Lex Specialiskah Undang-undang Pers dari KUHP?
Fokus

Lex Specialiskah Undang-undang Pers dari KUHP?

Apakah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan lex specialis dari KUHP masih menjadi perdebatan yang belum berujung.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
<i>Lex Specialis</i>kah Undang-undang Pers dari KUHP?
Hukumonline

Jurnalis dari beberapa media memang dijerat dengan pasal-pasal pidana dalam KUHP, khususnya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan akibat berita yang ditulisnya. Hal itu, ditambah dengan "hujan" gugatan perdata pada media, menyentakkan kalangan pers.

Dalam acara Law Colloquium 2004 dengan tema From Insult To Slander; Defamation and the Freedom of the Press, persoalan KUHP vs UU Pers itu merupakan tema yang paling serius dibahas dan diperdebatkan dengan hangat.

Dalam acara yang berlangsung dua hari, 28-29 Juli 2004 itu terlihat betapa dua kubu yang berbeda--mereka yang menganggap UU Pers sebagai lex specialis, maupun yang menganggap UU Pers bukan lex specialis dari KUHP--mempunyai argumen yang kuat.

Pendapat bahwa UU Pers merupakan merupakan lex specialis dari KUH Pidana, dilontarkan oleh Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar. Kedua anggota Dewan Pers yang menjadi pembicara dalam acara itu secara tegas menyatakan UU Pers merupakan lex specialis dari KUHP. Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Secara hukum, mereka mendasarkan pandangannya pada pasal 50 KUHP. Pasal tersebutmenyebutkan barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana. Sementara pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi pers nasional adalah melakukan kontrol sosial. Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan pers dianggap sebagai perintah Undang-undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.

Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pasal 6 UU Pers, pers nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Bila UU Pers digunakan, menurut Hinca, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan pers, ia harus  menggunakan hak  jawabnya dan pers wajib melayani hak jawab itu. Kalau pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp500 juta. Kalau hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai.Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers.

Nono Anwar Makarim, Ketua Yayasan Aksara, penggagas sekaligus pembicara di Law Colloquium, berbeda pendapat dengan Hinca dan Amir. Ia menyatakan, sebuah perbuatan, baik direstui oleh hukum, disuruh oleh hukum, atau tidak dilarang oleh hukum, harus dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan  yang ada, sesuai dengan kepatutan dan tidak boleh melanggar hak orang lain.

"Kalau seorang polisi menindak seseorang, itu sesuai dengan hukum, memang tugas dia untuk menindak seseorang. Tetapi jika ia pukuli orang itu sampai pingsan, itu adalah melakukan sesuatu dengan dukungan UU untuk merugikan orang lain. Jadi, tidak bisa kita mengatakan ada pasal yang menyuruh kita melakukan pekerjaan ini, titik. Tidak bisa, mesti melakukannya sesuai kehendak hukum juga," papar pendiri kantor pengacara Makarim Taira ini.

Menurut Nono, karena saat ini  pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam KUHP masih berlaku, maka yang seharusnya dilakukan adalah mengubah KUHP. Apalagi Nono berprinsip, mengubah KUHP akan membawa kemaslahatan pada seluruh bangsa Indonesia, ketimbang menyatakan UU pers sebagai lex specialis, yang hanya bermanfaat bagi kalangan pers saja.

"Alangkah tidak simpatiknya kalau seandainya pers hanya memikirkan diri sendiri. sehingga seandainya anggota pers melakukan sesuatu perbuatan yang bisa dihukum, ia kemudian boleh menggunakan hak jawab tapi kalau warga negara Indonesia yang lain melakukan, ia masuk penjara," ujar Nono.

Menurutnya, yang mesti dilakukan oleh kalangan pers, adalah seperti apa yang telah mereka lakukan selama ini, yaitu membela masyarakat. Dengan menghapus ketentuan-ketentuan pidana yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, termasuk pasal-pasal pencemaran nama baik, maka peraturan di Indonesia akan mengarah pada perangkat peraturan masyarakat beradab.Dikatakan Nono, kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi masyarakat merupakan tindakan masyarakat yang tidak beradab.

Namun, Hinca tetap tidak sependapat dengan Nono. Ia menegaskan,meski melakukan pekerjaan dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan--seperti dinyatakan dalam pasal 50 KUHP--tidak berarti jurnalis dapat semena-mena menabrak peraturan perundang-undangan yang lain. 

