Gus Dur dan Pembelajaran Menjunjung Tinggi Hukum
Fokus

Gus Dur dan Pembelajaran Menjunjung Tinggi Hukum

Zannuba Arifah Chafsoh buru-buru memasuki ruang sidang. Ia menyusul sejumlah petinggi PKB seperti Muhaimin Iskandar, Moh Mahfud MD dan AS Hikam. Namun Zannuba terlambat. Putri sulung Gus Dur itu tiba ketika majelis hakim sudah sampai pada bagian akhir putusan. Ia tak sempat mendengar seluruh petitum majelis.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Gus Dur dan Pembelajaran Menjunjung Tinggi Hukum
Hukumonline

Kedua perundang-undangan tadi memang tidak memuat aturan teknis bagaimana syarat-syarat kesehatan dan prosedur teknis tes kesehatan calon presiden. Itu sebabnya KPU mengeluarkan sejumlah Surat Keputusan (SK) seperti SK No. 26, No. 31 dan No. 36 Tahun 2004. Sebagai tindak lanjutnya, KPU bekerja sama dengan IDI melakukan pemeriksaan kesehatan para calon presiden, termasuk Gus Dur. Berdasarkan kesimpulan rapat pleno Tim Penilai, ditemukan adanya disabilitas di bidang kesehatan jasmani pada diri calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa itu. Sehingga yang bersangkutan tidak memenuhi syarat mampu secara kesehatan jiwa dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden.

Kesimpulan Tim Penilai itu kemudian dituangkan dalam SK KPU No. 36/2004 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Menjadi Peserta Pemilu 2004. SK ini menyebabkan Gus Dur gagal melenggang bersama pasangannya Marwah Daud Ibrahim ke pentas pertarungan pemilu presiden dan wakil presiden. SK itulah yang menjadi pijakan gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Gus Dur ke pengadilan (Register No. 170/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Pst).

Bukan untuk mencari sensasi

Palu sudah diketok. Gugatan Gus Dur ditolak seluruhnya. Perjuangan mantan presiden Indonesia keempat itu lewat jalur perdata untuk sementara kandas. Toh, Wakil Ketua Umum DPP PKB Moh. Mahfud MD menyarankan agar Gus Dur menempuh upaya hukum lain, yakni banding. Ini soal pembangunan demokrasi ke depan, mantan Menteri Pertahanan itu memberi alasan.

Perjuangan lewat jalur hukum tidak harus berhenti di tingkat pertama. Bisa jadi dalam waktu 14 hari ke depan (sejak putusan) Gus Dur akan menggunakan haknya untuk banding. Apalagi menempuh upaya hukum ke PN Jakarta Pusat bukanlah awal perjuangan Gus Dur maupun tim kuasa hukumnya. Jauh sebelum adanya putusan perkara perdata tersebut, Gus Dur sudah berjuang menguji perundang-undangan yang menggagalkan dirinya menjadi kandidat presiden pada Pemilu 2004.

Untuk menguji Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), Gus Dus bersama Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB Alwi Shihab mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan untuk menguji SK KPU No. 26 Tahun 2004, ia mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung (MA).

Dalam permohonan teregister pada 19 April lalu, Gus Dur dan Alwi meminta MK melakukan judicial review  pasal 6 huruf d dan huruf s Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. Pemohon menilai syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden yang diuraikan pasal 6 UU Pilpres bertentangan dengan konstitusi, khususnya ketentuan tentang kesamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27) dan perlakuan sama di hadapan hukum (pasal 28D ayat 1).

Pasal 6 UU Pilpres menyatakan calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi syarat antara lain (d) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Persyaratan inilah yang dinilai diskriminatif. Bukan hanya bertentangan dengan Konstitusi tetapi juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB Tahun 1948. Sementara huruf s mengatur syarat tidak terlibat anggota PKI.

Pemerintah dan KPU membantah argumen tersebut. Dirjen Kesatuan Bangsa Departemen Dalam Negeri yang mewakili pemerintah, justru menyatakan pasal 6 huruf d merupakan amanat  konstitusi dan penjabaran dari pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pilpres sudah dikaji secara cermat dan faktanya sudah disetujui DPR tanpa melalui voting.

Tidak sampai seminggu, MK sudah mengambil keputusan atas perkara No. 008/PUU-II/2004 itu. Dalam sidang pembacaan putusan pada 22 April 2004, pleno hakim konstitusi menyatakan tidak dapat menerima permohonan judicial review terhadap pasal 6 huruf s. Sedangkan permohonan atas pasal 6 huruf d dinyatakan ditolak. Tentu saja itu berarti upaya konstitusional Gus Dur kandas karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

Gugatan uji materiil terhadap SK KPU No. 26 dan No. 31 Tahun 2004 juga bernasib sama. Pada akhir April lalu, majelis hakim agung beranggotakan Muchsan, Ahmad Sukardja, dan Widayatno Sastrohardjono menyatakan menolak permohonan uji materiil yang diajukan Gus Dur. Akibatnya, Gus Dur tak bisa melenggang ke pentas pencalonan presiden. 

Kalah di MA, masuk ke MK. Kalah di MK, gugat perdata ke PN Jakarta Pusat. Itu yang menyebabkan munculnya tudingan miring bahwa Gus Dur seolah tidak mau menerima kekalahan. Seolah-olah Gus Dur hanya ingin memanfaatkan celah hukum demi sensasi semata, terkait pula dengan kepentingan PKB. Namun dalam permohonannya ke MK,  Gus Dur dan Alwi menepis tudingan miring tersebut. Permohonan pengujian terhadap undang-undang ini bukan merupakan tindakan yang dilakukan sekedar mengada-ada dan mencari-cari sensasi, papar keduanya.

Bagaimanapun, Gus Dur telah menunjukkan bahwa menempuh jalur hukum jauh lebih elegan daripada mengerahkan massa untuk memperjuangkan kepentingan politik. Meski tiga pengadilan sudah mengubur impian Gus Dur menjadi presiden lagi, massa PKB atau kaum nadhiyin tidak turun ke jalan, sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik. Meski dirinya mantan presiden, Gus Dur tidak sungkan untuk datang ke pengadilan.

Gus Dur dan timnya memang memilih menempuh jalur hukum yang lebih terhormat. Kalah tiga kali bukan berarti pintu perjuangan tertutup selamanya. Zannuba sudah memberi isyarat bahwa sang ayah akan menempuh banding. Tapi, upaya ini pun bukan tanpa batu sandungan. Pada akhirnya, gugatan itu akan bermuara ke MA, lembaga tertinggi peradilan yang sudah pernah menolak permohonan uji materiil Gus Dur. Belum lagi, hubungan ‘panas' antara Gus Dur dengan MA pada tahun 2001 ketika MA melakukan ‘pembangkangan' dengan menolak mengakui dekrit yang ditandatangani Gus Dur. Toh, itu tak membuat Gus Dur kehilangan kepercayaan kepada MA. Ia tetap menempuh upaya hukum ke mahkamah yang dipimpin Bagir Manan itu.

Namun di mata Ikhsan Abdullah, meski tetap bermuara ke MA, perkara perdata tidaklah bisa disamakan dengan uji materiil. Ikhsan memastikan kliennya akan tetap optimis dalam perjuangan di jalur hukum. Saya kira dalam proses perjuangan (menempuh upaya hukum) kami harus optimis, ujarnya usai sidang di PN Jakarta Pusat, Selasa (12/10) lalu.

Wakil Ketua DPP PKB Mahfud MD pun masih melihat adanya upaya yang bisa dilakukan, yakni melalui legislasi. Ia mengatakan PKB akan berjuang merevisi ketentuan syarat-syarat calon presiden yang bersifat diskriminatif. Perjuangan melalui Senayan, kata Mahfud, sudah masuk agenda. Semua pintu hukum yang terbuka harus diambil, kata Guru Besar Ilmu Hukum dari UII Yogyakarta itu.

Hingga suatu saat nanti Gus Dur dan semua orang yang berurusan dengan pengadilan akan mengulangi ucapan kandidat Presiden Amerika Serikat Al Gore, saat dikalahkan Mahkamah Agung dalam pertarungan melawan George W. Bush. While I strongly disagreed with the court decision, I accepted.

Gugatan penggugat beralasan untuk ditolak, simpul majelis dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (12/10) lalu. Majelis beranggotakan lima orang hakim itu--Cicut Sutiarso, H. Sutito, Edy Cahyono, Ridwan Mansyur dan Zulfahmi--memang sepakat untuk menolak seluruh gugatan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan.  

Seusai sidang, Zannuba mengungkapkan kekecewaan atas penolakan pengadilan terhadap gugatan ayahnya. Ia memastikan sang ayah akan mengajukan banding. Apalagi yang diperjuangkan bukan kepentingan Gus Dur semata, melainkan hak-hak politik warga negara. Pengadilan masih mementingkan sisi teknis daripada substansi masalah. Ini memberi preseden yang sangat jelek pada demokrasi di Indonesia, ujar putrid sulung Gus Dur yang biasa disapa Yenny itu kepada wartawan.

Koordinator tim pengacara Gus Dur, H. Ikhsan Abdullah mengungkapkan hal kekecewaan senada. Anda sudah mendengar pertimbangan majelis hakim yang terlalu teknis hukum, ujar pengacara dari Lembaga Advokasi Hukum dan HAM DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Cuma karena teknis hukum? Zannuba dan Ikhsan tidak salah. Majelis pimpinan Cicut Sutiarso sendiri menjelaskan bahwa kewenangan mereka selaku hakim perdata hanya sebatas melihat kebenaran dari sisi formalitas. Jadi, yang digali majelis adalah pertanyaan, apakah para tergugat berwenang menurut undang-undang melakukan tes kesehatan terhadap Gus Dur saat mencalonkan diri sebagai presiden untuk Pemilu 2004? Dan majelis sampai pada kesimpulan itu: Pasal 22E UUD 1945 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 telah memberi wewenang kepada KPU untuk menyelenggarakan pemilu secara nasional. Oleh karena itu, apa yang dilakukan KPU tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tags: