Tapi di mata para pengelola LBH kampus, masalahnya tidak sesederhana yang digambarkan KKAI. Pasal 31 dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pendidikan hukum. Dengan adanya pasal ini, LBH kampus benar-benar terkena dampaknya, ujar Retno Murniati, Kepala LKBH Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Universal
Imbas yang paling terasa adalah para pengelola LBH kampus di fakultas hukum negeri. Mereka yang umumnya berstatus pegawai negeri sipil itu tidak gampang menjadi advokat, sebagaimana dikatakan Harry Ponto di atas. Mereka pasti terganjal pasal 3 ayat (1) huruf c UUA. Belum lagi hambatan psikologis jika mereka harus mengikuti ujian dan magang selama dua tahun.
Tabel
Syarat-Syarat Menjadi Advokat
� Warga Negara Republik Indonesia � Bertempat tinggal di Indonesia � Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara � Berusia sekurang-kurangnya 25 tahun � Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum � Lulus ujian yang dilaksanakan oleh organisasi advokat � Magang sekurang-kurangnya dua tahun secara terus menerus pada kantor advokat � Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
|
Tugas pengabdian masyarakat yang selama ini menjadi payung bagi kalangan dosen, bagi KKAI tidak mempunyai relevansi dengan pasal 31 UUA. Pengabdian masyarakat sebagai perwujudan Tri Dharma perguruan tinggi adalah kewajiban dosen dan tidak ada hubungannya dengan profesi advokat.
Menurut Teguh Samudera, larangan bagi dosen untuk berpraktek sebagai advokat sudah tepat. Kalau tidak dilarang justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, hilangnya tertib hukum dan dapat merugikan pencari keadilan.
Teguh, yang menjadi tim ahli penyusunan UUA, berpendapat bahwa rumusan pasal 31 merupakan ketentuan universal yang dianut dalam materi suatu undang-undang tentang profesi. Sebagai bandingan, profesi dokter tidak bisa dijalankan orang yang bukan dokter. Oleh karena UUA mengatur profesi advokat, maka ia tidak mungkin melindungi profesi dosen.
Teguh Samudera langsung memenuhi permintaan hakim konstitusi Maruarar Siahaan. Dengan suara tenang ia memberikan tanggapan atas tudingan kuasa hukum LKBH UMM bahwa pasal 31 Undang-Undang Advokat (UUA) bersifat diskriminatif dan tidak adil. Tanggapan Teguh mengawali penjelasan panjang dari Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) tentang pasal 31 tersebut.
Tentu saja KKAI membantah tuduhan bahwa UUA tidak adil, diskriminatif dan merugikan hak konstitusional pemohon. Teguh mengatakan UUA lahir dan ada justru untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan. UUA lahir untuk memberi landasan yang kokoh bagi pelaksanaan tugas pengabdian advokat dalam kehiduoan masyarakat, ujarnya.
Lewat penjelasan Teguh Samudera, KKAI juga memandang aneh dan tidak relevan persepsi para dosen mengenai UUA. Tidak relevan, mereka yang notabene adalah dosen beranggapan menundukkan diri pada UUA. Namanya saja UU Advokat, ya isinya mengatur tentang advokat. Tidak mungkin berisi aturan-aturan mengenai perguruan tinggi, apalagi dosen fakultas hukum. Kalau hendak mengatur soal pengabdian masyarakat, lanjut Teguh, sebaiknya diatur dalam UU Sisdiknas.
Teguh menandaskan jika pun ada mata kuliah tentang keterampilan hukum atau kegiatan praktisi hukum, itu hanya dalam wujud pembelajaran tentang implementasi ketentuan hukum formil atau hukum acara. Jadi (dosen) tidak harus atau wajib melakukan kegiatan yang merupakan ruang lingkup tugas profesi advokat, kata Teguh Samudera.
Sekjen KKAI Harry Ponto berpandangan serupa. Tudingan diskriminatif tidak memiliki dasar yang kuat. Sebab, menurut UUA siapapun bisa menjadi advokat sepanjang dia memenuhi kualifikasi. Dosen pun boleh berprofesi sebagai advokat asalkan dia lolos ujian yang diselenggarakan organisasi advokat.