Hinca menambahkan, sewaktu menjalankan tugas jurnalistik, wartawan terikat pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ini sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa wartawan harus memiliki dan menaati kode etik. Kode etik menyatakan bahwa wartawan tidak boleh membuat berita yang memfitnah dan tidak berimbang. "Apa yang diatur dalam kode etik adalah bagian utuh dari UU Pers. UU Pers satu paket dengan Kode Etik, tegas Hinca.

Apalagi dalam penjelasan UU Pers disebutkan bahwa Pers harus mengormati hak asasi orang lain Oleh sebab itu, kata Hinca, dalam menjalankan tugasnya, pers harus profesional, dan dalam hal etika dan pers harus selalu dapat dikontrol oleh masyarakat. Bentuk kontrol pers adalah jaminan hak jawab dan hak koreksi bagi orang yang dirugikan oleh pemberitaan, media watch, dan dewan pers.

Dalam pandangan Hinca, pengaturan terhadap pers memang harus eksklusif dan berbeda dengan aturan bagi masyarat umum. Pasalnya, pekerjaan jurnalistik adalah bersifat self regulatory, sehingga untuk menjalankan tugasnya ia harus dilindungi dengan ketentuan khusus.

Di mata Hinca, berbeda dengan KUHP, paradigma UU Pers adalah tidak memenjarakan wartawan. "Kalau pakai KUHP itu sudah aturan publik, padahal kerja-kerja jurnalistik adalah self regulatory. Wartawan nyolong, sikat dengan KUHP, tapi waktu ia menjalankan tugas jurnalistik, harus diselesaikan dengan cara-cara  jurnalistik, cetus Hinca.

Masalahnya, selama ini dalam beberapa tafsir KUHP, ketentuan pasal 50 itu ditafsirkan hanya untuk pegawai negeri, khususnya polisi atau jaksa. Dalam buku Komentar KUHP oleh R. Soesilo misalnya. Soesilo menafsirkan bahwa yang dimaksud menjalankan perintah undang-undang dalam pasal 50 KUHP itu adalah pegawai negeri. "Pegawai negeri yaitu orang yang diangkat oleh negara atau bagian dari negara untuk melakukan  jabatan umum dari negara atau bagian dari negara itu, tulisnya.  

Hukum Baru

Selain perdebatan mengenai pasal 50 KUHP, ada pula yang berpendapat materi dalam UU Pers dianggap tidak lengkap, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai lex specialis dari KUHP. Ketua MA Bagir Manan misalnya, secara tegas menyatakan UU Pers tidak bisa menjadi lex specialis bagi KUHP.  Alasannya, dalam UU Pers tidak diatur soal pemidanaan. Hal ini disampaikan Bagir kepada hukumonline usai menjadi keynote speaker dalam Law Colloquium. 

Desakan sejumlah kalangan pers yang menginginkan Mahkamah Agung membuat Peraturan MA (Perma) yang menyatakan bahwa UU Pers adalah lex specialis dari KUHP, dianggap  Bagir mustahil. Pasalnya, kata Bagir, Perma tidak bisa menciptakan hukum.

Dengan menyatakan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP dalam sebuah Perma, padahal UU Pers tidak mengatur soal pidana, di mata Bagir itu seperti menciptakan sebuah hukum baru. "Dalam UU Pers tidak ada ketentuan pidananya, lalu apa yang di (lex) specialiskan, tukas  Bagir.  

Menurutnya, ketiadaan ketentuan pidana itu pula yang membuat hakim tidak bisa menolak ketika diminta mengadili jurnalis dengan pasal-pasal KUHP. Bagir berpendapat, yang harus didorong adalah pembaruan undang-undang, entah KUHP atau UU Pers, bukan membuat Perma.

"Kalau sepakat bahwa pers perlu mendapat pelayanan khusus dalam pemidanaan, maka kita atur saja, bisa mengubah pasal KUHP atau dimuat dalam UU Pers," ujarnya. Bagir sendiri menyadari bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP, terutama yang menyangkut pejabat negara, sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Namun, alasan Bagir bahwa Perma tidak bisa menciptakan hukum baru rasanya bisa diperdebatkan. Masih segar dalam ingatan kita dikeluarkannya Perma nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan (class action). Berdasarkan catatan hukumonline, meski soal class action jelas tidak diatur dalam HIR, toh itu tidak menghalangi MA untuk membuat Perma tentang mekanisme tersebut.

Klaim Bagir bahwa tidak ada ketentuan pidana dalam UU Pers juga dibantah oleh Hinca. Menurutnya, tidak betul jika dikatakan dalam UU Pers tidak ada ketentuan pidana. "Banyak. Yang saya catat ada sembilan pasal, ucapnya. Ia menunjuk pasal 5 ayat (1) dan (2), pasal 4 pasal 9, pasal 12 jo pasal 18 UU Pers. Namun, lanjut Hinca, berbeda dengan KUHP, dalam UU Pers ancaman hukuman bagi pers yang melakukan kesalahan adalah pidana denda, bukan penjara. Adapun pidana penjara ditujukan bagi orang yang menghalang-halangi kerja jurnalis.

Bahwa saat ini UU Pers tidak digunakan oleh penegak hukum, dikatakan Hinca, itu disebabkan karena kurangnya sosialisasi UU Pers, selain karena usianya yang masih muda. Ia mengemukakan, saat ini tidak ada yang peduli terhadap UU Pers dan kode etik, termasuk wartawan sendiri. Hinca berkeyakinan, masalah yang ada saat ini bukanlah masalah benturan Undang-undang melainkan pemahaman dan implementasi.

Dalam acara yang sama, Toby Mendel, Direktur Article 19 juga menyuarakan pendapatnya mengenai lex specialis UU Pers dari KUHP. Article 19 adalah sebuah organisasi internasional yang berbasis di London yang mengkampanyekan kebebasan berpendapat.

Dalam makalahnya, Mendel menyatakan bahwa menjadikan UU Pers sebagai lex specialis KUHP adalah sesuatu yang sulit diterima secara hukum berdasarkan beberapa alasan.

Alasan pertama, dan yang paling utama, UU Pers tidak menyebutkan soal pencemaran nama baik, dan sama sekali tidak membahas soal hukum yang sangat kompleks itu. Seorang hakim, yang diharuskan mengadili kasus pencemaran nama baik dengan UU Pers, dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, ia harus membuat peraturan lagi dari nol, sesuatu yang sangat sulit legitimasinya dan pertanggungjawabannya. Atau, ia dapat mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik yang sudah ada, yang berarti bertentangan dengan ide awal penggunaan UU Pers.

Alasan kedua, kalau UU Pers menjadi lex specialis bagi media, maka hal yang sama akan terjadi pada hal lain yang membatasi kebebasan berpendapat. Misalnya untuk persoalan penyebaran kebencian, perlindungan terhadap privacy, proteksi terhadap keamanan nasional dan lain-lain. Implikasi hukum yang terjadi akan sangat luas. Beberapa bidang hukum akan terhapus dan digantikan dengan ketidakpastian hukum.

Ketiga, tidak terlihat sedikitpun indikasi, baik dari UU Pers maupun dari catatan-catatan  selama penyusunan  undang-undang tersebut yang mengindikasikan bahwa UU Pers memang ditujukan sebagai lex specialis. Menurutnya, sangat sulit untuk menyatakan bahwa UU Pers sebagai lex specialis, sementara UU Pers sendiri tidak mengindikasikan hal tersebut.

Oleh sebab  itu, Mendel mengusulkan agar masalah pencemaran nama baik diubah melalui amandemen UU KUHP maupun KUH Perdata. Meski hal itu lebih sulit dan makan waktu, namun perbaikan itu dapat memiliki jangkauan yang lebih luas, karena berlaku pada siapa saja yang digugat dengan pencemaran nama baik, bukan hanya media.

Seperti disinggung oleh Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Tempo yang dituntut dua tahun penjara karena pasal pencemaran nama baik, perubahan KUHP adalah sebuah solusi jangka panjang. Padahal saat ini, korban dari pihak pers terus berjatuhan sehingga diperlukan penyelesaian cepat yang mujarab. Penetapan UU Pers sebagai lex specialis KUHP mungkin merupakan solusi yang cepat dan cespleng.

Perubahan terhadap undang-undang yang mengatur pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah dan hal lain yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi jelas merupakan keharusan. Masalahnya, apakah hal itu akan dilakukan dengan cara cepat, yaitu dengan menyatakan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP,  ataukah dengan cara yang lebih sulit yaitu mengubah aturan KUHP soal itu. Tentu saja setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing.   

Perdebatan apakah UU Pers dapat digunakan sebagai lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu. Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah.
Tags: