Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
Muchammad Zaidun(**)

Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)

‘Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'

Bacaan 2 Menit
Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
Hukumonline

Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi pendidikan khusus profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan pendidikan hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi advokat.  Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya merupakan masalah bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi hukum karena input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah melalui jenjang pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.

Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada pendidikan tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan ketrampilan hukum (competence and skill).  Oleh sebab itu, kalau tidak ada komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan pendidikan tinggi hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami tentang kondisi dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan pendidikan khusus profesi advokat. 

Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output kualitas yang diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan khusus profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam tentang kondisi kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian harus diisi dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak lulusan pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan standar kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan. 

Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi kedua belah pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara baik, maka besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak akan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.  Kekhawatiran yang demikian ini cukup beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern pendidikan tinggi hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi advokat.

Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan profesi, baik karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah profesi hukum di dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan yang menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik mengedepankan aspek kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus diingat bahwa kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on knowledge/science, dan bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam konsep pendidikan vokasional.

Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut dipadukan dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa menjadikan pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat serta memiliki kemahiran yang profesional.

Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan magister dengan pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari model pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang dikembangkan oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan Program Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi). 

Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum dirancang oleh Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia. Peserta program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus) memperoleh ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan sains), dan memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan sebutan Psikolog. 

***

Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya.  Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister profesi.

Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan memperoleh ijazah magister (profesi).  Sebagai respon terhadap kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi).

Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya profesi advokat memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para advokat yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam praktik mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan memiliki keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang bersifat umum.

Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh asosiasi profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal menangani masalah-masalah hukum tertentu.  Misalnya bidang hukum pasar modal harus memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal.  Di masa lalu mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan (kursus) dan ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat maupun yang bukan advokat.

Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian bidang kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian hukum kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang kepailitan.

Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi hukum pada waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian yang bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang lebih spesifik.  Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi.  Kenyataan tersebut mengharuskan dunia pendidikan hukum dan asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi dan merespon hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan profesi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.

Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan suatu model pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum (general) dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus).  Program pendidikan profesi tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi di antara program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program magister (profesi).  Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat ganda dengan menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang sebutan advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam bidang hukum tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.

Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi dengan magister hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus memenuhi norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program magister hukum (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang bersifat sains atau sering disebut dengan magister ilmu hukum

Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan prasarana, serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar.  Semua persyaratan dan kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan kepentingan professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum, maka hal tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh dunia pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya asosiasi advokat.

Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka masalah pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas profesional advokat dapat dicapai.  Oleh karena itu sudah seharusnya mulai dirintis adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi profesi hukum, agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi kepentingan pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American Bar Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan bersama dengan mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.

*Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004

Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat.

Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21 ayat(1) dan ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-undang tersebut berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat memberikan gelar akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi.

Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat harus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi advokat. Dengan kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum, masing-masing tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut, tetapi harus bekerjasama.  Selain itu permasalahan substansial lainnya adalah belum ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih menghadapi pula kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional terutama di daerah-daerah.

Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula kriteria dan syarat pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi syarat untuk tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.

Tags: