Menyoroti Power Presiden Sehubungan dengan Penanaman Modal Asing
Dr. Sony Rospita Simanjuntak(*)

Menyoroti Power Presiden Sehubungan dengan Penanaman Modal Asing

Di Indonesia, aturan mengenai penanaman modal (asing) dibandingkan dengan hukum lainnya, memang merupakan aturan yang paling sering berubah dibandingkan bidang yang lain. Sehingga tidak mengherankan bila penulisan tesis di bidang ini merupakan suatu pekerjaan yang sangat sukar.

Bacaan 2 Menit
Menyoroti Power Presiden Sehubungan dengan Penanaman Modal Asing
Hukumonline

Power Asli Presiden dan Peranan BKPM

Bila kita telaah UU No.1/1967 (Pasal 28 beserta penjelasannya) memang tidak cukup informasi tentang badan yang sekarang diberi label Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini. Tetapi falsafah akan kebutuhan badan seperti itu dapat terlihat ketika pertama kali Indonesia mengeluarkan undang-undang  penanaman modal asing yaitu UU No.78/1958 (Pasal 18 dan 19 berikut penjelasannya).

Dikatakan bahwa badan tersebut merupakan lembaga yang membantu pemerintah. Lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung-jawab kepada pimpinan pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan sistim ketatanegaraan Indonesia, pemerintah mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan yang diambil oleh badan tersebut dengan memberitahukannya kepada DPR.

Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa power atas penanaman modal asing ada pada presiden, yang dalam pelaksanaan sehari-harinya presiden dibantu oleh BKPM (penting juga diingatkan kembali bahwa sejak awal dikatakan bahwa lembaga ini mengatur hal yang lain daripada yang secara tradisi diatur oleh departemen-departemen).

Namun, penekanan dari peran yang dijalankan lembaga ini terlihat menjadi agak kabur ketika bukan hanya permohonan penanaman modal asing saja yang dikelolanya, tetapi juga permohonan penanaman modal dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan kerancuan dalam pemakaian terminologi penanaman modal dalam negeri bagi penanaman modal yang masih ada unsur kepemilikan asing tetapi jumlahnya minoritas, disamping hukum penanaman modal asing Indonesia dalam perjalanannya menjadi semakin rileks.

Sehingga pemerintah perlu sesegera mungkin menyusun undang-undang investasi dan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang baru, demikian juga untuk mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang baru, dimana modal investasi minimum yang butuh persetujuan BKPM akan ditetapkan.

Tadi dikatakan bahwa power di bidang penanaman modal asing ada pada presiden, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh BKPM. Kenyataannya, tidak semua permohonan harus disampaikan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.

Dengan demikian presiden juga telah melakukan pendelegasian kepada Ketua BKPM. Namun adalah penting untuk disimak bahwa persetujuan yang diberikan oleh Ketua BKPM adalah masih tetap dilakukan atas nama presiden. Dengan perkataan lain, kewenangan BKPM dalam memberikan persetujuan bukanlah merupakan kewenangan aslinya.

Peranan lain dari BKPM sehubungan One Stop Service

Praktik pendelegasian ke BKPM kemudian telah menjadi lebih marak lagi dengan slogan ‘one stop service'. Menteri-menteri lain yang terkait, yang pada dasarnya adalah juga pembantu-pembantu presiden, telah turut pula mendelegasikan kewenangannya kepada Ketua BKPM sepanjang berhubungan dengan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.

Misalnya, Menteri Keuangan mendelegasikan kepada Ketua BKPM untuk pemberian keringanan/kelonggaran bidang perpajakan. Demikian pula misalnya menteri yang menangani bidang perindustrian, pertambangan dan energi, pertanian dan kehutanan kesehatan mendelegasikan kewenangan pemberian izin usaha industrinya kepada Ketua BKPM (pengecualian terdapat di sektor pertambangan umum dan kehutanan dimana tata-cara penanaman modalnya masih diatur oleh departemen teknis masing-masing).

Pada waktu itu prinsip yang dianut adalah Ketua BKPM di dalam menyelesaikan sebuah perizinan industri harus melakukannya atas nama menteri yang bersangkutan. Adapun mengenai pengawasan teknisnya, semuanya masih merupakan kewenangan menteri bidang masing-masing, yang pelaksanaannya dikatakan dapat dikordinasikan bersama dengan BKPM dan BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah).

Dengan kata lain departemen-departemen pada dasarnya sudah tidak lagi melayani pemberian izin usaha industri apabila pemohonnya adalah perusahaan PMA/PMDN. Seperti yang disebutkan di atas, pengecualian terdapat di sektor pertambangan umum dan kehutanan, dimana pada waktu itu, seorang calon kontraktor perusahaan PMA/PMDN di bidang pertambangan umum, misalnya, selain berurusan dengan BKPM juga berurusan dengan departemen yang membawahi sektor pertambangan umum. Praktik inilah yang telah mendapat banyak kritikan karena tidak konsekuen dengan azas ‘one stop service' yang didengung-dengungkan BKPM.

Maraknya praktik pendelegasian kepada BKPM inilah yang kemudian membuat bias, mana yang merupakan pendelegasian power presiden dan mana yang merupakan pendelegasian dari departemen-departemen teknis atau terkait. Kesan yang muncul adalah seakan semuanya adalah power aslinya BKPM karena penyebutan peranan BKPM meliputi ‘pemberian persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan penanaman modal'.

Hukum otonomi daerah yang kebablasan

Seharusnya dengan diberlakukan rezim otonomi daerah maka yang secara otomatis berubah sesuai dengan hukum desentralisasinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kewenangan departemen teknis.

Pelimpahan wewenang berupa pendelegasian oleh BKPM sehubungan pemberian perizinan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing, kepada instansi daerah adalah salah kaprah. Demikian pula, pelimpahan wewenang pemberian persetujuan penanaman modal dari BKPM ke menteri juga salah kaprah. Adalah penting untuk menganut prinsip hukum administrasi negara yang mengatur bahwa power yang merupakan pendelegasian tidak dapat didelegasikan lagi kepada pihak ketiga. Hal tersebut adalah esensial sehubungan dengan pertanggungjawaban.

Sebab, apabila power tersebut didelegasikan secara turun-temurun maka akan menjadi sulit untuk meminta pertanggungjawabannya. Demikian juga penganutan prinsip hukum administrasi yang mengatakan bahwa power yang didelegasikan pada setiap saat dapat ditarik kembali.

Apabila prinsip hukum administrasi negara ini jelas, maka pendelegasian yang telah diberikan sebelum ini oleh BKPM yang kemudian dicabut kembali termasuk pendelegasian sekarang ini kepada menteri, menjadi tidak valid semata-mata karenapower untuk menyetujui penanaman modal asing yang dilimpahkan tersebut adalah bukan power aslinya BKPM, melainkan presiden.

Selain itu juga terlihat bahwa hukum otonomi daerah telah kebablasan dengan anggapan bahwa power untuk menyetujui sebuah penanaman modal asing adalah termasuk power yang didesentralisasikan ke daerah. Sesungguhnya interpretasi UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah masih dapat dibuat berbeda walaupun hal ini akan terkesan mengada-ada.

Ketentuan Pasal 11(2) UU No.22/1999 yang memasukkan penanaman modal sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilakukan oleh daerah kabupaten dan daerah kota masih bisa dipertanyakan interpretasinya dengan mempertanyakan kata-kata penanaman modal di situ? Apakah termasuk di dalamnya penanaman modal asing? Jika iya, apakah penekanan kata-kata penananam modal di situ bukannya justru ditujukan kepada desentralisasi segala usaha industri di bawah skema  penanaman modal, yang tadinya merupakan wewenang menteri ke daerah? Jika demikian maka hal ini perlu diperjelas dengan mempertegas bahwa power persetujuan penanaman modal asing adalah tetap berada di tangan presiden, sedangkan investasinya di tangan daerah.

Sehingga menurut penulis, secara tidak sengaja penerbitan kedua Keppres tersebut di atas, justru memicu bagi pembenahan hukum penanaman modal Indonesia dan hukum otonomi daerah, serta perangkat hukum pendukung lainnya seperti hukum administrasi negara.

Bahwa terlihat dua hal berbeda yang diangkat secara bersamaan, yaitu pertama tentang persetujuan penanaman modal asing dan yang kedua adalah tentang mekanisme pemberian persetujuan yang bersamaan dengan pemberian perizinan usaha industrinya.

Kelihatannya yang terakhir lebih didasarkan kepada urusan praktisnya daripada masalah hukum. Sebab sesungguhnya, bagi calon penanam modal yang telah berhasil mengantongi persetujuan untuk menanamkan modalnya di Indonesia, maka secara implisit ia telah mengantongi izin industrinya. Sebab, sebelum presiden menyetujui permohonannya, terlebih dahulu BKPM meminta rekomendasi dari daerah melalui departemen teknisnya. Jadi, jika hal ini hanya merupakan masalah kepercayaan saja, memang seyogianya apabila daerah mendelegasikan pemberian izin usaha industrinya kepada BKPM sampai daerah tersebut memang kredibel untuk memberikan izin.

Penulis beranggapan bahwa masalah ini adalah merupakan masalah waktu saja sehingga khusus mengenai perizinan usaha industri ini adalah tepat apabila sejak dini dikatakan bahwa hal tersebut berupa pendelegasian yang sukarela sifatnya. Justru dalam praktik usaha industri yang umum, yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan izin usaha industrinya dari daerah sedangkan persetujuan penanaman modal asing yang dari pusat hanyasebagai formalitas saja. Apalagi, dengan canggihnya sistim komunikasi sekarang ini, persetujuan yang dari pusat tersebut dapat diperoleh dalam waktu beberapa hari saja.

Akhirnya sebagai bahan perbandingan, walaupun bentuk negaranya berbeda, pelayanan badan penanaman modal asing pusat seperti itu terdapat di Australia melalui lembaga yang disebut Foreign Investment Review Board (FIRB). Seperti diketahui, negara Australia adalah negara federasi, dimana berdasarkan Pasal 51(xx) Konstitusi Australia, pemerintah federal diberi power untuk mengatur urusan-urusan sehubungan dengan foreign takeovers dan foreign investment.

Sehingga permohonan penanaman modal asing di Australia harus disampaikan kepada FIRB yang berada di Canberra (ibukota Australia). FIRB adalah lembaga advisory pada Treasurer. Dengan demikian, walaupun negaranya adalah federasi, dimana masing-masing negara bagian jelas-jelas mempunyai otonomi, namun hal itu tidak membuat tidak dapat dilakukannya pemberian persetujuan penanaman modal asing dari Canberra.

Sebagai contoh, apabila sebuah perusahaan asing ingin menambang di negara bagian Victoria, maka perusahaan tersebut, sejauh mengenai persetujuan/izin penanaman modal asingnya, harus berhubungan dengan FIRB di Canberra. FIRB dalam proses pemberian persetujuan akan terlebih dahulu meminta rekomendasi dari Departemen Pertambangan negara bagian Victoria.

Selanjutnya, pengawasan penanaman modal asing itupun dilakukan oleh FIRB yang bekerja atas nama Treasurer. Seluruh perusahaan penanam modal asing berkewajiban untuk menyampaikan laporan secara periodik ke FIRB di Canberra. FIRB secara terus-menerus dan aktif melakukan monitoring hingga tercapainya pengalihan saham mayoritas penamam modal asing kepada perusahaan lokal.

Perbedaannya adalah bahwa FIRB hanya memfokuskan pada pemberian persetujuan/izin penanaman modal asing yang merupakan wewenang pemerintah federal. Akan halnya lisensi pertambangannya sendiri, sebagai contoh, didapatkan langsung dari pemerintah negara bagian yang bersangkutan.

Yang menjadi pertanyaan, jika memang mau dipertanyakan, adalah apakah BKPM yang adalah lembaga non-departemen secara hukum dapat dibenarkan dalam penjatuhan sanksi atas kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan oleh penanam modal asing sehubungan dengan izin/persetujuan penanaman modalnya? Karena apabila dibandingkan dengan Australia, FIRB adalah badan penasehat Treasurer.

Persetujuan yang diberikan oleh Treasurer dan keseluruhannya adalah merupakan tanggung-jawab Treasurer. Sehingga untuk di Indonesia, adalah lebih baik apabila secara tegas dikatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran prosedur pemberian izin, yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah presiden, bukan BKPM.

Selain itu kelihatannya kurang disorot akan pentingnya power untuk pemberian izin/persetujuan penanaman modal asing (bukan izin usaha industrinya) agar tetap berada di tangan presiden, dalam konteks pemberian kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui, salah satu pasal terpenting dari hukum penanaman modal di Indonesia adalah pemberian jaminan untuk tidak menasionalisasikan perusahaan PMA. Dan apabila hal itu terpaksa untuk dilakukan, maka prosesnya tidak gampang. Hal tersebut semata-mata hanya dapat dilakukan demi kepentingan negara, dengan syarat bahwa keadaan tersebut harus pula terlebih dahulu diundangkan (harus ada undang-undangnya).

Dan jika memang demikianlah halnya maka Pemerintah Republik Indonesia harus membayar kompensasi berdasarkan hukum internasional. Artinya, pemerintah Indonesia akan duduk dalam perkara tersebut sebagai salah satu pihak (Pasal 21 dan 22 UU No. 1/1967 serta Penjelasan).

Walaupun kepastian hukum tidak didudukkan di deretan paling atas dari daftar faktor-faktor penting bagi seorang penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di suatu negara, agaknya pemberian rasa keamanan tersebut perlu diperhatikan. Sebagai contoh, selama ini penanaman modal asing di sektor pertambangan (yang membutuhkan modal besar, teknologi dan periode yang panjang), lebih menyukai kontrak karya karena penandatangannya adalah the Government of Republic of Indonesia (GOI).

Bahkan dalam perjanjian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) yang di masa lalu seharusnya penandatangannya cukup Pertamina saja, tetap GOI dimintakan sebagai penandatangan. Jangan-jangan di era desentralisasi ini, apabila ditetapkan bahwa kontrak karya pertambangan ditanda-tangani oleh pemerintah daerah, si penanam modal asingnya masih menginginkan GOI turut sebagai penanda-tangan?

Sebagaimana diketahui, faktor-faktor yang mempercepat perubahan aturan tersebut tidak saja internal sifatnya. Namun acapkali perubahan tren dalam perdagangan internasional mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan aturan dan kebijakan. Dan yang terakhir ini realisasinya dilakukan melalui serangkaian lobi terhadap pembuat kebijaksanaan. Sehingga, apabila pembuat kebijaksanaannya tidak hati-hati, akan  gampang sekali ditemukan ada kebijaksanaan atau peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten. Belum lagi apabila produk hukum yang berkaitan dan peraturan pendukungnya sendiri juga tidak atau kurang jelas.

Menarik sekali menyimak berbagai pendapat sehubungan dengan penerbitan Keppres 28/2004 dan Keppres 29/2004, termasuk Keputusan Ketua BKPM (dari nomor 57 s/d 61) baru-baru ini yang dinilai kontroversial. Terutama bila penerbitan serangkaian peraturan tersebut dikaitkan dengan hukum otonomi daerah.

Namun sesungguhnya berbicara mengenai hukum penanaman modal Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa hukum ini sudah sangat berantakan. Seharusnya, setiap kali ada perubahan mendasar dalam kebijaksanaan maka perubahan tersebut harus terintegerasi ke dalam undang-undangnya (UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah oleh UU No.11/1970 dan UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah oleh UU No. 12/1970).

Dengan demikian undang-undang tersebut tidak menjadi ‘the law of the book' yang berbeda dengan ‘the law in action'.

Halaman Selanjutnya:
Tags: