Advokat vs Dosen (1): Pertarungan Hidup Mati di Mahkamah Konstitusi
Utama

Advokat vs Dosen (1): Pertarungan Hidup Mati di Mahkamah Konstitusi

Alot, argumentatif dan ngotot pada pendirian masing-masing. Pada akhirnya hakim terpaksa membatasi agar para pihak tidak saling menanggapi secara terus menerus dalil yang disampaikan lawan.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Advokat vs Dosen (1): Pertarungan Hidup Mati di Mahkamah Konstitusi
Hukumonline
Hujan deras yang mengguyur Jakarta tak mampu sepenuhnya mendinginkan susana sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/9) kemarin. Hujan debat dan pertanyaan-pertanyaan menohok mengiringi babak akhir persidangan judicial review Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam persidangan itu, terjadi pertarungan sengit antara kalangan advokat yang diwakili pengurus Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) melawan sejumlah dosen yang berkiprah di lembaga-lembaga bantuan hukum kampus.

Suasana sidang yang benar-benar hidup itu sangat menarik dicermati. Terutama menyangkut argumen-argumen yang disampaikan baik pemohon (LKBH Universitas Muhammadiyah Malang) maupun pihak-pihak terkait yang sengaja diundang oleh Mahkamah Konstitusi. Selain KKAI, pihak yang hadir dalam persidangan itu adalah LKBH Kampus Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran Bandung dan Trisakti. Lembaga lain adalah YLBHI dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI).

Lewat tulisan berseri hukumonline ingin menyajikan dalil-dalil dan berbagai hal yang mengemuka sepanjang persidangan judicial review Undang-Undang Advokat (UUA) yang dimohonkan oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Malang melalui LKBH kampus tersebut.

Sebenarnya, yang patut dipuji adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Kamis kemarin berlangsung atas inisiatif Mahkamah ini. Kuasa pemohon sesungguhnya sudah menyerah dalam sidang sebelumnya karena tidak lagi bisa menghadirkan saksi ahli. Tapi MK mengambil langkah inisiatif lembaga-lembaga yang disebut di atas. Lembaga yang diundang pun mengirimkan utusan, minus PBHI. Hasilnya memang luar biasa. Terjadi perdebatan argumentatif, meskipun KKAI terkesan dikepung oleh kalangan LSM, LBH kampus dan para pemohon sendiri.

Perdebatan itu adalah menyangkut pasal 31 UUA yang mengatur ancaman pidana. Selengkapnya berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 50.000.000 rupiah.

LKBH Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menilai bahwa pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta pasal 28 I ayat (2) perubahan kedua UUD45. Pemberlakuan ancaman pidana itu berdampak luas pada eksistensi dan masa depan biro-biro konsultasi hukum kampus. Pasal 31 UUA juga sangat diskriminatif dan tidak adil, ujar Tongat, Ketua LKBH UMM.

Itu sebabnya mereka meminta agar MK menyatakan pasal 31 dinyatakan tidak berlaku, atau tidak mengikat bagi dosen yang menjalankan tugas-tugas advokasi. Tapi KKAI meminta sebaliknya dan menganggap permohonan UMM tidak berdasar. Kami minta permohonan pemohon dikesampingkan, tandas DR teguh Samudera, wakil KKAI yang hadir di sidang MK.

Kini hampir pasti, MK tinggal menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk mengambil keputusan. Apakah akan menolak atau menerima, banyak faktor yang menentukan. Salah satunya, apakah argumen para pihak bisa meyakinkan kesembilan hakim konstitusi atau tidak. Sayang, dalam persidangan Kamis lalu, sidang terpaksa dilakukan dengan sistem panel karena salah seorang hakim, HM Laica Marzuki, mengalami kecelakaan.

Tags: