Keberanian Berkorban
Tajuk

Keberanian Berkorban

Sebuah film baru yang diangkat dari otobiografi seorang yang sudah menjadi ikon segera beredar.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Keberanian Berkorban
Hukumonline

Che mampu menjadi dokter kaya dan terkenal di Buenos Aires, atau tetap menjadi pemimpin Kuba mendampingi Castro (yang terbukti masih langgeng sampai sekarang setelah berkali-kali lolos percobaan pembunuhan). Tan Malaka nyaris menjadi pemimpin nasional Indonesia, ketika Soekarno konon pernah memberinya surat wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nasional jika karena suatu sebab Soekarno wafat. Mereka tidak memilih jalur enak dan posisi empuk. Mereka memilih keluar masuk hutan. Mereka memilih berkorban sampai mati untuk sesuatu yang dipercayainya. Mitos inilah yang ingin dipotret dalam konteks Indonesia sekarang.

Berbagai pujian telah diberikan kepada Megawati yang diposisikan sebagai presiden yang memberikan dasar-dasar untuk membangun demokrasi di Indonesia melalui pemilihan langsung presiden, wakil presiden, dan (segera saja) gubernur dan bupati. Dalam konteks yang sama, sebagian pejabat tinggi publik telah dipilih melalui saringan ketat dan pengungkapan publik yang cukup memadai, bahkan sebagian lainnya melalui proses saringan atau persetujuan DPR yang terkesan berlebihan. Megawati dengan tim ekonominya juga dipuji karena telah meletakkan dasar-dasar stabilitas makro ekonomi yang diperlukan bagi pemerintahan SBY dan dunia bisnis Indonesia untuk bergeliat bangun dan keluar dari keterpurukan.

Megawati juga dipuji karena membiarkan kebebasan pers berkembang dan membentuk jati dirinya masing-masing, jadi pers kuning atau menjadi pers yang mendorong keterbukaan dan demokratisasi serta memberantas korupsi. Sebagian puja-puji itu terlihat sebagai basa-basi, melipur lara Megawati yang secara telak dikalahkan oleh SBY dalam pemilihan umum langsung yang direstuinya sendiri. Tetapi bisakah dia menolak dalam suasana telah terbangunnya masyarakat sipil ?

Kemungkinan besar mungkin tidak. Sebagian pujian itu dikritisi dengan tajam, karena reformasi ekonomi masih menyisakan sejumlah agenda besar tertunda yang masih membutuhkan kerja keras belasan atau puluhan tahun ke depan, termasuk masalah penyelesaian hutang negara dan swasta, dan masalah korupsi yang tidak dibereskan dengan baik oleh pemerintahan Megawati, selagi kesempatan untuk itu terbuka lebar di masa pemerintahannya. Demikian pula, reformasi hukum tidak terjadi, dan hanya merupakan wacana hangat. Sampai detik-detik akhir masa pemerintahannya, kita masih mewarisi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan profesi hukum yang carut marut, sarat dengan korupsi, dan penuh dengan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.

Karenanya, keberhasilan Megawati sulit dipercaya sebagai pencapaian pribadi atau pencapaiannya sebagai Presiden RI. Pencapaian atau kalau bisa disebut keberhasilan Megawati adalah pencapaian dan keberhasilan masyarakat sipil Indonesia yang ingin berubah. Mereka sebagian ada di pemerintahan dan birokrasi. Mereka sebagian ada di parlemen. Mereka sebagian ada di sejumlah partai politik. Mereka sebagian ada di militer. Mereka juga sebagian ada di lembaga-lembaga donor. Mereka juga ada di dunia akdemis dan kemahasiswaan. Mereka berada di LSM-LSM, dan bahkan ide-ide besar, dorongan-dorongan serta kerja lapangan, banyak sekali dilahirkan oleh lapisan ini. Tanpa masyarakat sipil yang makin mandiri, Indonesia tidak akan mencapai tingkat keberhasilan kerja besar demokratisasi di Indonesia seperti sekarang ini. Tanpa masyarakat sipil, pemerintahan Megawati hanya bisa melakukan kerja bersih-bersih sekedar untuk tidak membuat kesalahan fatal seperti pemerintahan-pemerintahan terdahulu.   

Satu aspek penting lainnya adalah proses demokratisasi itu sendiri yang banyak dipuji oleh politisi dan media asing sekalipun. Tidak kurang dari The Economist yang kerap sinis dan jarang memuji, berkali-kali memuji pencapaian yang dicapai oleh proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia. Sulit dicari bandingannya, bahwa suatu bangsa yang terpuruk karena penindasan rezim totaliter-militer selama lebih dari 30 tahun, hanya dalam hitungan waktu enam tahun  bangkit memperbaiki bahkan membangun suatu proses demokratisasi yang di bagian dunia yang lain membutuhkan kerja berdasa-dasa warsa.

Tetapi manakala proses demokratisasi itu ternyata di ujungnya hanya menghasilkan kepemimpinan di DPR dan DPD yang mencerminkan orang-orang lama yang mempunyai jejak rekam dan tradisi Orde Baru, maka wajar bila kemudian timbul keletihan semangat (spiritual fatigue) di kalangan pejuang dan pemerhati pro demokrasi. Nyaris saja, lembaga seperti MPR yang sudah dilucuti kekuasaannya, juga dikuasai oleh orang-orang yang pro kemapanan. Hanya dengan selisih dua suara, Hidayat Nur Wahid sementara memberikan suntikan semangat baru bahwa ada setitik harapan untuk menjaga pemerintahan SBY agar dapat menyelesaikan program reformasi di segala bidang.    

Dengan warisan persoalan-persoalan besar seperti itu, SBY, seperti juga Megawati waktu mewarisinya dari beberapa pemerintahan terdahulu, menghadapi banyak kemustahilan untuk segera berhasil memperbaiki negera ini, kecuali bila itu dilakukan dengan pengabdian dan pengorbanan luar biasa seperti yang terefleksi pada pengabdian dan  pengorbanan yang dilakukan oleh Che dan Tan Malaka. Jadi sangat kontras bahwa kerumunan di sekitar SBY, para pendukung utamanya yang merasa berjasa, dan parpol-parpol pendukungnya, terkesan merasa berhak mengklaim untuk mendapatkan sekeping kekuasaan dalam bentuk jabatan-jabatan publik atau fungsi-fungsi strategis di birokrasi dan badan-badan usaha negara. Cerita-cerita yang kita dengar di media masa, mengenai bagaimana tarik menarik klaim untuk masuk ke kabinet SBY sungguh sangat memprihatinkan, terlepas dari sikap tegas SBY bahwa semua berita itu cuma sekedar isapan jempol saja.

Sejumlah analis, pakar dan pemerhati juga membanjiri berbagai media massa dalam memberi nasihat kepada SBY bagaimana pemerintahan dijalankan, dan bahkan ada yang merasa berhak memberikan waktu 100 hari kepada SBY untuk memperbaiki negara ini. Padahal siapapun tahu kalau SBY diberi mandat oleh konstitusi untuk memerintah selama lima tahun. Sebagian nasihat itu mungkin tulus diberikan, dan sebagian lagi mungkin memberikan sinyal-sinyal kepada SBY bahwa merekalah yang sepantasnya mengisi posisi-posisi di kekuasaan. Kalau kita lihat siapa SBY, seorang jenderal dan intelektual yang mempunyai pendidikan dan pengalaman militer, birokrasi, politik dan kemasyarakatan yang bervariasi, seharusnya mereka maklum kalau SBY cukup punya informasi dan solusi untuk memutuskan sendiri kebijakan dan langkah-langkah yang harus dilakukannya sebagai penguasa baru.

Seharusnya, daripada bersaing keras mendapatkan perhatian untuk ditunjuk sebagai bagian dari penguasa baru, setiap potensi bangsa ini, baik orang-orang maupun organisasi-organisasi yang terbukti mempunyai tekad, kemampuan dan sumber daya untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar, dan tetap saja meneruskan perjuangannya masing-masing di luar garis birokrasi. Mereka seharusnya punya kepercayaan tinggi seperti halnya milik Che dan Tan Malaka, bahwa apapun yang mereka lakukan di luar garis birokrasi akan membawa perubahan yang bermakna terhadap negeri ini. Pembangunan ekonomi rakyat dalam pengertian memperkuat usaha kecil menengah, dan mendorong kebijakan pemerintah yang memfasilitasi program ini pasti akan menggerakkan ekonomi kita. Jerman dan Jepang yang hancur luluh berantakan karena kalah perang di Perang Dunia II bisa bangkit karena meletakkan dasar-dasar ekonomi antar daerah dan kemudian antar regional. Terbukti mereka kini menjadi raksaksa-raksaksa ekonomi dunia.

Mereka yang mempunyai keyakinan untuk membangun sistim hukum dan institusi hukum, dapat terus mendampingi institusi-institusi yang masih lemah itu untuk melakukan penguatan dan reformasi internal. 

Jadi biarkanlah SBY menunjuk orang-orangnya sendiri, dan bekerja keras menuntaskan janji-janjinya selama lima tahun mendatang. SBY berhak untuk melakukan apa saja dalam koridor konstitusi dan hukum dalam menjalankan pemerintahannya. Itulah demokrasi, suka atau tidak suka, seperti juga sebagian dari kita yang suka atau tidak suka pada pemerintahan Habibie, Gus Dur atau Megawati. Kita harapkan SBY dan timnya berhasil, dan itu juga ekspekstasi tinggi mayoritas rakyat. Kalau gagal, risikonya terbatas pada rendahnya kepercayaan dan peringkat mereka untuk melanjutkan pemerintahannya melalui Pemilu 2009. Artinya rakyat bebas untuk mengabaikannya dalam pemilihan umum mendatang.

Kalau ada pelanggaran konstitusi dan hukum berat, ada mekanisme impeachment melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang disetujui oleh MPR. Kalau ada pelanggaran etika atau moral, kita sebagai bagian dari masyarakat sipil tidak boleh lelah mengingatkan mereka terus menerus, dengan segala cara yang tidak melanggar hukum, baik cara persuasif, diskusi terbuka atau demo di jalan-jalan. Partai politik membangun kekuasaan untuk memerintah. Pemerintah menjalankan roda pemerintahan. Dan masyarakat sipil membangun bangsa. Mari kita belajar mengambil peran itu masing-masing dengan semangat untuk mengabdi kepada kepentingan terbesar bangsa ini.

Jakarta, 18 Oktober 2004.

The Motorcycle Diary, yang disutradarai, Walter Salles, sutradara Brasil yang menjadi salah satu dari 40 sutradara terbaik dunia versi The Guardian. Idenya diambil dari pemikiran Robert Redford yang ingin melayarperakkan kehidupan pribadi Che Guevara, tokoh legendaris, yang wajahnya terpampang garang di t-shirts dan poster di kamar-kamar anak-anak muda di seluruh dunia yang gandrung perubahan revolusioner dan radikal. Film itu merefleksikan perjalanan petualangan Che Guevara dan rekannya, Alberto Granado, keduanya anak muda berkebangsaan Argentina, selama 6 bulan dengan sepeda motor melalui jalan-jalan berdebu di Argentina, Chile dan Peru pada tahun 1952.    

Che yang nama lengkapnya Ernesto Guevara de la Serna, dididik sebagai dokter pada Buenos Aires University, dan mulai terlibat dalam politik dengan menentang rezim diktator Juan Peron dalam huru hara di Buenos Aires tahun 1952. Ia kemudian bergabung dengan para agitator di Bolivia, dan selanjutnya dengan pemerintahan kiri Jacobo Arbenz Guzman di Guatemala tahun 1953. Ketika Arbenz ditumbangkan, Che hengkang ke Meksiko, tempat dimana dia bertemu dengan Fidel Castro dan teman-temannya. Sejak itu, sampai penyerbuan kelompok Castro ke Kuba (1956), Che menjadi orang kepercayaan Castro, dan pemimpin utama gerilya sampai tumbangnya rezim penguasa Kuba, Fulgencio Batista yang dekat dengan Amerika Serikat (AS).

Sejak itu Che mengganggu negara adidaya itu dengan memutuskan semua hubungan ekonomi Kuba dengan AS dan sekutunya, dan mengalihkannya ke negara-negara sosialis-komunis terutama Rusia. Ia juga mengekspor gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan otoriter-militer di negara-negara Amerika Latin yang berada dibawah proteksi negara-negara barat, terutama AS. Che menjabat sebagai Presiden National Bank, dan kemudian Menteri Perindustrian Kuba (1961-1965). Ia meninggalkan Kuba pada tahun 1965, dan menyebarkan revolusi di Kongo dan negara-negara Afrika lainnya, sebelum akhirnya tertangkap, terluka dan dieksekusi di Bolivia tahun 1967, pada saat bergerilya dengan pejuang-pejuang Bolivia untuk menumbangkan pemerintahan otoriter yang pro AS.

Gerakan revolusioner yang mirip sebenarnya juga telah dilakukan terlebih dahulu oleh seorang putera Indonesia asal Sumatera Barat, Tan Malaka, yang keluar masuk hutan di Indonesia dan Asia Tenggara untuk mendirikan masyarakat sosialis-komunis di Asia Tenggara. Tan Malaka, yang kurang dicatat di buku-buku sejarah Indonesia mungkin karena kekiriannya dan keanggotaannya di Comintern. Seperti juga Che, Tan Malaka mengakhiri revolusinya yang romantik setelah dieksekusi di Indonesia sekitar tahun 1948.

Romantisme perjuangan ala Che di Amerika Latin dan Afrika, atau Tan Malaka di Indonesia dan Asia Tenggara hanya sekedar ilustrasi, dan tidak bisa lagi dijadikan model untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi, hukum dan politik yang radikal. Apalagi, masyarakat yang dituju oleh Che dan Tan Malaka adalah masyarakat sosialis-komunis yang terbukti menjadi model yang gagal dengan korban nyawa, darah dan penderitaan jutaan orang di seluruh dunia. Tetapi yang menarik dan menjadi inti dari perjuangan mereka adalah semangat berkorban untuk sesuatu yang dipercayai oleh mereka sebagai suatu jalan perubahan umat manusia di dunia. Bukan cuma terbatas di kampung halaman dan negaranya asalnya masing-masing, tetapi juga keluar ke batas-batas teritori dan nasionalisme mereka, sehingga mirip gerakan internasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags: