Abdul Rahman Saleh, Jaksa, dan Cerita tentang Ibu Tua
Jeda

Abdul Rahman Saleh, Jaksa, dan Cerita tentang Ibu Tua

Wanita tua itu berangkat dari Cimahi menuju Jakarta menaiki bis umum. Pagi-pagi ia sudah muncul di halaman gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dorongan untuk bertemu anaknya Azhar Zulkarnain begitu kuat.

Oleh:
Mys/Disadur dari buku Emron Pangkapi, Hukuman Mati untuk Imam Imran, Penerbit Alumni Bandung, 1982
Bacaan 2 Menit
Abdul Rahman Saleh, Jaksa, dan Cerita tentang Ibu Tua
Hukumonline

Sayang, niat si Ibu untuk bertemu anaknya tidak kesampaian. Azhar tidak jadi tampil menjadi saksi meringankan. Jaksa Zukri SH tak bisa menghadirkan dengan dalih tidak tahu alamat yang bersangkutan. Tentu saja, ibu tua tadi sedih bukan main.

Bukan hanya karena tak bisa bertemu Azhar Zulkarnain. Tetapi karena ia telah dirundung duka yang dalam. Suaminya meninggal dalam tahanan Laksusda. Dua anaknya yang lain juga ditahan. Tetapi informasi yang dia terima hari itu semakin membuat miris hati. Ibu, jangan lagi mengirimkan makanan untuk Azhar di penjara. Ia sudah lama meninggalkan kita. Anak yang selama ini dikirimi makanan, ternyata sudah almarhum.  

Ibu tua itu hanya bisa menangis, meski air matanya sudah sulit keluar. Dengan hati pedih ia mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kisah memilukan yang dialami si Ibu itulah yang mengilhami pengacara LBH untuk memberi judul pembelaan mereka Cerita tentang Ibu Tua (Pledoi Tim Pembela) dalam perkara Imam Imran. Dan salah satu pengacara yang mendengar cerita kepiluan wanita tua itu tak lain adalah Abdul Rahman Saleh, yang kini menjadi Jaka Agung kabinet Indonesia Bersatu.

Ketika cerita tentang Ibu Tua itu dikisahkan pada bagian awal pledoi tim pembela, suasana sidang menjadi haru. Terdakwa Imran, yang menjadi teman akrab Azhar Zulkarnain, sampai menitikkan air mata.

Ditolak banyak pengacara

Perkara Imam Imran adalah persidangan kasus pembajakan pesawat Woyla di Bandara Don Muang, Thailand, 28 Maret 1981. Gaung perkara ini begitu luas. Rapat Kerja Gabungan Komisi I, II, III dan VI DPR dengan Menhankam Pangab M Yusuf sengaja mengagendakan kasus ini. Ruang sidang di lantai tiga PN Jakarta Pusat selalu kebanjiran pengunjung, sehingga terpaksa dibatasi.

Meskipun menjadi kasus besar kala itu, tak banyak pengacara yang bersedia menangani perkara Imam Imran. Menurut Emron Pangkapi dalam bukunya Hukuman Mati untuk Imam Imran (1982), pengacara-pengacara terkenal Ibukota yang biasanya rajin membela perkara yang tergolong ‘top' menolak membela Imran.

Melalui pengadilan, Imran minta didampingi pengacara terkenal S Tasrif dan Minang Warman. Tasrif, bekas Ketua Umum Peradin, menolak membela Imran dengan alasan mau bepergian ke luar negeri. Minang Warman, yang semula bersedia, malah menarik diri kemudian dengan alasan sibuk. Adnan Buyung Nasution pun enggan turun membela Imran.

Tangis wanita tua dari Cimahi tampaknya telah menggugah Abdul Rahman Saleh, kala itu Direktur LBH Jakarta. Ia menyatakan bersedia membela Imran, meskipun tidak dibayardan nuansa politik perkara ini begitu terasa. Tetapi dalam perkembangannya, ia mengajak M. Assegaf dan pengacara yang baru dua tahun bergabung di LBH Teguh Samudera. Untuk menghilangkan kesan tim pembela bukan hanya dari LBH saja, Rahman mengajak Direktur Lembaga Keadilan Hukum (LKH) Bachrun Martoksukarto.

Mengkritik Jaksa, menjadi Jaksa Agung

Nasib telah mempertemukan karir Abdul Rahman Saleh dan Zukri, walau dalam kasus Imran mereka berseberangan. Pengacara dan jaksa penuntut umum kasus Imam Imran itu memuncak karir mereka di gedung Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin No. 1 Jakarta.

Setelah malang melintang di berbagai jabatan, terakhir Zukri diberi amanah  menduduki kursi Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin). Ketika jabatan itu dipegang DR. Suparman, Zukri sudah menjadi wakilnya (Sesjambin). Sebaliknya, pada 20 Oktober lalu, Abdul Rahman dipercaya menjadi orang nomor satu di Kejaksaan, yang berarti menjadi atasan Zukri. Sayang, ketika Rahman masuk Gedung Bundar, Zukri sudah pensiun.

Padahal ketika sama-sama menangani perkara Imam Imran, Abdul Rahman Saleh dan Zukri pernah terlibat perdebatan alot di persidangan. Saat sidang perdana pada 30 Desember 1981, dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Zukri, Rahman Saleh sudah mengajukan protes. Ia memprotes cara-cara pengamanan sidang yang dinilai terlalu ketat dan berlebihan, sampai-sampai kendaraan pembela pun dilarang masuk halaman pengadilan. Ia juga meminta agar diberi kebebasan berkonsultasi dengan kliennya di tempat penahanan Imam Imran. Konsultasi antara pengacara dengan Imran memang acapkali dijaga dan diawasi jaksa.

Ia juga memprotes tata cara persidangan yang sangat ketat. Banyak orang yang hadir di ruang sidang membawa senjata. Abdul Rahman mengutip undang-undang yang melarang membawa senjata ke dalam ruang sidang.  

Kritik Arman–-panggilan Abdul Rahman Saleh-- bukan hanya ditujukan kepada jaksa. Ketua majelis hakim, Subandi, pun tak luput dari cecarannya. Kala itu, Subandi sedang mengajukan pertanyaan kepada terdakwa Imam Imran seputar benar tidaknya dakwaan jaksa. Dengan suara keras, Arman meminta hakim ketua menghentikan pertanyaan praduga bersalah. Pertanyaan Subandi dinilai Arman justru meminta penjelasan apakah terdakwa mengaku salah atau tidak. Padahal, pemeriksaan di sidang justru untuk menguji apakah Imam Imran bersalah atau tidak. Sang hakim akhirnya menyadari kekeliruan itu.

Kecaman pedas dari Arman terhadap jaksa Zukri terjadi ketika pembacaan pledoi dalam sidang 22 Februari 1982. Itu lantaran dalam tuntutannya, Zukri banyak mengutip pendapat para ahli hukum tetapi tak menyebut sumbernya. Cara-cara seperti itu adalah tidak jujur dan akan mengurangi kadar sebuah tulisan. Permintaan Arman agar hakim menolak tuntutan (requisitor) jaksa karena tidak ilmiah dan tidak jujur mendapat applaus dari pengunjung sidang.

Arman juga mengecam jaksa yang masih menggunakan Undang-Undang Subversi Pnps/11/1963 sebagai salah satu dasar hukum dakwaan. Undang-Undang itu sudah kehilangan landasan berpijak, ujar pembela dari LBH Jakarta itu. Jaksa hanya bisa menunduk mendengar sambil menyimak kritikan-kritikan dari tim pembela.

Perdebatan dan saling kritik antara jaksa penuntut umum adalah hal yang biasa terlihat di persidangan perkara pidana. Bisa jadi, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah tidak ingat lagi secara detail persidangan yang berlangsung 22 tahun lalu itu. Mungkin, Arman juga sudah berjabat tangan dengan jaksa-jaksa yang dulu berseberangan dengannya saat membela Imam Imran. Bukan hanya JPU Zukri yang sudah pensiun, tetapi juga Haryadi Widiyasa, jaksa yang dulu menyusun Berita Acara Pendahuluan pemeriksaan Imam Imran. Kini, Haryadi masih menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum).  

Selama ini wanita berkerudung itu hanya bisa berkomunikasi dengan sang anak lewat makanan yang dikirimkan ke penjara. Azhar memang sedang dalam interogasi aparat keamanan. Si Ibu, yang penuh harap bersua dengan anaknya, sengaja ke Jakarta karena ia mendengar Azhar akan menjadi saksi a de charge dalam perkara Imam Imran, sebuah perkara politik di awal-awal berlakunya KUHAP.
Halaman Selanjutnya:
Tags: