UU Jabatan Notaris: Satu Undang-Undang, Seribu Lubang
Fokus

UU Jabatan Notaris: Satu Undang-Undang, Seribu Lubang

Pasca disahkannya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, para notaris justru dihantui tanda tanya besar: Apakah undang-undang ini dapat dilaksanakan?

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
UU Jabatan Notaris: Satu Undang-Undang, Seribu Lubang
Hukumonline

UUJN telah  ditandatangani oleh Presiden Megawati menjelang akhir masa jabatannya 6 Oktober 2004 lalu. Saat masih berstatus RUU, kesan untuk "kejar setoran" dalam pembahasannya sulit untuk ditampik. Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mendapat tugas untuk membahas RUUJN bersama pemerintah (Menkeh dan HAM) sejak awal telah memasang target untuk menuntaskan pembahasan RUUJN hanya dalam waktu 15 hari saja. Tentang hal ini, Ketua Baleg Zain Badjeber ketika itu berdalih, RUUJN sudah dipersiapkan sejak lebih dari setahun silam, sehingga seluruh anggota Baleg sudah cukup menguasai materinya.

Pembahasan RUUJN oleh Panitia Kerja (Panja) Baleg dengan diketuai oleh Akil Mukhtar, dilakukan secara maraton dan berlangsung mulai malam hingga dini hari. Pembahasan yang dimulai pada 1 September sampai 14 September 2004, berakhir dengan ditandai disetujuinya RUUJN oleh DPR dan pemerintah untuk disahkan sebagai undang-undang. Meski palu yang diketokkan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno menandai berakhirnya pembahasan RUUJN oleh DPR, namun saat itu jualah kontroversi UUJN dimulai.

UUJN versus Organisasi Notaris

Adalah Ketua Umum Asosiasi Notaris Indonesia (ANI) Liliana Gondoutomo yang menyambut disetujuinya RUUJN oleh DPR dengan "ancaman" judicial review. Liliana mempermasalahkan ketentuan mengenai kewajiban notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Di pihak ANI, ada kekhawatiran bahwa ketentuan mengenai wadah tunggal itu bertujuan untuk melestarikan monopoli INI sebagai satu-satunya organisasi yang diakui oleh pemerintah. Wajar kiranya prasangka itu muncul, karena ANI tak sekejap pun dilibatkan oleh pemerintah maupun DPR dalam pembahasan RUUJN.

Di sisi lain, sebagai satu-satunya organisasi notaris yang diakui pemerintah, sejumlah pengurus INI dilibatkan baik oleh pemerintah maupun DPR di dalam penyusunan hingga pembahasan RUUJN. Bahkan bisa dikatakan, dua versi RUUJN (versi Baleg DPR dan versi Depkeh HAM) draf awalnya tidak lepas dari polesan beberapa pengurus pusat INI. Perlu pula ditambahkan, sebelum UUJN lahir, dasar hukum INI sebagai satu-satunya organisasi notaris yang diakui pemerintah adalah Keputusan Menkeh dan HAM No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan.

Tak jauh beda dengan profesi advokat, masalah pembentukan wadah tunggal juga menjadi tantangan yang berat bagi para notaris. Sejak era reformasi bergulir, sejumlah anggota INI membelot dan membentuk organisasi tandingan, diantaranya Himpunan Notaris Indonesia (HNI), Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), dan Perhimpunan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Meski tidak disebutkan organisasi mana yang dimaksud oleh undang-undang, namun Tien menafsirkan bahwa ketentuan wadah tunggal itu mengacu pada INI. "Dari dulu kita juga hanya satu wadah, dari dulu pemerintah hanya mengakui satu wadah," katanya.

Di lain pihak, Wakil Ketua Umum PP HNI Ilham Pohan menilai bahwa klaim INI sebagai wadah tunggal Organisasi Notaris adalah tidak berdasar. Pasalnya, tegas Ilham, tidak ada satupun pasal di dalam UUJN yang menyatakan bahwa wadah tunggal Organisasi Notaris bernama INI. Berpijak pada penafsiran itulah, kata Ilham, HNI tidak berencana untuk membawa UUJN ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Jangan sampai nanti Pak Jimly (Ketua MK, red) bilang, 'apakah anda tidak bisa baca undang-undang, apakah disebutkan wadah tunggal itu adalah INI'. Jangan sampai seperti itu," ujarnya.

UUJN versus PPAT

Peliknya masalah pembentukan wadah tunggal Organisasi Notaris ini agaknya akan menimbulkan masalah lainnya, yaitu terganjalnya pembentukan Majelis Pengawas yang juga diamanatkan oleh UUJN. Padahal, lembaga ini memiliki peran sentral dalam melakukan pengawasan terhadap para notaris se-nusantara. Apa pasal? Majelis Pengawas yang akan dibentuk di tiga jenjang–-pusat, provinsi, dan kabupaten/kota-–salah satu unsurnya berasal dari Organisasi Notaris. Selama Organisasi Notaris belum terbentuk, maka sulit untuk mengharapkan mengisi anggota-anggota dari majelis ini di tiap tingkatannya. Suka tidak suka, kekosongan hukum dalam fungsi pengawasan notaris rasanya sulit terhindari.

Penentangan terhadap lahirnya UUJN tidak hanya datang dari lingkungan notaris, tapi juga dari kalangan Pejabat Pembuat Akta Pertanahan (PPAT). Protes PPAT terhadap UUJN disebabkan ‘pencaplokan' oleh notaris, sebagian lahan yang selama ini digarap PPAT, yaitu kewenangan pembuatan membuat akta pertanahan (pasal 15 ayat(2) UUJN).

Mengenai kewenangan baru yang dimiliki oleh notaris ini, Direktur Peraturan Perundang-undangan Depkeh HAM Abdul Gani Abdullah menyatakan seorang notaris tak perlu lagi mengikuti ujian khusus untuk dapat diangkat sebagai PPAT. "Karena sudah inheren di dalam diri notaris, maka pembinaan, mengangkat notaris itu otomatis mengangkat PPAT," ucapnya. Ia juga menegaskan, UUJN mengesampingkan produk hukum lain di bawah undang-undang yang mengatur soal PPAT. Sekadar tahu, selama ini eksistensi PPAT bernaung di bawah PP No.38/1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

Liliana yang juga Ketua Umum Asosiasi Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (ASPPAT) berpendapat, pasal 15 ayat (2) huruf f tidak bisa ditafsirkan semata-mata bahwa notaris dapat membuat akta yang selama ini dibuat oleh PPAT. Ia juga menilai bahwa isi pasal tersebut tidak jelas dan masih perlu penjelasan. Padahal, di dalam penjelasannya dinyatakan sebagai: "cukup jelas". "Berarti kita harus menafsirkan sendiri," tukas Liliana.

UUJN versus tiga undang-undang

Komentar senada juga dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung. Dijelaskan oleh Arie, notaris hanya bisa membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sepanjang oleh undang-undang yang lain tidak disyaratkan wajib dibuat oleh PPAT. "Jadi, sekarang BPN (Badan Pertanahan Nasional, red) sudah sepakat kalau ada notaris membuat (akta) itu tidak sebagai jabatan PPAT, maka tidak akan dilakukan balik nama, (dan) tidak akan dilakukan pembebanan hak tanggungan," cetusnya.

Tak cuma itu, Arie juga mensinyalir bahwa substansi UUJN tersebut bertentangan dengan tiga undang-undang di bidang pertanahan yang sudah ada lebih dulu. Ketiga undang-undang yang ditabrak oleh UUJN yaitu UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No.16/1985 tentang Rumah Susun, dan UU No.4/1996 tentang Hak Tanggungan. Arie menuding bahwa kesalahan fatal ini karena pembuat UUJN tidak memahami hukum pertanahan. "Saya terus terang saja, Abdul Gani gak tahu hukumnya. Itu pendaftaran tanah sudah jelas itukan lingkup kekuasaan BPN," tegasnya.

Tentang hal kewenangan baru notaris, Sutjipto selaku Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan PP INI, mengomentarinya dengan sangat hati-hati. Ia sendiri menyadari bahwa kewenangan baru tersebut masih perlu dikomunikasikan dengan pihak BPN. Di matanya, implementasi pasal 15 ayat (2) huruf f tak semudah yang diucapkan Gani. Malah, ia memperkirakan wewenang baru tersebut berbahaya jika langsung diterapkan oleh notaris yang bukan PPAT, karena dapat merugikan klien yang aktanya ditolak untuk didaftarkan di BPN.

"Saya kira di lapangan belum (dapat dilaksanakan, red)," katanya. Ia juga menambahkan bahwa pihak BPN memang sempat menolak pasal tersebut saat pembahasan RUUJN di DPR.

Apapun, pertentangan antara UUJN dengan tiga undang-undang lain memang sukar untuk dimengerti. Pasalnya, sulit untuk diterima logika apabila selama pembahasan di Baleg, anggota DPR maupun pemerintah sama sekali menutup mata terhadap kemungkinan hal itu terjadi. Lagipula, dalam setiap pembahasan RUU selalu ada proses harmonisasi ataupun sinkronisasi dengan undang-undang lain yang terkait. Arie menyatakan bahwa hal tersebut kemungkinan terjadi karena pihak pemerintah tidak didukung oleh ahli di bidang hukum pertanahan.

Kendati demikian, Arie meragukan bahwa kehadiran pasal 15 ayat (2) huruf f itu dilatarbelakangi adanya perebutan "rezeki" antara Depkeh dan HAM dengan BPN. Spekulasi itu dibantah Arie lantaran yang dirugikan oleh ketentuan UUJN bukan hanya BPN, namun juga Menteri Keuangan.

Ada apa dengan Menkeu? Memang hal ini tak lagi berkaitan dengan pasal 15 ayat (2) huruf f, tetapi pasal 15 ayat (2) huruf g yaitu wewenang notaris untuk membuat risalah lelang. "Tidak bisa begitu. Vendu Reglement (Staatsblad 1908 Nomor 189, red) sudah menentukan bahwa itu mesti ditetapkan jadi pegawai lelang kelas dua, atau kelas satu," jelas Arie.

Hingga saat ini, Vendu Reglement (VR) yang juga dikenal sebagai Peraturan Lelang Tahun 1908 masih berlaku sebagai peraturan setingkat undang-undang. Masuk akal jika Menkeu juga berkepentingan dengan pasal 15 ayat (2) huruf g UUJN karena tidak sedikit undang-undang di bidang perpajakan yang merujuk pada pasal-pasal dalam VR. Diantaranya UU No.19/1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan UU No.20/2000 tentang Perubahan Atas UU No.21/1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Belum menjamin kepastian hukum

Selain lubang-lubang yang dapat membahayakan para notaris dan berpotensi merugikan masyarakat yang menjadi klien mereka, ketentuan tertentu UUJN juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para calon notaris. Ketua Ikatan Mahasiswa  Magister Kenotariatan (IMMN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dedi Hartono mengatakan bahwa UUJN tidak mengatur pemberian sanksi terhadap notaris yang tidak menerima magang calon notaris. Padahal, terang Dedi, menerima magang calon notaris adalah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi notaris sesuai pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN.

Di samping itu, dari segi prosedural pembentukan undang-undang, UUJN tak luput pula dari masalah. Dari keterangan yang diungkapkan oleh Sutjipto, UUJN yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah sempat mengelami koreksi sebelum disahkan oleh Presiden. Koreksi yang dimaksud adalah penambahan empat kata di dalam pasal 40 ayat (3) UUJN. Empat kata yang disisipkan belakangan ke dalam pasal tersebut adalah: harus dikenal oleh Notaris. Hal ini dibenarkan oleh sumber hukumonline di Sekretariat Baleg.

Menurut sang sumber, pada 30 September–-16 hari setelah RUUJN disetujui dalam Rapat Paripurna-–Ketua Baleg mengirimkan memo kepada Sekretaris Jenderal DPR perihal penambahan kata-kata pada pasal 40 ayat (3) RUUJN. "Adapun penambahan kata 'harus dikenal oleh notaris' dimaksudkan agar tidak merugikan kepentingan klien," tulis Zain. Berbekal memo Ketua Baleg, kata sang sumber, Sekjen DPR kemudian mengirim surat ke Sekretaris Negara. Perlu diketahui, kejadian serupa pernah terjadi terhadap RUU tentang Komisi Yudisial.

Setelah koreksi dari Baleg, bunyi pasal 40 ayat (3) UUJN menjadi: "Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap". Sebelumnya, pasal ini berbunyi: "Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap".

Telah jelas kiranya bahwa lubang-lubang yang terdapat dalam UUJN demikian substansial di mana lubang yang satu tidak lebih berbahayanya dari lubang yang lain. Bahwa loopholes tersebut bisa mengancam penerapan UUJN di masa depan, itupun sudah diakui oleh kalangan notaris sendiri. Satu pelajaran mahal yang dapat diambil dari UUJN adalah setiap RUU yang dibahas secara terbirit-birit dan tidak melibatkan pihak-pihak yang benar-benar memahami dan terkait dengan isi RUU tersebut, maka hasilnya, Insya Allah, akan berantakan.

Siapa nyana, sosialisasi Undang-undang No.30/2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), pada Rabu (13/10), akan menjadi ajang permintaan maaf dari pihak penyelenggara acara tersebut yaitu Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI). Ketua Umum PP INI, Tien Norman Lubis, meminta maaf kepada Menteri Kehakiman dan HAM, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, dan anggota DPR, karena dituding menerima suap Rp 5 miliar untuk menggolkan RUU Jabatan Notaris (RUUJN).

"Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan upaya suap apalagi dengan dana sebesar 5 miliar," tegas Tien sungguh-sungguh. Acara yang dihadiri oleh ratusan notaris dari berbagai penjuru nusantara itu juga digunakan oleh Tien untuk membantah kabar bahwa RUUJN dibahas hanya dalam waktu 15 hari. Menurutnya, meski pembahasan RUUJN berlangsung singkat di Badan Legislasi DPR, RUU itu sudah dibahas sejak September 2003 oleh pemerintah dan bahkan sejak 30 tahun silam digagas oleh para pengurus terdahulu INI.

Apa yang dikemukakan Tien, sebetulnya hanyalah segelintir dari problematika yang ‘menghantui' UUJN. Di luar dua isu yang diklarifikasi olehnya, masih terdapat isu-isu hukum lain yang tak kalah pentingnya, yang mengancam pelaksanaan UUJN di kemudian hari. Bahkan, karena sedemikian seriusnya problem hukum yang terkandung di dalam UUJN, sampai-sampai pengurus PP INI yang lain, Sutjipto, mensinyalir undang-undang ini terancam tidak dapat diimplementasikan secara penuh di lapangan.

Tags: