-Undang Advokat. Sekadar contoh, Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan masyarakat tidak mampu (Pasal 22 ayat 1).

 

Kendati demikian, dalam memenuhi kewajiban profesional tersebut, setiap advokat tidak akan berjalan sendiri-sendiri (mandiri), melainkan harus mengikuti ketentuan yang diatur dan ditetapkan organisasinya. Aktivitas advokat yang kerap diistilahkan sebagai pro bono publico itu harus diatur organisasi advokat dalam skema hubungan simbiosis antara organisasi dan anggota. Profesi yang terhormat dan mulia (officium nobile) senantiasa disematkan kepada profesi advokat. Tapi, sejatinya, di mana esensi dari kehormatan dan kemuliaan profesi advokat sesungguhnya? Memberikan bantuan hukum cuma-cuma, itulah jati diri sebenarnya.

 

Kehormatan dan kemuliaan profesi advokat terletak pada kemampuan dan kemauan untuk menyisihkan waktu pada tugas pengabdian sosial.  Profesi advokat mengandung sebentuk idealisme tersendiri. Idealnya, segenap keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, selain untuk kepentingan komersial, juga mesti didarmabaktikan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan advokasi namun tidak mampu mengaksesnya lantaran tak punya uang.

 

Hanya saja, sangat disesalkan apabila ternyata advokat terpaksa menjalankan pro bono hanya karena Undang-Undang Advokat mewajibkan itu.  Pemberian bantuan hukum cuma-cuma semestinya benar-benar dilandasi panggilan profesi dan karenanya dijalankan dengan sepenuh hati.

 

Tidak hanya itu, kepedulian sosial advokat lewat bantuan hukum cuma-cuma secara perlahan-lahan akan mengikis pandangan negatif seputar advokat yang kadung terbentuk di benak masyarakat selama ini. Apatisme advokat terhadap realitas sosial justru akan semakin mengasingkan posisinya dari masyarakat. Siapa yang seharusnya menjadi penyedia bantuan hukum cuma-cuma?

Tags: