Draf Akademik RUU, Wajibkah?
Berita

Draf Akademik RUU, Wajibkah?

Rambut boleh sama hitam, jabatan boleh serupa, bidang studi yang digeluti pun nyaris sama. Tetapi pandangan setiap orang bisa berbeda. Itulah yang terjadi pada hakim konstitusi saat memutus perkara judicial review Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Draf Akademik RUU, Wajibkah?
Hukumonline

 

Prosedur dan tata cara pembentukan perundang-undangan baru diatur pada 22 Juni 2004 lewat Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, Undang-Undang Ketenagakerjaan dibuat sebelum prosedur baku pembuatan undang-undang sebagaimana dimaksud pasal 22A terealisir.

 

Peraturan lain

 

Meskipun perintah pasal 22A Konstitusi itu baru terwujud pada tahun 2004, Prof. Laica dan Prof. Mukhtie berpendapat perlunya menyimak berbagai ketentuan perundang-undangan yang ada dan berlaku pada masa penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ada Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, lazimnya disingkat AB (Stbl 1847 No. 23). Ada pula Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR dan DPRD.

 

Undang-Undang Susduk tadi dibuat atas perintah UUD'1945. Susduk lantas memerintahkan Dewan untuk membuat Peraturan Tata Tertib (Tatib). Nah, di dalam Tatib itulah terkandung ketentuan yang memuat urgensi naskah akademik. Pasal 117 ayat (3) Tatib DPR (1999-2004) menyebutkan bahwa RUU diajukan beserta penjelasan, keterangan dan/atau naskah akademis dari pengusul.

 

Para penyusun Undang-Undang Ketenagakerjaan seyogianya juga memperhatikan Keppres No. 188 Tahun 1998 jo Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Tata Cara mempersiapkan Undang-Undang. Pasal 3 Keppres 188 misalnya menyebutkan bahwa pembuat undang-undang dapat terlebih dahulu membuat naskah akademik suatu RUU. Pembuatan naskah akademik ini terkait dengan harmonisasi hukum. Pasal 4 ayat (4) menambahkan dalam hal RUU memerlukan rancangan akademik, maka rancangan itu dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.

 

Dalam konteks ini, Prof. Laica dan Prof. Mukhtie mengingatkan pula agar pembuat undang-undang memperhatikan asas umum peraturan-perundangan yang baik, yakni asas tujuan yang jelas, lembaga yang tepat, urgensi pengaturan, asas dapat dilaksanakan serta asas keadilan dan pengayoman. Atas dasar itulah kedua hakim memandang perlunya mempertimbangkan kemungkinan mengabulkan uji formil terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tetapi, sebagaimana diketahui, Prof. Laica dan Prof. Mukhtie kalah suara, sehingga pandangan mereka hanya dicatat sebagai dissenting opinion.

 

Adanya berbagai ketentuan tentang prosedur perundang-undangan itu sebenarnya juga diakui majelis dalam putusan perkara judicial review Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (register perkara No. 006/PUU-I/2003). Namun dalam petitumnya, majelis tidak menyinggung sama sekali tentang urgensi naskah akademis.

 

Saat itu, majelis berpendapat bahwa penilaian terhadap undang-undang dapat dilakukan dari sisi teknik perumusannya (legal drafting). Legal drafting dalam arti luas meliputi pengujian formil dan materiil. Dalam arti sempit diartikan sekedar teknik perumusan (redaksional), yaitu menyangkut sistematika, tata bahasa dan tata tulis. Nah, dalam konteks ini hakim konstitusi berpendirian bahwa MK tidak berwenang mengujinya.

 

Penilaian dari sisi legal drafting sungguh pun sangat penting, namun tidak terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi, demikian bunyi pertimbangan majelis.

 

Terlepas dari perdebatan hakim konstitusi itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Erni Setyowati mengatakan bahwa naskah akademik tetap penting agar sebuah RUU disusun dengan pertimbangan yang tepat dan komprehensif. Dengan adanya naskah akademik, solusi yang diambil dan kemudian dituangkan ke dalam naskah undang-undang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan oleh si perancang. Naskah akademik juga memeinimalisir masuknya kepentingan politis dalam pembuatan suatu undang-undang, ujarnya.

Perkara itu memang sudah diputus pada 26 Oktober lalu oleh kesembilan hakim konstitusi dan dibacakan dalam sidang dua hari kemudian. Namun nuansa perbedaan pandangan para hakim menarik untuk dideskripsikan. Menariknya, beda pandangan itu bukan semata-mata menyangkut substansi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Melainkan juga menyangkut urgensi draf akademik dalam penyusunan suatu rancangan undang-undang (RUU).

 

Surya Tjandra dan kawan-kawan, kuasa hukum pemohon judicial review, memang berpendapat Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memenuhi sebutan sebagai ‘undang-undang yang patut'. Undang-Undang itu telah disusun dengan melanggar prinsip dan prosedur penyusunan, yakni tidak didahului naskah akademis. Naskah akademis, demikian para pemohon, berguna memberi dasar pertimbangan apakah suatu undang-undang sudah mendesak atau belum.

 

Nah, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang rata-rata ahli hukum tata Negara itu terbelah dua dalam memandang masalah ini. Profesor Jimly Asshiddiqie dan enam hakim lain berpendapat bahwa keberadaan naskah akademis bukan merupakan keharusan konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang. Ketiadaan naskah akademis tidak lantas membuat suatu undang-undang cacat hukum. Tidak pula menyebabkan batalnya undang-undang dimaksud.

 

Namun dua guru besar ilmu hukum, Prof. HM Laica Marzuki dan Prof. H Abul Mukhtie Fadjar, yang punya pandangan berbeda dan mengajukan pendapat yang berbeda  (dissenting opinion). Menurut kedua hakim MK itu, konstitusi memang tidak memuat secara rinci prosedur pembentukan suatu undang-undang, termasuk urgensi draf akademik. Pasal 22A UUD'45 hanya memerintahkan agar prosedur itu diatur lewat undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: