Ahli Beda Pendapat Soal Putusan MK Kasus Bom Bali Sebagai Novum
Utama

Ahli Beda Pendapat Soal Putusan MK Kasus Bom Bali Sebagai Novum

Kalangan ahli dan praktisi hukum berbeda pendapat mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan keberlakuan UU Terorisme kasus bom Bali bisa dijadikan novum atau tidak. Penasihat hukum terpidana kasus ini sendiri menganggap putusan MK itu bukan novum.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Ahli Beda Pendapat Soal Putusan MK Kasus Bom Bali Sebagai Novum
Hukumonline

 

Alasan itu juga pernah disampaikan Luhut kepada hukumonline beberapa waktu lalu. "Andaikata putusan MK sudah ada sebelum putusan kepada terpidana dijatuhkan, maka putusannya akan berbeda. Mungkin mereka akan dibebaskan. Tapi ketika hakim memutuskan putusan MK belum ada, maka (sekarang) akan dijadikan sebagai novum, kata Luhut.

 

Komentar senada juga datang dari praktisi hukum, Tommy Sihotang. Menurutnya putusan MK itu sebagai novum, karena seandainya keadaan ini ditemukan waktu persidangan maka terdakwa pasti bebas. "Novum itu bukan hanya benda fisik, tapi bisa juga berupa aturan perundang-undangan baru," jelas Tommy.

 

Bukan novum

Pendapat berseberangan dilontarkan oleh Jampidsus Kejagung, Sudhono Iswahyudi. Menurutnya, putusan MK itu tidak bisa dianggap sebagai novum sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHAP. "Karena putusan MK itu dikeluarkan pada saat sesudah selesainya perbuatan yang didakwakan oleh jaksa," ujar Sudhono.

 

Praktisi hukum, Frans Hendra Winarta juga menyampaikan pendapat serupa. Menurutnya, sesuatu itu bisa dianggap sebagai keadaan baru (novum) jika sebelumnya tidak pernah diungkap di persidangan. Padahal asas retroaktif  sebelumnya sudah diungkap di persidangan. Frans menyimpulkan putusan MK ini tidak bisa dianggap sebagai novum.

 

Komentar yang menarik justru datang dari penasihat hukum para terpidana kasus bom Bali, Mahendradatta. Penasihat hukum Amrozi dan Imam Samudra ini malah menyatakan bahwa putusan MK ini bukan novum. Komentar ini jelas berbeda dengan komentarnya beberapa waktu yang lalu.

 

Seperti juga komentar Frans, Mahendradatta menyatakan bahwa soal asas retroaktif (yang menjadi salah satu dasar pertimbangan putusan MK) sebelumnya pernah dia ungkapkan dalam eksepsi. "Hanya saja saat itu tidak diterima oleh hakim pengadilan negeri," ujarnya.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik yang membahas topik implikasi putusan MK terhadap kasus Bom Bali di Hotel Acacia, Jakarta (19/8). Acara yang digelar Komisi Hukum Nasional (KHN) ini menghadirkan beberapa praktisi hukum dan sejumlah ahli hukum tata negara.

 

Putusan MK dimaksud adalah Putusan No. 013/PUU-I/2003 yang menyatakan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan UU Anti Terorisme terhadap Kasus Bom Bali, bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Perdebatan timbul ketika putusan MK tersebut dianggap sebagai novum.

 

Jika putusan MK ini bisa dianggap sebagai novum, maka para terpidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah agung (MA) berbekal putusan MK.

 

Praktisi hukum, Luhut MP Pangaribuan, dengan tegas menyatakan bahwa putusan MK tersebut bisa dianggap sebagai novum. "Menurut saya putusan MK tersebut bisa disebut sebagai keadaan baru (novum, red)," tegas Luhut. Soal apakah itu akan digunakan sebagai alasan PK, itu berpulang pada kuasa hukum kasus tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: