Kontroversi RUU TNI
Surat Pembaca

Kontroversi RUU TNI

Ada yang menarik apabila mencermati kejadian pada hari Senin, 2 Agustus di ruang KK-1 Gedung MPR/DPR RI. Hari itu, Komisi I DPR RI sedang melakukan rapat perdana membahas tentang Rancangan Undang Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Kontroversi RUU TNI
Hukumonline

Agendanya adalah dengar pendapat umum dari para pengamat militer mengenai pasal-pasal yang ada dalam draf RUU tersebut. Pertengkaran argumentasi antara para pengamat dan TNI pun tidak bisa dihindari. Dalam analisa awalnya, Para pengamat menilai RUU yang sedang dibahas ini lebih bermuatan politik ketimbang dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme TNI. Pasal-pasal yang ada, dipandang sangat membuka peluang kembalinya milter mendominasi kehidupan politik dimasyarakat.

 

 Pasal-pasal yang dipandang bertentangan dengan asas profesionalisme militer antara lain pasal 8 dan 49. Pasal 8 berisikan tentang kemungkinan dibukanya kembali Komando Teritorial(Koter) dan Pembinaan Teritorial (Binter) oleh TNI. Sedangkan pasal 49 berisikan tentang kekaryaan TNI, yakni Prajurit bisa menduduki jabatan didepartemen dan non-departemen. Pasal-pasal seperti ini, dipandang sebagai upaya TNI untuk dapat kembali menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dan dengan begitu, maka militer akan dengan mudah dapat kembali kedunia politik. Selain itu, Jika Koter dan Binter kembali diberlakukan, maka ada kekhawatiran TNI akan sangat mudah melakukan intervensi terhadap perilaku politik masyarakat. Kekhawatiran seperti ini memang relevan mencuat melihat pengalaman selama 32 dua tahun masa kepemimpinan rezim Orde Baru. Jabatan strategis, mulai menteri, gubernur, bupati, sampai camat selalu diisi oleh mantan TNI. Koter dan Binter digunakan oleh pusat kekuasaan untuk mengawasi kegiatan politik masyarakat dan dipakai untuk melakukan kontrol kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan Cendana.

 

Namun, kekhawatiran berlebihan seperti ini seharusnya tidak boleh mengalahkan akal sehat. Indonesia yang masih sangat rentan dengan ancaman luar negeri, mau tidak mau harus memperkuat posisi pertahanan. Dan kewajiban mempertahankan negara ini tidak bisa hanya dibebankan pada TNI yang jumlah personilnya tidak sampai pada angka 400.000, tepatnya 337.485 personil. Oleh karena itu, melatih masyarakat yang mengarah pada wajib militer untuk menjalankan fungsi pertahanan negara, sudah semestinya dilakukan. Koter dan Binter yang nantinya akan menjadi kepanjangan tangan dari masing-masing daerah di Indonesia, tidak usah ditakuti sebagai upaya kembalinya militer akan memberangus kebebasan politik masyarakat. Toh, dengan dibukanya kran demokrasi dengan sangat komprehensif ini, kita semua sudah dapat bebas mengontrol fungsi-fungsi TNI ini.

 

Kekhawatiran terhadap RUU TNI dengan berdasarkan pengalaman empiris selama ini, memang sebuah hal yang mutlak untuk dilakukan. hal ini akan menjadi sebuah kritik yang membangun untuk kemajuan TNI sendiri. Mereka akan lebih mawas diri dan selalu melakukan instropeksi. Namun, kehawatiran itu jangan sampai mengarah ke Phobia yang berlebihan yang nantinya dapat mengalahkan akal sehat.

 

Abdul Hakim

[email protected]  

Tags: